Hypereport: Cerita Rieke Diah Pitaloka Soroti #KaburAjaDulu hingga Pentingnya Data Nasional
09 March 2025 |
08:02 WIB
Sudah empat periode Rieke Diah Pitaloka menduduki jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Kesadaran politik yang dilatarbelakangi pemikiran akademik, mempengaruhi upayanya sebagai anggota parlemen dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.
Koalisinya dengan masyarakat sipil berhasil menggeser perspektif negara yang tadinya berorientasi pada bisnis penempatan buruh migran, menjadi perspektif perlindungan. Perjuangan panjang tersebut membuahkan hasil disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Rieke merupakan politisi, aktivis, sekaligus akademisi yang mengawali kariernya sebagai aktris. Perannya yang paling populer adalah saat dia memerankan karakter Oneng di situasi komedi (sitkom) Bajaj Bajuri yang tayang pada 2002-2007. Setelah itu, dia lebih aktif di dunia politik, hingga terpilih sebagai anggota parlemen.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Daftar 10 Artis Dunia Berkiprah di Pemerintahan, Anggota Dewan hingga Presiden
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Daftar 10 Artis Dunia Berkiprah di Pemerintahan, Anggota Dewan hingga Presiden
Selama menjabat sebagai anggota DPR sejak 2009, Rieke dikenal sebagai sosok yang kritis dan berani. Dalam berbagai kesempatan baik di dalam maupun di luar gedung parlemen, dia tidak segan untuk mengutarakan pemikiran dan pendapatnya terkait berbagai persoalan dalam negeri, hingga berhasil mendorong ditetapkannya sejumlah aturan yang mendukung kesejahteraan rakyat.
Alih-alih hanya terpaku untuk menangani permasalahan sesuai dengan komisi yang diembannya, Rieke justru memilih untuk bisa berkontribusi dimana saja. Tidak terbatas sekat apapun. Dia berupaya untuk memberikan kontribusi maksimal selagi mengemban amanah sebagai wakil rakyat.
Bagi Rieke, komisi hanya lah sistem pembagian kerja yang ada di DPR. Begitupun dengan daerah pemilihan (dapil) yang melekat pada jabatan anggota dewan hanyalah zonasi untuk keperluan proses elektoral. Menurutnya, anggota DPR sudah semestinya membuka diri untuk berbagai permasalahan hajat hidup masyarakat Indonesia, terlepas dari pembagian komisi kerjanya.
"Pada prinsipnya DPR RI itu bekerja sesuai dengan sumpah jabatan. Artinya kita tidak bisa membatasi hanya untuk komisi. Karena parlemen itu [dari kata] parle artinya bicara, menyuarakan aja itu sebetulnya udah kekuatan. Jadi kita itu bukan DPR komisi tapi DPR RI, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia," tegas perempuan berusia 51 tahun tersebut kepada Hypeabis.id.
Salah satu yang menyita perhatiannya ialah mengenai fenomena tagar Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu yang belakangan menjadi perbincangan publik di media sosial khususnya di kalangan anak muda. Tagar ini merupakan ungkapan atau seruan dari masyarakat khususnya anak muda untuk meninggalkan atau 'kabur' dari Indonesia demi bekerja maupun melanjutkan studi di luar negeri.
Fenomena Kabur Aja Dulu dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri. Situasi tersebut terjadi diduga karena banyaknya kebijakan pemerintah belakangan ini yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, fenomena Kabur Aja Dulu juga dikaitkan dengan sistem pendidikan di Tanah Air yang cenderung memiliki biaya mahal, rendahnya ketersediaan lapangan kerja, dan gaji per bulan yang rendah. Kondisi ini pun menciptakan keinginan di kalangan masyarakat untuk mengembangkan karier dan kualitas hidup di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah brain drain.
Brain drain adalah fenomena banyaknya tenaga terampil, berpendidikan tinggi dan profesional lainnya yang meninggalkan negara asal mereka dan pindah ke negara lain. Biasanya, mereka memilih negara tujuan yang menawarkan kondisi kerja yang lebih baik, gaji yang lebih tinggi, fasilitas penelitian yang lebih lengkap, atau peluang pengembangan karier yang lebih luas.
Brain drain adalah fenomena banyaknya tenaga terampil, berpendidikan tinggi dan profesional lainnya yang meninggalkan negara asal mereka dan pindah ke negara lain. Biasanya, mereka memilih negara tujuan yang menawarkan kondisi kerja yang lebih baik, gaji yang lebih tinggi, fasilitas penelitian yang lebih lengkap, atau peluang pengembangan karier yang lebih luas.
Bukan sekadar tagar, rupanya, niat migrasi di kalangan masyarakat khususnya anak muda cukup signifikan. Hal ini terungkap dalam hasil survei terbaru yang dilakukan oleh YouGov Indonesia. Survei yang dilakukan pada 24-27 Februari 2025 itu menemukan bahwa Gen Z menjadi generasi yang paling minat untuk pindah ke luar negeri dalam beberapa tahun ke depan sebagaimana diungkap oleh 41 persen dari responden.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan Milenial sebesar 31 persen, Gen X 26 persen, dan Baby Boomers 12 persen. Berbagai tujuan yang melatarbelakangi keinginan masyarakat pindah ke luar negeri, mulai dari ingin memulai bisnis sendiri, melanjutkan studi, hingga mencari peluang bisnis dan karier global.
Rieke menilai fenomena Kabur Aja Dulu merupakan sinyal masih minimnya pekerjaan layak yang bisa diakses oleh masyarakat, sehingga memaksa mereka untuk mencari peruntungan di negeri orang. Hal ini sebagaimana tercermin dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 yang mencatat jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal baru 60,81 juta orang atau 42,05 persen dari total 144,64 juta orang yang bekerja.
"Artinya memang perlu bekerja keras supaya ada penciptaan lapangan kerja di dalam negeri," katanya.
Baca juga: Bukan Tagar Belaka, 41% Anak Muda Minat 'Kabur' ke Luar Negeri
Baca juga: Bukan Tagar Belaka, 41% Anak Muda Minat 'Kabur' ke Luar Negeri
Sistem Ketenagakerjaan Terintegrasi
Menurutnya, fenomena #KaburAjaDulu harus dilihat sebagai kritik dari masyarakat agar pemerintah, DPR dan DPRD menjadi bagian untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan terintegrasi dengan pendidikan dan lapangan kerja.
Oleh karena itu, kata Rieke, pemerintah harus mulai membangun sistem ketenagakerjaan yang terintegrasi dengan sistem pendidikan dan sistem industri nasional. Dengan begitu, kebutuhan rakyat bekerja dapat dipersiapkan sejak masa pendidikannya hingga kemudian sampai mereka bisa mengakses pekerjaan yang baik.
Dia menilai pendidikan seharusnya bisa menjadi wadah menyiapkan SDM berkualitas sebagai tenaga pembangunan negeri di segala bidang, baik terampil maupun ahli. Misalnya, sekolah vokasi bisa menciptakan tenaga terampil, sementara lulusan sarjana, S2 hingga S3 bisa menjadi peneliti atau bekerja di sektor pendidikan.
Agar terciptanya lapangan kerja, diperlukan juga dukungan pemerintah terhadap penguatan industri nasional. Misalnya, dalam ketersediaan bahan baku, jaminan kegiatan produksi, keringanan terhadap subsidi energi hingga perbankan, sehingga menjadi ekosistem yang saling mendukung.
"Kalau kita lihat di negara-negara maju memang mereka memperjuangkan adanya sistem terintegrasi, sehingga semua itu [lapangan kerja] bisa dipersiapkan dengan baik," kata perempuan berdarah Sunda itu.
Rieke selama ini memang dikenal terlibat aktif dalam berbagai persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Perempuan kelahiran 8 Januari 1974 ini berkontribusi penting terhadap dijalankannya Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tercatat Rieke merupakan inisiator lahirnya Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Jaminan Sosial Nasional.
Undang-Undang tersebut menjadi landasan hukum dijalankannya lima jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematian.
Sebelum berkiprah di parlemen, Rieke juga merupakan Duta Buruh Migran Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan salah satu Board of Commitee Migrant Worker in Asia. Berkolaborasi dengan Migrant Care dan jejaring aktivis pejuang hak-hak pekerja migran, dia menjadi anggota DPR RI yang mengusung revisi atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Koalisinya dengan masyarakat sipil berhasil menggeser perspektif negara yang tadinya berorientasi pada bisnis penempatan buruh migran, menjadi perspektif perlindungan. Perjuangan panjang tersebut membuahkan hasil disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Aktris sekaligus politisi Rieke Diah Pitaloka. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)
Pentingnya Data Nasional Presisi
Pengalamannya menjadi anggota DPR sebanyak empat priode membuat Rieke sadar bahwa salah satu hal penting yang harus segera diwujudkan Indonesia ialah adanya sistem data nasional yang akurat, aktual dan relevan.
Bukan hanya berisi angka, data tersebut juga harus mengintegrasikan antara data peta dengan data numerik. Termasuk, data tematik dan data analisis yang bisa dihasilkan melalui kegiatan sensus.
Menurutnya, sistem data tersebut bisa menjadi basis data atau data dasar dalam perumusan kebijakan pembangunan di semua bidang. Sebaliknya, ketika data yang digunakan sebagai landasan kebijakan pembangunan bukan data yang aktual, akurat, dan relevan, maka terindikasi kuat akan tidak tepat sasaran hingga terjadinya penyimpangan anggaran.
Lebih lanjut, Rieke menuturkan sistem data nasional presisi harus diproduksi mulai dari tingkat desa, kelurahan, kabupaten, kota, provinsi, hingga dikumpulkan menjadi satu data Indonesia.
"Karena kebijakan pembangunan itu disusul dengan kebijakan anggarannya. Ketika data yang digunakan tidak akurat akan sangat berbahaya. Jadi kalau mau ditanya apa prioritas pertama [jabatan DPR saya 5 tahun ke depan] adalah membangun sistem pemerintahan berbasis data presisi," kata politisi kelahiran Garut, Jawa Barat, itu.
Gagasan itu pun Rieke tuangkan ke dalam disertasinya yang rampung pada 2022. Penelitiannya menghasilkan model pemikiran (thinking model) dari kebijakan pembangunan yang berbasis data akurat, aktual, dan relevan. Disertasi tersebut dibuatnya saat mengenyam pendidikan doktoral program studi Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
Keseluruhan disertasi Rieke dituangkan dalam buku Kekerasan Simbolik Negara: Kebijakan Rekolonialisasi. Pada saat buku tersebut diluncurkan, Rieke bersama dengan jejaring intelektual kolektif-implementatif dari berbagai perguruan tinggi dan yang berada di berbagai Kementerian dan Lembaga Negara sedang memperjuangkan direkognisinya temuan dari Dr. Sofyan Sjaf, dkk (Institut Pertanian Bogor) tentang Data Desa Presisi (DDP).
Perjuangan ini merupakan upaya melahirkan norma yuridis pendataan perdesaan yang membuka ruang partisipasi warga desa, untuk menghasilkan data yang akurat dan aktual. Data tersebut dibutuhkan guna mengakhiri kebijakan rekolonialisasi menjadi kebijakan afirmatif negara.
Tujuannya adalah melahirkan kebijakan pembangunan yang terukur, terencana dan tepat sasaran, sekaligus untuk menyelamatkan ribuan triliun uang rakyat di kas negara. "Setelah masuk 4 periode [sebagai anggota DPR], makin menyadari kalau data enggak dibenerin, udahlah semua tipu-tipu aja gitu," ucapnya.
Berkat kiprahnya di dunia politik, beberapa penghargaan berhasil diperoleh Rieke diantaranya Young Global Leader tahun 2011 dari World Economic Forum dan The Most Powerful Woman tahun 2010 dari Asia Globe.
Selain itu, Rieke saat ini juga merupakan Ketua Umum Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia, Duta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Dewan Pakar Indonesia untuk Memory of The World UNESCO, Dewan Penasihat Majelis Desa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI).
Di tengah karier politiknya, Rieke juga menggeluti dunia sastra dan sempat mendapatkan ilmu menulis puisi dari penyair Sitor Situmorang. Dia telah menerbitkan beberapa buku puisi, yaitu Renungan Kloset; dari Cengkeh sampai Utrecht (2003), Ups! (2006), Sumpah Saripah (2011), dan antologi puisi bersama penulis Agus Noor berjudul Cara Menikmati Kenangan dengan Baik (2021).
Dalam Pidato Kebudayaan Mangsimili yang berlangsung di Yogyakarta pada 20 November 2022, Rieke mengatakan bahwa dia tidak pernah memisahkan antara seni dan politik. Menurutnya, politisi yang baik adalah juga seorang seniman. Seniman yang terampil membuka jalan menuju tercapainya kesejahteraan dan keadilan bagi segenap warga negara berdasarkan kebijakan publik yang tepat sasaran.
"Saya politisi yang hidup dari seni. Seni mendidik saya menjadi politisi. Seni dan politik tidak pernah bisa saya pisahkan. Sebagai seniman yang juga politisi, saya berkeyakinan bahwa kesejahteraan rakyat tidak dapat dicapai dengan kebijakan politik, yang dirumuskan berdasarkan data-data yang tidak tepat."
Baca juga: Daftar Artis yang Menjadi Stafsus dan Pejabat Pemerintah, Siapa Saja?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Baca juga: Daftar Artis yang Menjadi Stafsus dan Pejabat Pemerintah, Siapa Saja?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.