Moms Sulit Peroleh Anak Kedua? Waspadai Infertilisas Sekunder
02 September 2021 |
00:15 WIB
Apakah saat ini moms sedang menanti kehamilan anak kedua, tetapi tak kunjung terjadi? Bisa jadi saat ini Moms dan pasangan mengalami infertilitas sekunder. Namun, Moms jangan khawatir ya, sebab sekitar 10-15% pasangan juga mengalami infertilitas, dan sepertiganya mengidap infertilitas sekunder. Lantas apa itu infertilitas sekunder, dan bagaimana cara menanganinya?
Menurut WHO, infertilitas merupakan kegagalan pasangan suami istri untuk hamil setelah satu tahun berhubungan seksual secara teratur tanpa alat kontrasepsi. Definisi ini juga berlaku pada infertilitas sekunder, tetapi dalam hal ini pasangan tersebut sudah memiliki anak sebelumnya.
Dalam hal kesuburan, riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya tidak selalu membuat peluang kehamilan selanjutnya lebih mudah. Hal ini seringkali berkaitan dengan bertambahnya usia yang memengaruhi kuantitas dan kualitas sel telur dan sperma.
Upik Anggraheni, Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fertilitas, Endokrinologi, dan Reproduksi RS Pondok Indah IVF Centre mengatakan penyebab infertilitas sekunder ini bukan hanya salah satu pihak (wanita atau pria) saja, tetapi keduanya.
Faktor penyebab infertilitas sekunder dapat berasal dari wanita, pria, ataupun kombinasi keduanya. Berbagai faktor termasuk usia, infeksi, lingkungan, genetik, bahkan nutrisi, dan stres dapat berkontribusi menjadi penyebab terjadinya masalah kesuburan.
Faktor usia menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dikendalikan. Usia 35 tahun pada wanita adalah titik di mana cadangan ovarium mulai menurun secara cepat sampai dengan usia 45 tahun, di mana usia ini merupakan batas usia dilakukannya program IVF (bayi tabung) dengan sel telur milik sendiri.
Barbara (1990) menuliskan dalam jurnalnya mengenai epidemiologi infertilitas, bahwa penyebab paling sering dari infertilitas sekunder adalah infeksi. Hal ini didukung oleh penelitian Momtaz dkk. (2011) mengenai adanya hubungan bermakna antara infertilitas sekunder dengan riwayat buruk kehamilan sebelumnya, persalinan dengan operasi sesar, dan peningkatan indeks massa tubuh. Wanita dengan infertilitas sekunder juga diketahui empat kali lebih sering mengalami masalah kandungan (ginekologi).
Wanita dengan indeks massa tubuh di atas 25 kg/m 2 cenderung lebih sering mengalami infertilitas dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan ideal. Hal ini terkait dengan gangguan ovulasi seperti PCOS yang sering terjadi pada wanita gemuk.
Begitu pula dengan pria gemuk, mereka lebih sering mengalami gangguan kesuburan yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan suhu akibat penumpukan lemak di sekitar kemaluan. Namun demikian, penyebab terbanyak infertilitas sekunder pada pria adalah varikokel (pembesaran pembuluh darah di dalam skrotum).
Upik mengatakan terapi dan pengobatan infertilitas sekunder tetap mengikuti alur penanganan infertilitas pada umumnya, yaitu mencakup: analisis lengkap riwayat medis pasangan, identifikasi risiko terkait kesuburan (frekuensi berhubungan seksual, paparan asap rokok, polusi, alkohol, kafein, dan gaya hidup), pemeriksaan fisik pasangan, evaluasi ovulasi, USG transvaginal, dan histerosalpingografi (HSG) pada wanita, serta analisis sperma pada pria.
Evaluasi ovulasi dapat dinilai dari riwayat menstruasi dan pengukuran kadar progesteron darah atau luteinizing hormone (LH) urin. HSG merupakan tes yang efektif untuk menilai kondisi rongga rahim dan ada tidaknya sumbatan di saluran tuba fallopi.
“Pada kasus kecurigaan endometriosis, adanya perlekatan atau masalah lain pada saluran telur dapat dipertimbangkan untuk dilakukan laparaskopi terlebih dahulu, sebelum program kehamilan dimulai,” ujarnya.
Analisis sperma adalah hal yang wajib dilakukan oleh pria untuk menentukan pilihan terapi selanjutnya. Umumnya, analisis sperma berlaku untuk tiga bulan terkait dengan spermatogenesis yang terjadi setiap 90 hari.
Hasil analisis sperma mencakup volume, konsentrasi sperma, pergerakan, dan bentuk sperma yang normal. Dari hasil tersebut, dapat diketahui jumlah total sperma yang bergerak untuk menentukan kelayakan sperma membuahi sel telur secara alami.
Pilihan terapi akan ditentukan setelah dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan fertilitas, endokrinologi, dan reproduksi mengetahui masalah kesuburan pasangan sehingga dapat diketahui peluang dari setiap pilihan yang ada, baik program alami (sanggama terencana), inseminasi intrauterine, ataupun bayi tabung (IVF).
Jadi Moms, jangan ragu ya untuk mengecek kondisi Anda dan pasangan sebelum merencanakan kehamilan anak kedua. Perubahan gaya hidup, pertambahan usia, riwayat penyakit, atau tindakan bedah di daerah kandungan dapat mempengaruhi kesuburan moms dan pasangan. Perencanaan dan persiapan yang matang dapat membantu meningkatkan peluang keberhasilan terjadinya kehamilan.
Editor: Avicenna
Menurut WHO, infertilitas merupakan kegagalan pasangan suami istri untuk hamil setelah satu tahun berhubungan seksual secara teratur tanpa alat kontrasepsi. Definisi ini juga berlaku pada infertilitas sekunder, tetapi dalam hal ini pasangan tersebut sudah memiliki anak sebelumnya.
Dalam hal kesuburan, riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya tidak selalu membuat peluang kehamilan selanjutnya lebih mudah. Hal ini seringkali berkaitan dengan bertambahnya usia yang memengaruhi kuantitas dan kualitas sel telur dan sperma.
Upik Anggraheni, Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fertilitas, Endokrinologi, dan Reproduksi RS Pondok Indah IVF Centre mengatakan penyebab infertilitas sekunder ini bukan hanya salah satu pihak (wanita atau pria) saja, tetapi keduanya.
Faktor penyebab infertilitas sekunder dapat berasal dari wanita, pria, ataupun kombinasi keduanya. Berbagai faktor termasuk usia, infeksi, lingkungan, genetik, bahkan nutrisi, dan stres dapat berkontribusi menjadi penyebab terjadinya masalah kesuburan.
Faktor usia menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dikendalikan. Usia 35 tahun pada wanita adalah titik di mana cadangan ovarium mulai menurun secara cepat sampai dengan usia 45 tahun, di mana usia ini merupakan batas usia dilakukannya program IVF (bayi tabung) dengan sel telur milik sendiri.
Barbara (1990) menuliskan dalam jurnalnya mengenai epidemiologi infertilitas, bahwa penyebab paling sering dari infertilitas sekunder adalah infeksi. Hal ini didukung oleh penelitian Momtaz dkk. (2011) mengenai adanya hubungan bermakna antara infertilitas sekunder dengan riwayat buruk kehamilan sebelumnya, persalinan dengan operasi sesar, dan peningkatan indeks massa tubuh. Wanita dengan infertilitas sekunder juga diketahui empat kali lebih sering mengalami masalah kandungan (ginekologi).
Wanita dengan indeks massa tubuh di atas 25 kg/m 2 cenderung lebih sering mengalami infertilitas dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan ideal. Hal ini terkait dengan gangguan ovulasi seperti PCOS yang sering terjadi pada wanita gemuk.
Begitu pula dengan pria gemuk, mereka lebih sering mengalami gangguan kesuburan yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan suhu akibat penumpukan lemak di sekitar kemaluan. Namun demikian, penyebab terbanyak infertilitas sekunder pada pria adalah varikokel (pembesaran pembuluh darah di dalam skrotum).
Upik mengatakan terapi dan pengobatan infertilitas sekunder tetap mengikuti alur penanganan infertilitas pada umumnya, yaitu mencakup: analisis lengkap riwayat medis pasangan, identifikasi risiko terkait kesuburan (frekuensi berhubungan seksual, paparan asap rokok, polusi, alkohol, kafein, dan gaya hidup), pemeriksaan fisik pasangan, evaluasi ovulasi, USG transvaginal, dan histerosalpingografi (HSG) pada wanita, serta analisis sperma pada pria.
Evaluasi ovulasi dapat dinilai dari riwayat menstruasi dan pengukuran kadar progesteron darah atau luteinizing hormone (LH) urin. HSG merupakan tes yang efektif untuk menilai kondisi rongga rahim dan ada tidaknya sumbatan di saluran tuba fallopi.
“Pada kasus kecurigaan endometriosis, adanya perlekatan atau masalah lain pada saluran telur dapat dipertimbangkan untuk dilakukan laparaskopi terlebih dahulu, sebelum program kehamilan dimulai,” ujarnya.
Analisis sperma adalah hal yang wajib dilakukan oleh pria untuk menentukan pilihan terapi selanjutnya. Umumnya, analisis sperma berlaku untuk tiga bulan terkait dengan spermatogenesis yang terjadi setiap 90 hari.
Hasil analisis sperma mencakup volume, konsentrasi sperma, pergerakan, dan bentuk sperma yang normal. Dari hasil tersebut, dapat diketahui jumlah total sperma yang bergerak untuk menentukan kelayakan sperma membuahi sel telur secara alami.
Pilihan terapi akan ditentukan setelah dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan fertilitas, endokrinologi, dan reproduksi mengetahui masalah kesuburan pasangan sehingga dapat diketahui peluang dari setiap pilihan yang ada, baik program alami (sanggama terencana), inseminasi intrauterine, ataupun bayi tabung (IVF).
Jadi Moms, jangan ragu ya untuk mengecek kondisi Anda dan pasangan sebelum merencanakan kehamilan anak kedua. Perubahan gaya hidup, pertambahan usia, riwayat penyakit, atau tindakan bedah di daerah kandungan dapat mempengaruhi kesuburan moms dan pasangan. Perencanaan dan persiapan yang matang dapat membantu meningkatkan peluang keberhasilan terjadinya kehamilan.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.