Ilustrasi MBG (Sumber : indonesia.go.id)

Yuk Mengenal Shokuiku, Program Makan Bergizi Gratis Jepang yang Punya Sejarah Panjang

13 February 2025   |   21:30 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Penerapan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia bukanlah hal baru dalam skala global. Jepang, misalnya, telah mengembangkan konsep makan siang sekolah yang tidak hanya menyediakan makanan sehat bagi anak-anak tetapi juga menjadi bagian dari pendidikan gizi yang disebut shokuiku.

Konsep ini menjadi perhatian dalam seminar ilmiah Shokuiku Nutrisi dan Edukasi yang digelar oleh PT Yakult Indonesia Persada di Jakarta, Kamis (13/2/2025).

Baca juga: Cerita Makan Bergizi Gratis, Siswa Minta Susu hingga Perlunya Jaminan Kualitas Makanan

Presiden Direktur PT Yakult Indonesia, Hiroshi Kawaguchi menjelaskan bahwa shokuiku merupakan pendidikan pangan yang menekankan keseimbangan gizi dalam konsumsi makanan. “Kami memahami bahwa stunting pada sebagian anak menjadi masalah serius. Penting bagi masyarakat, terutama ibu hamil dan anak-anak, untuk mendapatkan edukasi mengenai makanan bergizi dan mengonsumsinya. Kami ingin berkontribusi pada edukasi makanan bergizi dan seimbang,” ujarnya.

Jepang telah menjalankan program makan siang sekolah sejak 1889. Saat itu, menu yang disediakan cukup sederhana, terdiri atas nasi, ikan, dan sedikit acar sayuran. Seiring waktu, menu ini berkembang, terutama setelah Perang Dunia II ketika UNICEF mulai menyediakan susu bagi anak-anak untuk meningkatkan gizi mereka. Pada 1949, Jepang secara resmi memberlakukan Undang-Undang Makan Siang Sekolah, menjadikannya bagian integral dari sistem pendidikan.

Hingga 1975, makanan yang disajikan di sekolah-sekolah Jepang masih berbasis roti. Namun, hal ini menimbulkan tantangan, karena banyak anak yang kesulitan menggunakan sumpit akibat kebiasaan makan dengan sendok dan garpu. Akhirnya, menu sekolah beralih ke makanan berbasis nasi dan semakin beragam dengan memasukkan berbagai hidangan khas Jepang.

Pada 2005, Jepang memperkenalkan Undang-Undang Dasar Pendidikan Makan (Shokuiku), yang mengintegrasikan makan siang ke dalam kurikulum pendidikan. Guru ahli gizi, yang memiliki lisensi khusus, ditunjuk oleh Dewan Pendidikan di masing-masing prefektur untuk memastikan bahwa makanan yang disajikan memenuhi standar gizi dan kebersihan.

Prof. Naomi Aiba dari Kanagawa Institute of Technology, Jepang, menjelaskan bahwa peran guru gizi di sekolah sangat vital dalam memastikan setiap anak memahami pentingnya pola makan sehat.

“Pendidikan gizi bukan hanya tentang asupan makanan, tetapi juga membangun kebiasaan makan yang baik dan menanamkan kesadaran tentang budaya makan yang sehat,” ujarnya dalam seminar tersebut.


Pendidikan Gizi Sebagai Bagian dari Kurikulum

Konsep shokuiku tidak sekadar menyediakan makanan sehat, tetapi juga memberikan edukasi tentang gizi kepada siswa. Waktu makan siang di sekolah Jepang dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran, yang berlangsung selama 45 menit, sepanjang satu sesi mata pelajaran.

Selama waktu makan siang, siswa belajar tentang asal-usul makanan mereka, pentingnya mengurangi limbah makanan, serta cara menikmati makanan dengan penuh kesadaran. Guru kelas dan guru gizi bekerja sama dalam memberikan edukasi ini. Sebelum makan, siswa mendapatkan bimbingan singkat tentang manfaat gizi dari menu yang disajikan, termasuk kandungan kalori, vitamin, dan mineral yang mereka konsumsi.

“Dengan menikmati makanan bersama, anak-anak secara alami belajar menghargai makanan dan memahami manfaatnya bagi tubuh mereka. Ini juga membantu mereka mengembangkan kebiasaan makan sehat yang akan bertahan hingga dewasa,” tambah Naomi Aiba.

Selain aspek edukatif, standar gizi makan siang sekolah di Jepang juga diawasi dengan ketat. Kandungan garam dalam makanan terus dikurangi untuk mencegah risiko penyakit kardiovaskular. Standar asupan garam untuk siswa sekolah menengah, misalnya, ditetapkan hanya 2 gram per kali makan, lebih rendah dibandingkan rata-rata konsumsi garam masyarakat Jepang secara umum.


Belajar dari Jepang: Peluang untuk Indonesia

Model makan siang sekolah Jepang yang menggabungkan edukasi gizi dan pengawasan ketat terhadap asupan makanan bisa menjadi referensi bagi Indonesia dalam menjalankan program Makan Bergizi Gratis. Dengan kondisi di mana stunting masih menjadi permasalahan besar, konsep shokuiku dapat menjadi solusi jangka panjang yang tidak hanya memperbaiki asupan gizi anak-anak tetapi juga menanamkan kebiasaan makan sehat sejak dini.

Namun, ada tantangan yang harus dihadapi. Indonesia perlu memastikan bahwa tenaga pendidik, termasuk guru gizi, tersedia di setiap sekolah. Selain itu, bahan pangan yang digunakan sebaiknya berasal dari sumber lokal, sebagaimana diterapkan di Jepang, untuk mendukung petani lokal sekaligus memastikan ketahanan pangan nasional.

Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa mengambil pelajaran dari sistem shokuiku di Jepang dan mengadaptasikannya sesuai dengan kebutuhan lokal. Seperti yang diungkapkan Hiroshi Kawaguchi, “Edukasi gizi harus menjadi bagian dari keseharian anak-anak. Bukan hanya tentang apa yang mereka makan hari ini, tetapi juga bagaimana mereka membuat pilihan makanan yang baik di masa depan.”

Baca juga: Begini Proses Pembuatan Susu Ikan, Bakal Masuk Menu Makan Bergizi Gratis

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Fakta Unik Jake ENHYPEN yang Kejutkan ENGENE Indonesia

BERIKUTNYA

Tren Koleksi Raya dari Heart Troops Bawa Nuansa Tradisional dengan Sentuhan Modern

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: