Ilustrasi penjahat siber. (Sumber gambar: Pexels/ThisIsEngineering)

AI Bikin Hidup Lebih Mudah, Tapi Juga Buka Pintu Kejahatan Siber?

06 February 2025   |   09:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Persaingan artificial intelligence (AI) tampak memanas dalam beberapa pekan terakhir dengan hadirnya sejumlah model baru yang menawarkan performa hingga efisiensi. Namun di balik riuhnya kecanggihan teknologi kecerdasan buatan ini, ada keresahan hingga ancaman keamanan yang mengintai.

DeepSeek dengan model AI terbarunya, DeepSeek-R1 cukup menggemparkan industri teknologi global saat ini lantaran menawarkan kinerja yang lebih cepat, sifatnya yang open-source, inovatif, efisien, dan biaya murah. Tak ayal, banyak orang berbondong-bondong untuk menjajal kecerdasan buatan milik startup teknologi asal China tersebut. 

Baca juga: Hypeprofil Creative Advisor Motulz Anto: Kecerdasan Buatan itu Alat, Bukan Pengganti Manusia

Kendati demikian, dalam kondisi ramainya pengunduhan DeepSeek-R1, perusahaan mengaku mengalami insiden serangan siber skala besar yang membuat pengguna kesulitan untuk mendaftar. Diduga serangan ini merupakan upaya pencurian data.

Analis Konten Web Senior Kaspersky Olga Svistunova menerangkan dari pemetaan, para penjahat siber berupaya mencuri kredensial pengguna dengan membuat halaman web DeepSeek palsu. Dengan modus ini, penyerang dapat mengumpulkan email dan kata sandi pengguna. 

“Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengakses akun pengguna di DeepSeek atau layanan lain, jika kata sandinya sama untuk beberapa akun,” ujarnya dikutip Hypeabis.id.

Kaspersky juga menemukan beberapa token kripto baru berdasarkan promosi DeepSeek yang dijual. Namun, token tersebut tidak terkait dengan merek DeepSeek secara resmi.

Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) bukan saja membawa dampak signifikan terhadap inovasi perangkat pintar, tetapi juga meningkatkan risiko keamanan siber karena mudah dieksploitasi.

Seperti diketahui, untuk menjajal model AI, pengguna biasanya mengaksesnya menggunakan perangkat pintar seperti smartphone atau laptop.

Pratama menyampaikan salah satu metode serangan siber yang mungkin terjadi di tengah perkembangan AI adalah poisoning attack. Dalam modus ini, penjahat siber menyuntikkan data berbahaya selama proses pembelajaran model. Hal ini dapat mengubah perilaku AI secara tidak terduga, misalnya dalam pengenalan wajah, sehingga memungkinkan akses dari individu yang tidak berwenang. 

Adversarial attack juga menjadi ancaman serius. Dalam jenis serangan ini, penyerang menggunakan input yang dirancang khusus, seperti gambar atau suara, untuk mengecoh model AI sehingga memberikan hasil yang salah atau bahkan membuka celah keamanan. 

Pun jika data diproses secara lokal di perangkat, tidak sepenuhnya menghilangkan risiko eksploitasi. Data yang digunakan atau dihasilkan oleh AI, seperti pola perilaku pengguna atau data biometrik, dapat menjadi target serangan jika penyimpanannya tidak aman. 

Penyerang dapat memanfaatkan malware untuk mencuri informasi tersebut, yang pada akhirnya dapat digunakan untuk pencurian identitas digital. Lebih jauh lagi, Pratama menyebut AI yang canggih juga membuka peluang bagi penyalahgunaan seperti pembuatan deepfake secara langsung di perangkat. 

“Teknologi ini dapat digunakan untuk memanipulasi media dengan tujuan penipuan, pemerasan, atau penyebaran disinformasi,” tuturnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.

Selain itu, penyadapan data pribadi melalui pola perilaku pengguna yang dipelajari oleh AI juga berpotensi membuka jalan bagi serangan yang lebih canggih, seperti phishing berbasis AI. Serangan ini kata Pratama memanfaatkan data yang dikumpulkan untuk membuat pesan atau email yang dipersonalisasi, sehingga lebih sulit dikenali sebagai ancaman.

Senada, Direktur Eksekutif ICT Institute berpendapat kejahatan berbasis teknologi informasi, seperti deepfake, bakal masif. Para penjahat tidak lagi butuh waktu lama untuk membobol pusat data atau mengambil data pribadi. 

Selain potensi kejahatan siber, pemanfaatan AI diperkirakan akan menggantikan peran manusia di berbagai sektor dan bidang. “Misal bagian administratif mencari data, itu bisa digantikan dengan AI,” sebutnya.

Begitu pula posisi pejabat di pemerintahan hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bisa saja tergantikan ketika AI dimanfaatkan dengan matang. Profesi musisi juga bisa terancam karena musik bisa dibuat dengan AI. Pada akhirnya, menurut Heru banyak posisi-posisi yang nanti akan dipertanyakan manfaat dan keberadaannya.

Di tengah keresahan ini, penting untuk mengatur etika terkait pemanfaatan AI. Heru mengatakan AI harus berperan sebagai alat bukan menggantikan peran manusia.

Kendati demikian, jangan pula manusia terlalu bergantung kepada kecerdasan buatan. Heru menilai manusia tetap harus mengasah kemampuan otak. Sebab jika semua pekerjaan menggunakan AI, memori manusia katanya akan sedikit dan otak menjadi mengecil.

“Padahal itu menjadi kelebihan dari manusia untuk tetap menggunakan memorinya. Kita menggunakan AI sebagai alat, bukan kemudian untuk segala-galanya, kita bergantung pada AI,” tegas Heru.

Baca juga: Segera! Pemerintah Bakal Terbitkan UU Kecerdasan Buatan yang Atur Etika & Hak Cipta

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Bagaimana Nasib Budaya di Era Efisiensi Anggaran? Ini Jawaban Menbud Fadli Zon

BERIKUTNYA

Jurassic World Rebirth Rilis Trailer Perdana, Tampilkan Scarlett Johansson dan Jonathan Bailey

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: