Pameran There Is No Center di Galeri ROH (Sumber gambar: JIBI/ Fanny Kusumawardhani)

Menggugat Sentralistis lewat Karya Seni dan Instalasi

19 February 2025   |   11:43 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Segelintir pihak kerap ingin membuat sesuatu menjadi terpusat di tengah perbedaan yang begitu beragam. Kondisi tersebut tidak jarang memberikan tekanan dan luka bagi banyak pihak. Padahal, berbeda dan menjadi diri sendiri bukan sesuatu yang buruk, mengingat perbedaan justru menjadi kekayaan yang harus dijaga. 

Gambaran situasi dilematis itu kental ditampilkan dalam pameran seni rupa di Galeri ROH, Jakarta yang berlangsung sampai dengan April 2025. Sebuah karya patung memberi gambaran tentang sesosok orang yang merasa sakit dan marah pada saat yang bersamaan. Beberapa bagian tubuhnya terpisah-pisah, tapi dia tetap hidup dan tenggelam dalam penderitaannya.

Baca juga: Usung Tajuk Fragmen, Agus Suwage Gelar Pameran Tunggal di Nadi Gallery

Karya tersebut berjudul Separated Generation (2024) dari seniman Albertho Wanma dengan medium fiber glass (Projected to metal), concrete steel, acrylic, berukuran 210x200x110 sentimeter. Karya dari seniman asal Papua itu menjadi salah satu pusat perhatian para pengunjung dalam pameran bertajuk There Is No Center.
 

Karya seniman Albertho Wanma (Sumber gambar: Jibi/ Fanny Kusumawardhani)

Karya seniman Albertho Wanma (Sumber gambar: Jibi/ Fanny Kusumawardhani)


Albertho mengungkapkan bahwa karya seni Separated Generations merupakan wujud pengalaman yang dialami oleh banyak generasi Indonesia di beberapa daerah. Mereka merasakan ada distorsi-distorsi nilai yang membekas dan meninggalkan banyak kerenggangan ketika banyak hal dipaksakan demi alasan sentralisasi.

“Contoh sederhana, seperti bahasa daerah. Bahasa daerah di beberapa tempat di Papua itu sangat dilarang digunakan,” katanya.

Pada masa tendensi politik begitu kencang di tanah Papua, semua orang tidak boleh berbicara dalam bahasa daerah lantaran harus melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang.

Larangan tidak tertulis itu terus berlangsung sampai penggunaan bahasa daerah di sekolah dan dalam berbagai bentuk – bahkan lirik lagu dalam bahasa daerah juga harus diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

“Nilai-nilai seperti itu, mungkin waktu itu bisa cukup diterima, tapi dampaknya setelah beberapa tahun kemudian [terhadap] generasi berikut. Faktanya adalah mereka tidak bisa bahasa ibu sendiri,” ujarnya.

Alberto yang merantau pergi ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan mendapatkan perbedaan dengan tempatnya berasal. Di Yogyakarta, dia masih menemukan banyak orang menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari – kecuali di ruang formal. Kenyataan itu menunjukkan bahwa budaya benar-benar dipertahankan lantaran menjadi salah satu ciri khas.

Dalam karyanya, para pencinta seni dapat melihat visual tubuh yang terpisah dengan konstruksi rangka yang menopangnya. Rangka yang menopang tubuh-tubuh terpisah itu merupakan representasi nilai-nilai yang ditawarkan untuk membentuk sesuatu.

Nilai-nilai itu – dalam kondisi tertentu – justru malah merusak bentuk yang sudah ada. “Bentuk yang utuh yang sebenarnya sudah ada, bentuk utuh lokalitas yang saya maksudkan itu justru terpecah dan terpisah dengan nilai-nilai [yang ditawarkan],” ujarnya.

Sementara itu, ekspresi karakter yang terlihat kesakitan dan marah dan tubuhnya terpisah-pisah dapat diinterpretasi sebagai gambaran penolakan dan keterpaksaan atas nilai-nilai yang ditawarkan untuk membentuk sesuatu atas nama sentralisasi.

Ekspresi tersebut bisa saja diinterpretasikan lain berbeda oleh penikmat karya seni yang lain. Namun, terlepas dari itu, sentralisasi seperti dua sisi mata uang. Dia bisa menjadi baik di satu sisi. Namun, tidak di sisi lainnya. Sentralisasi dapat menjadi tidak baik dan ternyata merusak sesuatu yang dalam tanda petik menyakitkan, dipaksakan. 

Sang seniman juga membuatkan penegasan bahwa sesosok yang tubuhnya terpisah-pisah itu masih hidup lewat aliran darah yang masih tersambung. Lewat simbol itu, dia ingin menyampaikan bahwa kehidupan masih terus berjalan dan masyarakat terus berproses. Terlepas dari masa lalu, pada saat ini, semua pihak perlu berpikir untuk membentuk nilai yang lebih manusiawi dengan kondisi yang ada.

Sementara itu, seniman Aditya Novali – lewat karya berjudul When it’s too painful to catch the light: object 1 (2025) dengan medium Multiboard, hand-cut mirror tile, chain 120 × 90 × 60 cm – “berbicara” tentang generasi saat ini yang selalu “dipaksa” mencari validasi.

Aditya “bermain” dengan blencong, yakni lampu yang kerap digunakan dalam pertunjukan wayang dan juga bola lampu disko yang akan menunjukkan visual disko dengan bentuk wayang ketika berada dalam gelap dan dinyalakan.

Perpaduan kedua medium tersebut dilakukan lantaran keduanya memiliki cerita, sejarah, dan sudut pandang yang berbeda. Namun, terkadang, merepresentasikan sesuatu yang sangat klasik.

“Jadi, dia memberi 'cahaya' termasuk yang disco ball juga dia memberi 'cahaya', memendarkan cahaya dan dua-duanya dalam lingkungan pertunjukan, tergantung kayak di suatu tempat, sendirian, menjadi cahaya tersendiri. Puitisnya buat saya lebih ke dia sendirian, tapi dia ada di situ,” ujarnya.

Karya tersebut terinspirasi dari kondisi sosial masyarakat pada saat ini yang berhadapan dengan media sosial dan segala macamnya. Banyak orang selalu dipaksa untuk mencari jawaban atau validasi setiap hari.

Semua orang selalu berkompetisi tanpa disadari oleh diri sendiri. Tidak jarang individu merasa berkompetisi dengan diri sendiri ketika melihat media sosial meskipun sebenarnya tidak ada yang mengajak untuk melakukan itu. 

“Nah, di situ, akhirnya saya mengambil ide yang see light itu lebih ke itu. Jadi, bagaimana kita mendefinisikan value, membuat validasi terhadap sesuatu dan selalu mencari jawaban. Padahal, sebenarnya enggak semua harus dicari jawabannya dan tidak semua harus divalidasi,” katanya. Selain itu, orang juga tidak harus selalu mencari validasi orang lain karena sebenarnya memiliki validasi sendiri. 

Karya dari Albertho dan Aditya merupakan dua dari banyak karya yang hadir dalam pameran bertajuk There Is No Center di ROH. Dalam pameran itu, beragam karya yang merefleksikan ketiadaan pusat, hadir di berbagai sudut pameran.

Baca juga: Mewaspadai Sejarah yang Berulang di Pameran Rubanah Underground Jakarta

Jun Tirtadji, Founder dan Director ROH, mengungkapkan bahwa pameran ini ada untuk merespons situasi terkini yang makin lama kian multipolar. Selain itu, galeri juga ingin membangun suatu pameran yang merepresentasikan atau menanggapi situasi yang terjadi di dunia yang lebih besar.

“Dan untuk memikirkan hal-hal itu dalam bentuk pameran,” katanya. Lewat pameran ini, para pencinta seni diajak untuk ikut mengelaborasi dan memikirkan pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai kondisi yang ada di dunia  saat ini.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Fakta Menarik Variety Show Good Day, G-Dragon Membuat Musik Sambil Berdonasi

BERIKUTNYA

Tagar Kabur Aja Dulu Ramai di Medsos, Begini Kata Sosiolog

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: