Lakon Aduh dan Potret Kemanusiaan Tak Lekang Zaman
23 February 2025 |
16:35 WIB
Seorang pria berdandan ala koboi berdiri di atas kelimun orang. Sambil memegang megafon, dia meneriakkan, "Kerja..Kerja..Kerja..!" Sebelumnya, lengkingan sirine mengaum, dan gerombolan orang itu berderap dari arah penonton, menaiki panggung seraya menyanyikan mars.
Itulah pembuka adegan lakon Aduh, dalam pementasan Teater Mandiri pada 20-21 Februari 2025 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lakon Aduh, ditulis Putu Wijaya pada 1971, tiga tahun kemudian, untuk pertama kalinya naskah tersebut dipentaskan di TIM.
Baca juga: Teater Mandiri Gelar Workshop & Pementasan Lakon Aduh di Taman Ismail Marzuki
Kini, setelah setengah abad, lakon Aduh kembali dipentaskan. Sebagian besar pemainnya sudah berganti, bahkan realitas yang melingkupinya juga berubah. Namun, esensi dari naskah ini seolah abadi. Ia adalah potret kemanusiaan yang terus berulang, dan menunggu untuk diatasi.
Pada adegan, kelimun karakter tanpa nama itu hadir dalam situasi yang gaduh. Dibingkai dalam keributan, mereka seolah melawan sesuatu yang tak terlihat dari kain yang memanjang. Ada kalanya, seorang dari mereka tertelan, lalu menghilang dalam kegelapan.
Syahdan, muncul lelaki lain, yang terus mengerang dan mengaduh. Kerja pun terjeda. Pertentangan moral antara menolong atau melanjutkan kerja saling baku hantam antara satu karakter dengan karakter lain. Mengutamakan dulu kepentingan individual atau sosial?
Celakanya, karena sibuk mempertahankan silang pendapat, si sakit akhirnya meninggal dunia. Kelimun itu pun lalu saling menyalahkan. Sungkat cerita, alih-alih bekerja, mereka justru tertelan kekacauan dari banyak kepentingan. Satu pihak merasa paling benar, sembari menyalahkan pihak lain.
"Tidak usah menganggap siapa yang yang [paling] benar siapa yang [paling] salah. Anggap saja semua benar, semua salah," kata seorang pemeran tanpa karakter, Rukoyah Chan.
Aduh merupakan salah satu naskah ikonik dari Putu Wijaya. Dibuat pada 1971, naskah ini kelak memenangkan Lomba Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974. Berbeda dengan drama konvensionalnya yang realis, Bila Malam Bertambah Malam (1964), naskah ini memang sedikit 'membelot'.
Momen pembuatan naskah Aduh inilah yang, mungkin, memengaruhi gaya bertutur Putu Wijaya dalam senarai lakon yang lain. Di antaranya seperti Aum, Anu, Gerr, Blong, Tai, atau mungkin Merdeka, yang meski bukan drama, visual yang muncul saat dibaca hampir mirip dengan pola pementasan Teater Mandiri.
"Naskah ini ditulis tahun 1971, kemudian saya sempat memainkan di teater arena, TIM pada 1974. Saya mainkan persis sama seperti saya tulis," kata Putu Wijaya, saat konferensi pers pada Rabu, (19/2/25) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Kendati banyak yang menafsirkannya sebagai absurd, Putu mengatakan bahwa naskah ini bukanlah absurd. Menurutnya, lakon Aduh justru kisah tentang kenyataan di dalam masyarakat yang terus berlangsung sampai hari ini. Cermin dari masyarakat heterogen.
Pada naskahnya, Putu juga menggambarkan keadaan yang ironi dan, kebanyakan getir. Penonton seperti diajak untuk menertawakan situasi, dan diri sendiri. Sebuah keadaan yang muncul saat terjadi benturan antara pandangan dari dalam tentang diri sendiri dan pandangan dari luar.
Pada lakon Aduh, Putu juga menampilkan karakter-karakter tanpa nama. Sosok orang yang memegang megafon adalah Taksu Wijaya. Sementara di sakit adalah Khairul Fiqih Firmansyah, alias Acong. Acong nantinya juga berganti peran sebagai kelimun bersama Bambang Ismantoro, Jose Rizal Manua, Laila Uliel Elna'ma, Ari Sumitro, Rukoyah Chan, Widi Dwinanda, Penny Moehaji, Agung HS, dan Imron Rosadi.
Menteri Kebudayan Fadli Zon, mengatakan lakon Aduh adalah salah satu naskah masterpiece dari Putu Wijaya. Teaterawan asal Bali, itu menurutnya berhasil menafsir eksistensi manusia yang beragam, yang akhirnya saling bertentangan di realitas.
"Saya kira ini bagian dari teater absurd yang merefleksikan eksistensi manusia yang berbeda-beda. Pak Putu termasuk orang yang membawa genre ini ke Indonesia dengan pementasan yang menggugah dan berbeda, sehingga sangat distingtif," katanya.
Aktor senior Jose Rizal Manua mengatakan, dari setiap pementasan Aduh sejak 1974 hingga sekarang, Putu Wijaya tidak pernah mengulang. Namun, sutradara berusia 81 tahun itu selalu mengkontekstualisasikan naskah seturut dengan zaman. Ada aktualisasi di sana.
Walakin, karena Putu seorang penulis, maka dia tetap mempertahankan diksi yang sudah ada, alih-alih menggantinya dengan diksi baru atau lebih populer misalnya seperti kata oto, dokar, dan bemo. Jose pun mengaku menonton pementasan pada 1974, dia bahkan turut bermain memerankan karakter Pak Jenggot saat dipentaskan di Salihara.
Berbeda dengan teater dari kacamata barat, menurut Jose Teater Mandiri justru banyak mengambil teknik dan estetika dari tradisi. Oleh karena itu karakter yang dimainkan para aktor tidak pernah 'beku' mereka bisa cair bahkan memecah karakternya menjadi alienasi sebagaimana teknik Bertolt Brecht.
"Kalau kacamata barat, naskah ini bisa disebut absurd. Absurd dalam pengertian ini adalah kenyataan yang terbentur. Tapi di kita, itu hal yang biasa, yang khasanahnya diambil dari teater rakyat," kata aktor yang bergabung dengan Teater Mandiri sejak 1975, itu.
Selain pementasan, Tetaer Mandiri juga menggelar lokakarya di mana pesertanya akan diajak manggung memementaskan lakon Aduh. Workshop bertajuk Bertolak dari yang Ada & Teror Mental ini dilakukan untuk membagi gagasan yang dicetuskan oleh Putu Wijaya dalam proses produksi teater pada generasi muda.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Itulah pembuka adegan lakon Aduh, dalam pementasan Teater Mandiri pada 20-21 Februari 2025 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lakon Aduh, ditulis Putu Wijaya pada 1971, tiga tahun kemudian, untuk pertama kalinya naskah tersebut dipentaskan di TIM.
Baca juga: Teater Mandiri Gelar Workshop & Pementasan Lakon Aduh di Taman Ismail Marzuki
Kini, setelah setengah abad, lakon Aduh kembali dipentaskan. Sebagian besar pemainnya sudah berganti, bahkan realitas yang melingkupinya juga berubah. Namun, esensi dari naskah ini seolah abadi. Ia adalah potret kemanusiaan yang terus berulang, dan menunggu untuk diatasi.
Teater Mandiri mementaskan lakon Aduh di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 20-21 Februari 2025. (sumber gambar Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Pada adegan, kelimun karakter tanpa nama itu hadir dalam situasi yang gaduh. Dibingkai dalam keributan, mereka seolah melawan sesuatu yang tak terlihat dari kain yang memanjang. Ada kalanya, seorang dari mereka tertelan, lalu menghilang dalam kegelapan.
Syahdan, muncul lelaki lain, yang terus mengerang dan mengaduh. Kerja pun terjeda. Pertentangan moral antara menolong atau melanjutkan kerja saling baku hantam antara satu karakter dengan karakter lain. Mengutamakan dulu kepentingan individual atau sosial?
Celakanya, karena sibuk mempertahankan silang pendapat, si sakit akhirnya meninggal dunia. Kelimun itu pun lalu saling menyalahkan. Sungkat cerita, alih-alih bekerja, mereka justru tertelan kekacauan dari banyak kepentingan. Satu pihak merasa paling benar, sembari menyalahkan pihak lain.
"Tidak usah menganggap siapa yang yang [paling] benar siapa yang [paling] salah. Anggap saja semua benar, semua salah," kata seorang pemeran tanpa karakter, Rukoyah Chan.
Bukan Naskah Absurd
Aduh merupakan salah satu naskah ikonik dari Putu Wijaya. Dibuat pada 1971, naskah ini kelak memenangkan Lomba Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974. Berbeda dengan drama konvensionalnya yang realis, Bila Malam Bertambah Malam (1964), naskah ini memang sedikit 'membelot'.Momen pembuatan naskah Aduh inilah yang, mungkin, memengaruhi gaya bertutur Putu Wijaya dalam senarai lakon yang lain. Di antaranya seperti Aum, Anu, Gerr, Blong, Tai, atau mungkin Merdeka, yang meski bukan drama, visual yang muncul saat dibaca hampir mirip dengan pola pementasan Teater Mandiri.
"Naskah ini ditulis tahun 1971, kemudian saya sempat memainkan di teater arena, TIM pada 1974. Saya mainkan persis sama seperti saya tulis," kata Putu Wijaya, saat konferensi pers pada Rabu, (19/2/25) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Teater Mandiri mementaskan lakon Aduh di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 20-21 Februari 2025. (sumber gambar Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Pada naskahnya, Putu juga menggambarkan keadaan yang ironi dan, kebanyakan getir. Penonton seperti diajak untuk menertawakan situasi, dan diri sendiri. Sebuah keadaan yang muncul saat terjadi benturan antara pandangan dari dalam tentang diri sendiri dan pandangan dari luar.
Pada lakon Aduh, Putu juga menampilkan karakter-karakter tanpa nama. Sosok orang yang memegang megafon adalah Taksu Wijaya. Sementara di sakit adalah Khairul Fiqih Firmansyah, alias Acong. Acong nantinya juga berganti peran sebagai kelimun bersama Bambang Ismantoro, Jose Rizal Manua, Laila Uliel Elna'ma, Ari Sumitro, Rukoyah Chan, Widi Dwinanda, Penny Moehaji, Agung HS, dan Imron Rosadi.
Masterpiece
Menteri Kebudayan Fadli Zon, mengatakan lakon Aduh adalah salah satu naskah masterpiece dari Putu Wijaya. Teaterawan asal Bali, itu menurutnya berhasil menafsir eksistensi manusia yang beragam, yang akhirnya saling bertentangan di realitas."Saya kira ini bagian dari teater absurd yang merefleksikan eksistensi manusia yang berbeda-beda. Pak Putu termasuk orang yang membawa genre ini ke Indonesia dengan pementasan yang menggugah dan berbeda, sehingga sangat distingtif," katanya.
Aktor senior Jose Rizal Manua mengatakan, dari setiap pementasan Aduh sejak 1974 hingga sekarang, Putu Wijaya tidak pernah mengulang. Namun, sutradara berusia 81 tahun itu selalu mengkontekstualisasikan naskah seturut dengan zaman. Ada aktualisasi di sana.
Walakin, karena Putu seorang penulis, maka dia tetap mempertahankan diksi yang sudah ada, alih-alih menggantinya dengan diksi baru atau lebih populer misalnya seperti kata oto, dokar, dan bemo. Jose pun mengaku menonton pementasan pada 1974, dia bahkan turut bermain memerankan karakter Pak Jenggot saat dipentaskan di Salihara.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon memberi ucapan selamat pada Teater Mandiri setelah pementasan lakon Aduh di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025. (sumber gambar Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti) .
Berbeda dengan teater dari kacamata barat, menurut Jose Teater Mandiri justru banyak mengambil teknik dan estetika dari tradisi. Oleh karena itu karakter yang dimainkan para aktor tidak pernah 'beku' mereka bisa cair bahkan memecah karakternya menjadi alienasi sebagaimana teknik Bertolt Brecht.
"Kalau kacamata barat, naskah ini bisa disebut absurd. Absurd dalam pengertian ini adalah kenyataan yang terbentur. Tapi di kita, itu hal yang biasa, yang khasanahnya diambil dari teater rakyat," kata aktor yang bergabung dengan Teater Mandiri sejak 1975, itu.
Selain pementasan, Tetaer Mandiri juga menggelar lokakarya di mana pesertanya akan diajak manggung memementaskan lakon Aduh. Workshop bertajuk Bertolak dari yang Ada & Teror Mental ini dilakukan untuk membagi gagasan yang dicetuskan oleh Putu Wijaya dalam proses produksi teater pada generasi muda.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.