Hypereport: Artis Jadi Pejabat, Strategi Citra atau Kompetensi?
12 March 2025 |
15:11 WIB
Penunjukan figur publik sebagai pejabat negara bukanlah hal baru, tetapi dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, fenomena ini semakin menonjol. Sejumlah selebritas kini mengemban tugas di berbagai posisi strategis, mulai dari eselon satu hingga utusan presiden.
Keputusan ini memicu perdebatan di tengah masyarakat, menimbulkan pertanyaan mengenai kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas pemerintahan yang kompleks dan penuh tanggung jawab.
Pengamat politik dan juga Peneliti Senior dari Populi Center Usep Saepul Ahyar menilai keterlibatan artis dalam pemerintahan lebih banyak karena pertimbangan pencitraan. Langkah pemerintah melibatkan para selebritas menunjukkan bahwa citra atau pencitraan lebih penting daripada latar belakang, kompetensi, dan kemampuan.
Keterlibatan artis dalam percaturan politik Indonesia sesungguhnya sudah terjadi sangat lama dan tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab yang membuat selebritas terlibat dalam perpolitikan Indonesia dan masuk dalam pemerintahan.
Pada era orde baru, orang-orang terkenal di masyarakat tersebut masuk dalam politik karena memang untuk menarik pemilih, endorser, menambah popularitas partai, dan sebagainya. Cara ini juga menjadi andalan banyak partai politik beberapa waktu belakangan lantaran partai mengalami kesulitan untuk menarik orang agar memilih partainya.
"Maka, para selebritas itu bergabung dengan partai politik, terutama karena ambang batas parlemen yang tinggi. Hal ini semakin menyulitkan partai politik dalam meraih suara," ujarnya kepada Hypeabis.id.
Para selebritas ditarik oleh partai untuk menjadi bagian di dalamnya juga karena tidak ada keinginan untuk menyiapkan kader. Banyak partai menempuh jalur instan dan mudah dengan memanfaatkan popularitas yang dimiliki oleh selebritas.
Sementara itu, perilaku pemilih juga mengalami perubahan. Banyak masyarakat memilih partai politik atau individu bukan karena kompetensi yang dimiliki terkait dengan jabatan yang diincar. Namun, lebih karena figur, yakni popularitas atau dikenal.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Daftar 10 Artis Dunia Berkiprah di Pemerintahan, Anggota Dewan hingga Presiden
2. Hypereport: Cerita Rieke Diah Pitaloka Soroti #KaburAjaDulu hingga Pentingnya Data Nasional
3. Hypereport: Menilik Rekam Jejak Figur Publik di Pemerintahan
4. Hypereport: Cerita Ahmad Dhani-Giring Ganesha Mengurusi Musik & Budaya Lewat Regulasi
5. Hypereport: Yovie Widianto Bicara soal Kesejahteraan Para Pekerja Kreatif
"Kenapa selebritas kemudian menjadi pejabat? Karena terjadi pergeseran di tingkat elite politik, dari politik berbasis ideologi ke politik berbasis citra. Pada akhirnya, yang lebih populerlah yang diunggulkan. Sementara itu, di masyarakat sendiri, pragmatisme politik juga semakin berkembang," tegasnya.
Langkah partai yang menggandeng selebritas itu dibawa oleh eksekutif dalam konteks pemerintahan. Pemerintah memilih artis lantaran kader yang dimiliki oleh partai politik adalah para selebritas. Selain itu, pemilihan figur tersebut juga dari rasa ingin memoles citra tentang kinerja dan kebijakan yang dimiliki.
Tidak jauh berbeda, pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai bahwa tokoh populer yang masuk dalam pemerintahan sebenarnya tidak dipilih karena kapasitas untuk membangun negara. Keberadaan selebritas itu untuk mengimbangi kritik dan reputasi pemerintah.
“Situasi ini sudah dimulai sejak Pemerintahan Presiden Joko Widodo, di mana pemerintah bekerja dengan dua sistem, sistem pembangunan dan sistem pencitraan. Tokoh populer ditujukan untuk merekayasa reputasi itu,” ujarnya.
Menurutnya, keberadaan mereka tidak akan berdampak terhadap kemaslahatan bangsa mengingat kerja pemerintah memiliki basis birokrasi, sehingga tokoh yang dipilih cukup menguasai birokrasi. Selain itu, kemampuan lain figur yang perlu ada dalam pemerintahan adalah integritas.
Di sisi lain, tokoh populer selama ini hanya kerja profesional sebagai pekerja. Kehadiran selebritas itu bukan sebagai birokrat. Dengan begitu, imbas ekonomi hanya untuk diri sendiri.
Sementara itu, bagi pengamat politik Hendri Satrio, pengangkatan artis dalam pemerintahan kemungkinan bertujuan karena masyarakat cenderung lebih antusias bertemu dengan selebritas daripada pejabat pemerintah.
"Namun, bukan berarti ketika artis-artis masuk ke pemerintahan, rakyat tetap ingin berbincang dengan mereka. Sebab, setelah menjadi pejabat, mereka justru bisa dianggap berbeda, dan masyarakat mungkin enggan untuk berdiskusi dengan mereka," ujarnya.
Baca juga: Profil dan Rekam Jejak Ifan Seventeen yang jadi Dirut PT Produksi Film Negara (PFN)
Baik Usep, Dedi, maupun Hendri sepakat bahwa figur publik yang menduduki posisi di pemerintahan belum menunjukkan kinerja yang sesuai dengan harapan sejak dilantik hingga saat ini.
Dedi menilai bahwa tidak ada pencapaian berarti dari sejumlah tokoh populer tersebut, bahkan peran mereka cenderung menyerupai buzzer. "Menjadi buzzer seharusnya tidak memerlukan jabatan elit," ujarnya.
Sementara itu, Hendri berpendapat bahwa para figur publik di pemerintahan cenderung pasif dalam menjalankan tugasnya. Ia berpendapat bahwa para artis yang kini menjabat seharusnya meniru beberapa figur publik di parlemen yang mampu membuktikan kinerja mereka.
Usep juga berpendapat bahwa secara umum, para artis yang menduduki kursi pemerintahan belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Ia menuturkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam lima tahun ke depan, figur publik di pemerintahan tidak akan menghasilkan terobosan berarti.
Menurutnya, kompetensi seharusnya menjadi dasar utama dalam penempatan pejabat di pemerintahan. Setiap individu yang menduduki jabatan publik harus memiliki keahlian di bidang yang diembannya serta memahami permasalahan dalam sektornya agar dapat mencari solusi yang efektif.
"Harus ada sosok yang, misalnya, memiliki latar belakang akademik di bidang tersebut, serta pengalaman panjang dalam menggeluti tugas dan fungsinya," ujarnya.
Usep menegaskan bahwa memahami permasalahan dalam pemerintahan tidak bisa dilakukan secara instan atau asal-asalan. Pada akhirnya, banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cenderung populis. Meskipun tidak selalu buruk, ada kebijakan yang seharusnya tidak hanya berfokus pada upaya menyenangkan masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan strategi jangka panjang demi kepentingan bangsa dan negara.
"Untuk hal-hal semacam ini, menurut saya, dibutuhkan orang yang benar-benar kompeten dan memahami masalah secara mendalam. Bukan sekadar memberikan polesan atau membangun citra seolah-olah semuanya baik dan bermanfaat. Yang dibutuhkan adalah pertimbangan yang didasarkan pada kajian ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, bukan hanya sesuatu yang terlihat bagus di permukaan," ujarnya.
Dia juga menambahkan bahwa tidak ada yang salah dengan pengangkatan figur publik atau artis ke dalam pemerintahan. Di berbagai negara, beberapa selebritas juga menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Namun, yang membedakan adalah bahwa mereka memiliki kompetensi yang relevan dengan jabatan yang diemban, bukan sekadar dipilih karena popularitas semata.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Keputusan ini memicu perdebatan di tengah masyarakat, menimbulkan pertanyaan mengenai kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas pemerintahan yang kompleks dan penuh tanggung jawab.
Pengamat politik dan juga Peneliti Senior dari Populi Center Usep Saepul Ahyar menilai keterlibatan artis dalam pemerintahan lebih banyak karena pertimbangan pencitraan. Langkah pemerintah melibatkan para selebritas menunjukkan bahwa citra atau pencitraan lebih penting daripada latar belakang, kompetensi, dan kemampuan.
Keterlibatan artis dalam percaturan politik Indonesia sesungguhnya sudah terjadi sangat lama dan tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab yang membuat selebritas terlibat dalam perpolitikan Indonesia dan masuk dalam pemerintahan.
Pada era orde baru, orang-orang terkenal di masyarakat tersebut masuk dalam politik karena memang untuk menarik pemilih, endorser, menambah popularitas partai, dan sebagainya. Cara ini juga menjadi andalan banyak partai politik beberapa waktu belakangan lantaran partai mengalami kesulitan untuk menarik orang agar memilih partainya.
"Maka, para selebritas itu bergabung dengan partai politik, terutama karena ambang batas parlemen yang tinggi. Hal ini semakin menyulitkan partai politik dalam meraih suara," ujarnya kepada Hypeabis.id.
Para selebritas ditarik oleh partai untuk menjadi bagian di dalamnya juga karena tidak ada keinginan untuk menyiapkan kader. Banyak partai menempuh jalur instan dan mudah dengan memanfaatkan popularitas yang dimiliki oleh selebritas.
Sementara itu, perilaku pemilih juga mengalami perubahan. Banyak masyarakat memilih partai politik atau individu bukan karena kompetensi yang dimiliki terkait dengan jabatan yang diincar. Namun, lebih karena figur, yakni popularitas atau dikenal.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Daftar 10 Artis Dunia Berkiprah di Pemerintahan, Anggota Dewan hingga Presiden
2. Hypereport: Cerita Rieke Diah Pitaloka Soroti #KaburAjaDulu hingga Pentingnya Data Nasional
3. Hypereport: Menilik Rekam Jejak Figur Publik di Pemerintahan
4. Hypereport: Cerita Ahmad Dhani-Giring Ganesha Mengurusi Musik & Budaya Lewat Regulasi
5. Hypereport: Yovie Widianto Bicara soal Kesejahteraan Para Pekerja Kreatif
"Kenapa selebritas kemudian menjadi pejabat? Karena terjadi pergeseran di tingkat elite politik, dari politik berbasis ideologi ke politik berbasis citra. Pada akhirnya, yang lebih populerlah yang diunggulkan. Sementara itu, di masyarakat sendiri, pragmatisme politik juga semakin berkembang," tegasnya.
Langkah partai yang menggandeng selebritas itu dibawa oleh eksekutif dalam konteks pemerintahan. Pemerintah memilih artis lantaran kader yang dimiliki oleh partai politik adalah para selebritas. Selain itu, pemilihan figur tersebut juga dari rasa ingin memoles citra tentang kinerja dan kebijakan yang dimiliki.
Tidak jauh berbeda, pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai bahwa tokoh populer yang masuk dalam pemerintahan sebenarnya tidak dipilih karena kapasitas untuk membangun negara. Keberadaan selebritas itu untuk mengimbangi kritik dan reputasi pemerintah.
“Situasi ini sudah dimulai sejak Pemerintahan Presiden Joko Widodo, di mana pemerintah bekerja dengan dua sistem, sistem pembangunan dan sistem pencitraan. Tokoh populer ditujukan untuk merekayasa reputasi itu,” ujarnya.
Menurutnya, keberadaan mereka tidak akan berdampak terhadap kemaslahatan bangsa mengingat kerja pemerintah memiliki basis birokrasi, sehingga tokoh yang dipilih cukup menguasai birokrasi. Selain itu, kemampuan lain figur yang perlu ada dalam pemerintahan adalah integritas.
Di sisi lain, tokoh populer selama ini hanya kerja profesional sebagai pekerja. Kehadiran selebritas itu bukan sebagai birokrat. Dengan begitu, imbas ekonomi hanya untuk diri sendiri.
Sementara itu, bagi pengamat politik Hendri Satrio, pengangkatan artis dalam pemerintahan kemungkinan bertujuan karena masyarakat cenderung lebih antusias bertemu dengan selebritas daripada pejabat pemerintah.
"Namun, bukan berarti ketika artis-artis masuk ke pemerintahan, rakyat tetap ingin berbincang dengan mereka. Sebab, setelah menjadi pejabat, mereka justru bisa dianggap berbeda, dan masyarakat mungkin enggan untuk berdiskusi dengan mereka," ujarnya.
Baca juga: Profil dan Rekam Jejak Ifan Seventeen yang jadi Dirut PT Produksi Film Negara (PFN)
Baik Usep, Dedi, maupun Hendri sepakat bahwa figur publik yang menduduki posisi di pemerintahan belum menunjukkan kinerja yang sesuai dengan harapan sejak dilantik hingga saat ini.
Dedi menilai bahwa tidak ada pencapaian berarti dari sejumlah tokoh populer tersebut, bahkan peran mereka cenderung menyerupai buzzer. "Menjadi buzzer seharusnya tidak memerlukan jabatan elit," ujarnya.
Sementara itu, Hendri berpendapat bahwa para figur publik di pemerintahan cenderung pasif dalam menjalankan tugasnya. Ia berpendapat bahwa para artis yang kini menjabat seharusnya meniru beberapa figur publik di parlemen yang mampu membuktikan kinerja mereka.
Usep juga berpendapat bahwa secara umum, para artis yang menduduki kursi pemerintahan belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Ia menuturkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dalam lima tahun ke depan, figur publik di pemerintahan tidak akan menghasilkan terobosan berarti.
Menurutnya, kompetensi seharusnya menjadi dasar utama dalam penempatan pejabat di pemerintahan. Setiap individu yang menduduki jabatan publik harus memiliki keahlian di bidang yang diembannya serta memahami permasalahan dalam sektornya agar dapat mencari solusi yang efektif.
"Harus ada sosok yang, misalnya, memiliki latar belakang akademik di bidang tersebut, serta pengalaman panjang dalam menggeluti tugas dan fungsinya," ujarnya.
Usep menegaskan bahwa memahami permasalahan dalam pemerintahan tidak bisa dilakukan secara instan atau asal-asalan. Pada akhirnya, banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cenderung populis. Meskipun tidak selalu buruk, ada kebijakan yang seharusnya tidak hanya berfokus pada upaya menyenangkan masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan strategi jangka panjang demi kepentingan bangsa dan negara.
"Untuk hal-hal semacam ini, menurut saya, dibutuhkan orang yang benar-benar kompeten dan memahami masalah secara mendalam. Bukan sekadar memberikan polesan atau membangun citra seolah-olah semuanya baik dan bermanfaat. Yang dibutuhkan adalah pertimbangan yang didasarkan pada kajian ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, bukan hanya sesuatu yang terlihat bagus di permukaan," ujarnya.
Dia juga menambahkan bahwa tidak ada yang salah dengan pengangkatan figur publik atau artis ke dalam pemerintahan. Di berbagai negara, beberapa selebritas juga menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Namun, yang membedakan adalah bahwa mereka memiliki kompetensi yang relevan dengan jabatan yang diemban, bukan sekadar dipilih karena popularitas semata.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.