Profil S. Rukiah, Sastrawati Realis Humanis yang Disingkirkan Rezim
23 October 2023 |
12:30 WIB
Dalam khazanah sastra, nama Siti Rukiah atau S. Rukiah mungkin kurang begitu populer dikenal publik. Namun, sastrawan angkatan 45 asal Purwakarta, Jawa Barat itu telah melahirkan belasan karya, khususnya cerita anak, puisi, cerpen, dan novel.
Tak hanya itu, Rukiah juga telah mendapatkan perhatian yang baik dari para kritisi saat merespon karya-karyanya. Beberapa di antaranya termasuk Ajip Rosidi, Sri Rahayu Prihatmi, dan Sumardjo yang mengapresiasi karyanya dengan sangat positif.
Baca juga: Menorehkan Sastra ke Medium Seni Rupa lewat Pameran Kejatuhan dan Hati di PKN 2023
Rukiah mengenyam pendidikan sekolah Rendah Gadis di Purwakarta, kemudian dia melanjutkan pendidikan ke sekolah Guru (CVO) selama dua tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan dari CVO, perempuan kelahiran 25 April 1927 itu memutuskan untuk menjadi guru.
Di samping itu, Rukiah pernah menjadi sekretaris redaksi majalah Pujangga Baru dan menjadi redaksi di majalah Bintang Timur/Lentera bersama Pramoedya Ananta Toer. Selain itu dia juga pernah bekerja di Majalah Pendidikan Anak-anak, Cendrawasih, dan anggota Pimpinan Pusat Lekra 1959—1965.
Tak hanya itu, pada masa revolusi dia pun ikut terjun dan terlibat di Palang Merah Indonesia (PMI) serta berbagai aktivitas perjuangan perempuan dalam merebut kemerdekaan. Di medan revolusi inilah dia bertemu Sidik Kertapati, seorang pejuang kemerdekaan yang kelak menjadi suaminya.
Kiprah Rukiah dimulai saat dia menulis di berbagai majalah sejak 1946, seperti dalam Gelombang Zaman, dan Mimbar Indonesia. Tekad hatinya dalam dunia kepenulisan juga tak lepas dari dorongan pelukis Hendra Gunawan yang masih memiliki hubungan kerabat dengannya.
Dalam berkarya, Rukiah tidak hanya menulis sajak, tetapi cerpen dan novel. Kumpulan sajak dan cerpennya telah dibukukan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, 1952, berjudul Tandus yang mendapat hadiah Sastra Nasional BKMN pada tahun 1952.
Karyanya yang lain adalah novel Kejatuhan dan Hati (1950), cerita anak Si Rawun dan Kawan-Kawannya (1955), Teuku Hasan Johan Pahlawan (1957), Taman Sanjak si Kecil (1959), Jaka Tingkir (1962), Dongeng-dongeng Kutilang (1962), dan Kisah Perjalanan si Apin (1962).
Kendati begitu, buah karya Rukiah yang dianggap memberikan sumbangan berharga dalam kesusastraan Indonesia, salah satunya adalah Kejatuhan dan Hati. Mengambil latar suasana revolusi Indonesia, novel ini bercerita tentang keadaan revolusi 45 dari sudut pandang karakter utamanya yang bernama Susi.
Berbeda dengan penulis lain pada masanya, Rukiah mengesampingkan narasi heroik yang maskulin dan sarat dengan pertumpahan darah di medan perang. Namun, dia justru menghadirkan pergolakan batin seorang perempuan dalam memaknai cinta yang berdenyut dalam gejolak kemerdekaan Indonesia.
Tak hanya itu, Rukiah pun terus mengetengahkan adanya ketimpangan relasi gender yang berlapis-lapis di pada masa itu. Berada di garda terdepan, dia kerap menarasikan pengalaman perempuan yang tidak terdengar, perjuangan kaum buruh perempuan yang tidak tertulis dalam berbagai karya-karyanya.
Namun, peristiwa Gestok pada tahun 1965, mengubah kariernya sebagai sastrawan. Keterlibatannya dalam Lekra menyebabkannya dia harus berpisah dengan keluarganya, dan menjadi tahanan di kompleks Corps Polisi Militer (CPM) Purwakarta, dan rutan Bandung hingga 1969.
Setelah dibebaskan, Rukiah kembali ke Purwakarta, tapi kehidupannya terasa berat, sebab tidak dapat berjumpa dengan suaminya, Sidik Kertapati dan dilarang menulis. Sidik melarikan diri ke Belanda karena aktivitasnya di Barisan Tani Indonesia (BTI) juga terdampak tragedi Gestok.
Baca juga: Profil Iwan Yusuf, Seniman yang Haus Bereksplorasi dengan Ragam Media
Pada 1996, Rukiah menghembuskan napas terakhirnya di Purwakarta. Nama dan karya-karyanya pun sempat dihilangkan dalam dunia sastra Indonesia. Barulah pada 2017, kedua karya terbaiknya yang berjudul Kejatuhan dan Hati dan Tandus diterbitkan kembali oleh Penerbit Ultimus di Kota Bandung.
Editor: Fajar Sidik
Tak hanya itu, Rukiah juga telah mendapatkan perhatian yang baik dari para kritisi saat merespon karya-karyanya. Beberapa di antaranya termasuk Ajip Rosidi, Sri Rahayu Prihatmi, dan Sumardjo yang mengapresiasi karyanya dengan sangat positif.
Baca juga: Menorehkan Sastra ke Medium Seni Rupa lewat Pameran Kejatuhan dan Hati di PKN 2023
Rukiah mengenyam pendidikan sekolah Rendah Gadis di Purwakarta, kemudian dia melanjutkan pendidikan ke sekolah Guru (CVO) selama dua tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan dari CVO, perempuan kelahiran 25 April 1927 itu memutuskan untuk menjadi guru.
Di samping itu, Rukiah pernah menjadi sekretaris redaksi majalah Pujangga Baru dan menjadi redaksi di majalah Bintang Timur/Lentera bersama Pramoedya Ananta Toer. Selain itu dia juga pernah bekerja di Majalah Pendidikan Anak-anak, Cendrawasih, dan anggota Pimpinan Pusat Lekra 1959—1965.
Tak hanya itu, pada masa revolusi dia pun ikut terjun dan terlibat di Palang Merah Indonesia (PMI) serta berbagai aktivitas perjuangan perempuan dalam merebut kemerdekaan. Di medan revolusi inilah dia bertemu Sidik Kertapati, seorang pejuang kemerdekaan yang kelak menjadi suaminya.
Kiprah Rukiah dimulai saat dia menulis di berbagai majalah sejak 1946, seperti dalam Gelombang Zaman, dan Mimbar Indonesia. Tekad hatinya dalam dunia kepenulisan juga tak lepas dari dorongan pelukis Hendra Gunawan yang masih memiliki hubungan kerabat dengannya.
Dalam berkarya, Rukiah tidak hanya menulis sajak, tetapi cerpen dan novel. Kumpulan sajak dan cerpennya telah dibukukan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, 1952, berjudul Tandus yang mendapat hadiah Sastra Nasional BKMN pada tahun 1952.
Buku-buku karya S. Rukiah (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Kendati begitu, buah karya Rukiah yang dianggap memberikan sumbangan berharga dalam kesusastraan Indonesia, salah satunya adalah Kejatuhan dan Hati. Mengambil latar suasana revolusi Indonesia, novel ini bercerita tentang keadaan revolusi 45 dari sudut pandang karakter utamanya yang bernama Susi.
Berbeda dengan penulis lain pada masanya, Rukiah mengesampingkan narasi heroik yang maskulin dan sarat dengan pertumpahan darah di medan perang. Namun, dia justru menghadirkan pergolakan batin seorang perempuan dalam memaknai cinta yang berdenyut dalam gejolak kemerdekaan Indonesia.
Tak hanya itu, Rukiah pun terus mengetengahkan adanya ketimpangan relasi gender yang berlapis-lapis di pada masa itu. Berada di garda terdepan, dia kerap menarasikan pengalaman perempuan yang tidak terdengar, perjuangan kaum buruh perempuan yang tidak tertulis dalam berbagai karya-karyanya.
Namun, peristiwa Gestok pada tahun 1965, mengubah kariernya sebagai sastrawan. Keterlibatannya dalam Lekra menyebabkannya dia harus berpisah dengan keluarganya, dan menjadi tahanan di kompleks Corps Polisi Militer (CPM) Purwakarta, dan rutan Bandung hingga 1969.
Setelah dibebaskan, Rukiah kembali ke Purwakarta, tapi kehidupannya terasa berat, sebab tidak dapat berjumpa dengan suaminya, Sidik Kertapati dan dilarang menulis. Sidik melarikan diri ke Belanda karena aktivitasnya di Barisan Tani Indonesia (BTI) juga terdampak tragedi Gestok.
Baca juga: Profil Iwan Yusuf, Seniman yang Haus Bereksplorasi dengan Ragam Media
Pada 1996, Rukiah menghembuskan napas terakhirnya di Purwakarta. Nama dan karya-karyanya pun sempat dihilangkan dalam dunia sastra Indonesia. Barulah pada 2017, kedua karya terbaiknya yang berjudul Kejatuhan dan Hati dan Tandus diterbitkan kembali oleh Penerbit Ultimus di Kota Bandung.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.