Seteleng Define Comedy, Saat Humor & Tragikomedi Dikupas Lewat Bahasa Rupa
23 January 2025 |
16:30 WIB
Humor merupakan salah satu bagian penting dalam hidup manusia. Sebab, lewat humor seseorang bisa tertawa, yang diyakini dapat memperbaiki suasana hati, dan tentu saja menakik stres hingga kram di otak. Dari era Yunani sampai kiwari, juga ada banyak humor-humor terkenal.
Tak hanya dari hal-hal yang lucu, humor juga bisa muncul dari tragedi. Rumusnya pun sederhana, yakni (tragedi+waktu=komedi). Singkat kata, suatu kejadian tragis jika diberi jarak waktu yang cukup, maka akan berubah menjadi sesuatu yang dapat kita tertawakan.
Dalam sastra, metode tersebut biasanya digunakan untuk menulis karya-karya bergaya satir. Namun unsur gabungan antara tragedi dan komedi itu, dengan cerlang juga digunakan sejumlah seniman dalam pameran Define Comedy di ISA Art, Gallery Jakarta, hingga 7 Februari 2025.
Baca Juga: Seniman Yusuf Susilo Hartono & Budhi Brassco Siap Gelar Pameran Kasih
Misalnya lewat lukisan bertajuk The Meaning is Confused by The Startup (acrylic on canvas, 80x60 cm, 2024) karya Ardi Gunawan. Lewat lukisan ini, dengan gaya komikal, sang seniman menggambarkan para pekerja kantoran dengan mata melotot karena kekurangan tidur.
Walakin, mereka harus tetap fokus di depan laptop dengan setumpuk pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya. Pemandangan ini pun sudah menjadi hal lumrah bagi kehidupan kaum urban. Sebuah paradoks dari kalimat merintis masa depan, atau mempertahankan cara dapur tetap ngebul.
Pola yang sama juga tergambar dalam lukisan The Meaning is Confused by The Middle Class. Masih menggunakan media yang sama, Ardi Gunawan seperti sedang mengolok-olok kehidupan kelas menengah saat mengunjungi mall. Namun, semuanya harus dibayar dengan kerja banting tulang.
Momen tragikomedi juga terefleksi dalam karya dari 7 seniman lain. Mereka adalah Beyond Crap, Fffffandy, Luh'De Gita, Tennessa Querida, Summerayn (Motionbeast), S.Urubingwaru, dan Zikry Rediansyah. Semua seniman ini membawa karya dua dimensi, kecuali Summerayn, yang memboyong karya digital.
Mengeksplorasi material yang berbeda, masing-masing seniman, juga menyumbangkan perspektif unik terhadap tema tragikomedi. Beyond Crap, misalnya, membawa karya instalasi bertajuk ‘Talk Less Book More (2024) dan Komentator (2024) dengan tulisan-tulisan yang jahil untuk menertawakan dirinya sendiri.
Memanfaatkan karton susu bekas dan papan gabus, sang seniman seolah sedang mengomentari proses produksi seni. Dengan gaya menohok, dia menghadirkan narasi spontan sekaligus reflektif, khususnya saat mengolok-olok bagaimana seniman mengatasi tenggat pameran, dan yang lain.
Unsur tragedi yang memanfaatkan ironi juga diungkai seniman Dabi Arnasa, lewat karya bertajuk Ruang Hidup Manusia. Berdimensi 110X178 cm, karya menggunakan media akrilik ini seperti menggambarkan tragedi alam semesta. Penggundulan hutan, hingga krisis iklim yang kian meruyak ke ruang-ruang personal.
Dengan satir, perupa asal Bali itu mengkritisi antroposentrisme dengan cara yang lembut. Ranjang kayu yang berlumuran darah, seperti menggambarkan manusia yang tidur di atas bumi yang kian ringkih. Namun, mereka hanya termangu saat melihat pohon-pohon mati mengering.
"Saat manusia menginginkan hidup berdekatan dengan alam, tetapi manusia justru membuat alam tersebut tidak natural, mereka selalu dikontrol manusia. Ini aku jadikan representasi sebagai bentuk penguasaan manusia terhadap alam," katanya.
Lain lagi dengan Zikry Rediansyah, yang mengeksplorasi kehidupan sehari-hari dengan naif, lewat gambar anak-anak muda yang 'dikecilkan' dalam lanskap kota, meja makan, dan lapangan tenis. Misal, lewat karya bertajuk Dinner (acrylic on canvas, 100X45 cm, 2024) yang menggambarkan dua sejoli sedang makan malam.
Namun, alih-alih menggambarkan objek utama, sang seniman justru memperbesar kudapan yang mereka pesan melebihi ukuran para subjek. Dua sejoli itu dilukiskan menjadi sangat kecil, di mana sang perempuan tampak memegang gawai, seolah sedang mengabadikan momen romantis tersebut untuk diunggah di medsos.
Kita, tahu, saat ini fenomena flexing dengan mengunggah kegiatan sehari-hari bukan menjadi barang baru. Mirisnya, persona mereka seolah tenggelam oleh objek gambar yang diunggah, semuanya terendam dalam dunia simulakra, yang mana pengakuan sosial justru muncul dari ruang-ruang maya.
Refleksi yang sama juga tergambar dalam karya Zikry Rediansyah bertajuk Miscommunication Visual (acrylic on canvas, 40X40 cm, 2024). Dia menggambar adegan dua sejoli yang, mungkin sama dengan karya sebelumnya, sedang bermain tenis. Namun, karena kesalahan komunikasi, justru gawai mereka yang dipukul.
Kurator pameran Define Comedy, Kenenza Michiko mengatakan, pameran ini memang ingin mengkaji hubungan antara komedi dan tragedi. Senarai karya yang ditampilkan memang ingin menabrakkan genre yang dianggap berlawanan, tapi bakal menjadi satir ketika dipertemukan.
Kendati hadir dari unsur yang berbeda, kedua tegangan tersebut menurutnya merupakan bagian dari pengalaman manusia. Dengan menggabungkan humor, dan refleksi atas tantangan kehidupan, seteleng ini ingin menempatkan komedi sebagai medium kreatif untuk mengkritisi kompleksitas individu dan kolektif.
"Komedi yang dieksplorasi dalam pameran ini bukan sebagai hiburan semata, melainkan sebagai sarana untuk menghadapi dan memahami dilema eksistensial, lewat cara pemberontakan, atau perenungan yang mendalam," katanya.
Baca Juga: Duplikat Karya Seni Berlisensi, Strategi Baru Tingkatkan Ekonomi Kreatif
Editor: M. Taufikul Basari
Tak hanya dari hal-hal yang lucu, humor juga bisa muncul dari tragedi. Rumusnya pun sederhana, yakni (tragedi+waktu=komedi). Singkat kata, suatu kejadian tragis jika diberi jarak waktu yang cukup, maka akan berubah menjadi sesuatu yang dapat kita tertawakan.
Dalam sastra, metode tersebut biasanya digunakan untuk menulis karya-karya bergaya satir. Namun unsur gabungan antara tragedi dan komedi itu, dengan cerlang juga digunakan sejumlah seniman dalam pameran Define Comedy di ISA Art, Gallery Jakarta, hingga 7 Februari 2025.
Baca Juga: Seniman Yusuf Susilo Hartono & Budhi Brassco Siap Gelar Pameran Kasih
Misalnya lewat lukisan bertajuk The Meaning is Confused by The Startup (acrylic on canvas, 80x60 cm, 2024) karya Ardi Gunawan. Lewat lukisan ini, dengan gaya komikal, sang seniman menggambarkan para pekerja kantoran dengan mata melotot karena kekurangan tidur.
Walakin, mereka harus tetap fokus di depan laptop dengan setumpuk pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya. Pemandangan ini pun sudah menjadi hal lumrah bagi kehidupan kaum urban. Sebuah paradoks dari kalimat merintis masa depan, atau mempertahankan cara dapur tetap ngebul.
Lukisan bertajuk The Meaning is Confused by The Startup (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Momen tragikomedi juga terefleksi dalam karya dari 7 seniman lain. Mereka adalah Beyond Crap, Fffffandy, Luh'De Gita, Tennessa Querida, Summerayn (Motionbeast), S.Urubingwaru, dan Zikry Rediansyah. Semua seniman ini membawa karya dua dimensi, kecuali Summerayn, yang memboyong karya digital.
Mengeksplorasi material yang berbeda, masing-masing seniman, juga menyumbangkan perspektif unik terhadap tema tragikomedi. Beyond Crap, misalnya, membawa karya instalasi bertajuk ‘Talk Less Book More (2024) dan Komentator (2024) dengan tulisan-tulisan yang jahil untuk menertawakan dirinya sendiri.
Memanfaatkan karton susu bekas dan papan gabus, sang seniman seolah sedang mengomentari proses produksi seni. Dengan gaya menohok, dia menghadirkan narasi spontan sekaligus reflektif, khususnya saat mengolok-olok bagaimana seniman mengatasi tenggat pameran, dan yang lain.
Ironi
Unsur tragedi yang memanfaatkan ironi juga diungkai seniman Dabi Arnasa, lewat karya bertajuk Ruang Hidup Manusia. Berdimensi 110X178 cm, karya menggunakan media akrilik ini seperti menggambarkan tragedi alam semesta. Penggundulan hutan, hingga krisis iklim yang kian meruyak ke ruang-ruang personal.
Dengan satir, perupa asal Bali itu mengkritisi antroposentrisme dengan cara yang lembut. Ranjang kayu yang berlumuran darah, seperti menggambarkan manusia yang tidur di atas bumi yang kian ringkih. Namun, mereka hanya termangu saat melihat pohon-pohon mati mengering.
"Saat manusia menginginkan hidup berdekatan dengan alam, tetapi manusia justru membuat alam tersebut tidak natural, mereka selalu dikontrol manusia. Ini aku jadikan representasi sebagai bentuk penguasaan manusia terhadap alam," katanya.
Karya Dabi Arnasa, bertajuk Ruang Hidup Manusia. (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Namun, alih-alih menggambarkan objek utama, sang seniman justru memperbesar kudapan yang mereka pesan melebihi ukuran para subjek. Dua sejoli itu dilukiskan menjadi sangat kecil, di mana sang perempuan tampak memegang gawai, seolah sedang mengabadikan momen romantis tersebut untuk diunggah di medsos.
Kita, tahu, saat ini fenomena flexing dengan mengunggah kegiatan sehari-hari bukan menjadi barang baru. Mirisnya, persona mereka seolah tenggelam oleh objek gambar yang diunggah, semuanya terendam dalam dunia simulakra, yang mana pengakuan sosial justru muncul dari ruang-ruang maya.
Refleksi yang sama juga tergambar dalam karya Zikry Rediansyah bertajuk Miscommunication Visual (acrylic on canvas, 40X40 cm, 2024). Dia menggambar adegan dua sejoli yang, mungkin sama dengan karya sebelumnya, sedang bermain tenis. Namun, karena kesalahan komunikasi, justru gawai mereka yang dipukul.
Kurator pameran Define Comedy, Kenenza Michiko mengatakan, pameran ini memang ingin mengkaji hubungan antara komedi dan tragedi. Senarai karya yang ditampilkan memang ingin menabrakkan genre yang dianggap berlawanan, tapi bakal menjadi satir ketika dipertemukan.
Kendati hadir dari unsur yang berbeda, kedua tegangan tersebut menurutnya merupakan bagian dari pengalaman manusia. Dengan menggabungkan humor, dan refleksi atas tantangan kehidupan, seteleng ini ingin menempatkan komedi sebagai medium kreatif untuk mengkritisi kompleksitas individu dan kolektif.
"Komedi yang dieksplorasi dalam pameran ini bukan sebagai hiburan semata, melainkan sebagai sarana untuk menghadapi dan memahami dilema eksistensial, lewat cara pemberontakan, atau perenungan yang mendalam," katanya.
Baca Juga: Duplikat Karya Seni Berlisensi, Strategi Baru Tingkatkan Ekonomi Kreatif
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.