Sisi Gelap Kidfluencer Dibayangi Isu Eksploitasi Anak Demi Keuntungan Finansial
22 January 2025 |
18:11 WIB
Fenomena kidfluencer atau influencer anak beberapa waktu terakhir mencuat di platform media sosial seperti TikTok dan Instagram. Kidfluencer adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang membuat konten menarik dan menjadi konsumsi publik sehingga memiliki banyak pengikut.
Sayangnya, banyak penelitian yang coba menelisik lebih jauh fenomena ini hingga menyatakan bahaya terselebung dari tindakan tersebut. Dilansir dari INHOPE, sering kali para kidfluencer ini menghasilkan kesepakatan sponsor dan kemitraan merek yang menguntungkan mereka.
Baca juga: Hypereport: Pengaruh Beauty Influencer di Tengah Fenomena Overclaim
Tren ini menimbulkan berbagai masalah etika dan hukum seputar eksploitasi anak dan dampak media sosial terhadap kehidupan anak di bawah umur itu sendiri.
Kidfluencer biasanya dikelola oleh orang tua atau wali yang akan membantu mengurasi konten yang sesuai dengan tren dan menarik bagi target audiens mereka. Jenis konten yang paling umum seperti ulasan mainan, vlog gaya hidup, dan video pendidikan.
Anak-anak ini sering menampilkan diri mereka sebagai sosok yang dapat dipercaya sekaligus memasarkan produk, yang secara efektif memadukan hiburan dengan iklan lewat gaya dan tingkah laku khas anak-anak.
Di luar negeri, ada beberapa nama kidfluencer yang cukup terkemuka. Sebut saja di Amerika Serikat ada Tiana Wilson dan Axel Show, yang telah mengumpulkan jutaan pengikut melalui konten mereka yang menarik dan ramah keluarga.
Munculnya para influencer anak ini memiliki implikasi besar bagi anak-anak yang terlibat. Penelitian milik Amalia et.al., (2024) menyebutkan di satu sisi, para influencer muda ini dapat mencapai tingkat ketenaran yang mirip dengan selebriti dewasa pada umumnya dan mendapatkan pengakuan di antara para pengikutnya.
Popularitas mereka sering kali berasal dari kelucuan dan tingkah laku mereka yang menarik, terutama bagi anak-anak dan orang tua lainnya. Namun, visibilitas ini dapat mengaburkan batas antara kepolosan anak-anak dan eksploitasi komersial terhadap mereka.
Penelitian lain dari Fatmawati dan Lewoleba (2024) mengungkapkan bahwa banyak di antara kidfluencer tersebut yang tidak memiliki kendali atas persona online mereka. Dalam hal ini, orang tualah yang berpotensi merancangkan semuanya dan skenario terburuknya dapat memprioritaskan keuntungan finansial di atas kesejahteraan anak mereka.
Selain itu, fenomena ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan kesehatan mental anak usia dini. Anak-anak yang terpapar dengan interaksi dan pengawasan publik secara konsisten dan berlebihan dapat menghadapi tekanan untuk mempertahankan citra atau gaya hidup tertentu, yang mengarah pada stres dan masalah harga diri mereka di kehidupan nyata.
Muncul pula istilah sharenting yang merujuk pada tindakan di mana orang tua membagikan detail ekstensif tentang kehidupan anak-anak mereka secara daring. Penelitian yang sama turut menyoroti bahwa ini dapat mengurangi hak anak atas privasi mereka di dunia digital
Baca juga: Peluang Digaet Brand, Perhatikan Hal Ini Jika Ingin Jadi Influencer
Dilansir dari The Indian Express, konteks kidfluencer menjadi fenomena yang tidak mengganggu kehidupan anak adalah ketika orang tua dapat berperan dalam fungsi-fungsi esensial. Contohnya, orang tua tidak hanya mengawasi keberadaan media sosial mereka, tapi terlibat dalam memantau interaksi dan memastikan bahwa aktivitas daring anak tetap sesuai dengan usianya.
Orang tua memiliki kemudi penuh dalam menetapkan batasan-batasan untuk melindungi anak-anak mereka dari potensi bahaya media daring, seperti perundungan atau pelanggaran privasi terhadap anaknya. Orang tua juga harus menyeimbangkan tuntutan untuk membuat konten dengan hak anak untuk bermain dan menikmati masa kecilnya tanpa tekanan yang tidak semestinya hanya demi keuntungan finansial.
Editor: Fajar Sidik
Sayangnya, banyak penelitian yang coba menelisik lebih jauh fenomena ini hingga menyatakan bahaya terselebung dari tindakan tersebut. Dilansir dari INHOPE, sering kali para kidfluencer ini menghasilkan kesepakatan sponsor dan kemitraan merek yang menguntungkan mereka.
Baca juga: Hypereport: Pengaruh Beauty Influencer di Tengah Fenomena Overclaim
Tren ini menimbulkan berbagai masalah etika dan hukum seputar eksploitasi anak dan dampak media sosial terhadap kehidupan anak di bawah umur itu sendiri.
Kidfluencer biasanya dikelola oleh orang tua atau wali yang akan membantu mengurasi konten yang sesuai dengan tren dan menarik bagi target audiens mereka. Jenis konten yang paling umum seperti ulasan mainan, vlog gaya hidup, dan video pendidikan.
Anak-anak ini sering menampilkan diri mereka sebagai sosok yang dapat dipercaya sekaligus memasarkan produk, yang secara efektif memadukan hiburan dengan iklan lewat gaya dan tingkah laku khas anak-anak.
Di luar negeri, ada beberapa nama kidfluencer yang cukup terkemuka. Sebut saja di Amerika Serikat ada Tiana Wilson dan Axel Show, yang telah mengumpulkan jutaan pengikut melalui konten mereka yang menarik dan ramah keluarga.
Munculnya para influencer anak ini memiliki implikasi besar bagi anak-anak yang terlibat. Penelitian milik Amalia et.al., (2024) menyebutkan di satu sisi, para influencer muda ini dapat mencapai tingkat ketenaran yang mirip dengan selebriti dewasa pada umumnya dan mendapatkan pengakuan di antara para pengikutnya.
Popularitas mereka sering kali berasal dari kelucuan dan tingkah laku mereka yang menarik, terutama bagi anak-anak dan orang tua lainnya. Namun, visibilitas ini dapat mengaburkan batas antara kepolosan anak-anak dan eksploitasi komersial terhadap mereka.
Penelitian lain dari Fatmawati dan Lewoleba (2024) mengungkapkan bahwa banyak di antara kidfluencer tersebut yang tidak memiliki kendali atas persona online mereka. Dalam hal ini, orang tualah yang berpotensi merancangkan semuanya dan skenario terburuknya dapat memprioritaskan keuntungan finansial di atas kesejahteraan anak mereka.
Selain itu, fenomena ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan kesehatan mental anak usia dini. Anak-anak yang terpapar dengan interaksi dan pengawasan publik secara konsisten dan berlebihan dapat menghadapi tekanan untuk mempertahankan citra atau gaya hidup tertentu, yang mengarah pada stres dan masalah harga diri mereka di kehidupan nyata.
Muncul pula istilah sharenting yang merujuk pada tindakan di mana orang tua membagikan detail ekstensif tentang kehidupan anak-anak mereka secara daring. Penelitian yang sama turut menyoroti bahwa ini dapat mengurangi hak anak atas privasi mereka di dunia digital
Baca juga: Peluang Digaet Brand, Perhatikan Hal Ini Jika Ingin Jadi Influencer
Dilansir dari The Indian Express, konteks kidfluencer menjadi fenomena yang tidak mengganggu kehidupan anak adalah ketika orang tua dapat berperan dalam fungsi-fungsi esensial. Contohnya, orang tua tidak hanya mengawasi keberadaan media sosial mereka, tapi terlibat dalam memantau interaksi dan memastikan bahwa aktivitas daring anak tetap sesuai dengan usianya.
Orang tua memiliki kemudi penuh dalam menetapkan batasan-batasan untuk melindungi anak-anak mereka dari potensi bahaya media daring, seperti perundungan atau pelanggaran privasi terhadap anaknya. Orang tua juga harus menyeimbangkan tuntutan untuk membuat konten dengan hak anak untuk bermain dan menikmati masa kecilnya tanpa tekanan yang tidak semestinya hanya demi keuntungan finansial.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.