Singkawang Mosichin & Perayaan Pluralisme Ala Musisi Ivan Nestorman
19 January 2025 |
14:30 WIB
Puluhan orang bernyanyi bersama di Yayasan mataWaktu, Jakarta, pada Kamis (16/01/2025) malam. Dalam riuh rendah suara, mereka tampak semringah saat sebuah layar diturunkan, lalu diputarlah vidio dengan lanskap Kota Singkawang dari atas ketinggian.
Obrolan dalam dialek Khek mengiringi pembukaan gambar, lalu disusul petikan sape, alat musik tradisional suku Dayak. Arkian, mengayunlah lagu dengan nuansa neo tradisi. Liriknya menggambarkan keindahan dari Tanah Tidayu, itu.
Adegan di muka adalah secuplik peristiwa dalam peluncuran single bertajuk 'Singkawang Mosichin', karya Ivan Nestorman. Lagu ini ditulis oleh musisi asal Nusa Tenggara Timur itu, karena dia melihat ada representasi Indonesia di Kota Singkawang.
Baca Juga: 2025 Tahun Penuh Harapan dan Tantangan untuk Industri Konser Musik Indonesia
Menurutnya, kehidupan masyarakat di Kota Seribu Kelenteng itu, menggambarkan pluralisme Indonesia yang beragam. Frasa tanah tidayu yang terselip dalam liriknya, merupakan akronim dari Tionghoa, Dayak, dan Melayu, tiga etnis yang hidup harmonis di sana.
"Ketika saya menulis lagu ini saya belum ke sana, tapi didasarkan dari buku Memoar Orang-orang Singkawang. Syahdan saya pun berangkat ke sana bersama Oscar Motuloh untuk melihat secara langsung," katanya.
Judul mosichin juga memiliki arti yang unik. Dalam dialek orang Khek – keturunan suku Han yang berasal dari China – di Singkawang, mosichin secara harfiah berarti semua beras, tak ada masalah, atau no problem, yang kerap menjadi ungkapan sehari-hari di sana.
Musisi asal Nusa Tenggara Timur itu mengungkap, komposisi ini secara garis besar memang mengisahkan tentang impresi keseharian Kota Singkawang. Sebuah kota yang dikenal mempunyai tingkat toleransi antar umat beragama yang menonjol di Indonesia.
"Di lagu ini saya tidak hanya menggambarkan tentang Singkawang, tetapi ada juga revitalisasi alat musik [tradisi] dari motif-motif setempat, salah satunya sape, alat musik dawai dari suku Dayak," imbuhnya.
Dalam proses pembuatan lagu, pada awalnya Ivan hanya menggunakan bahasa Indonesia untuk menggambarkan sikap toleransi tersebut. Namun, setelah dia bertemu dengan komunitas dari dan asal Singkawang, dia diminta untuk menyisipkan idiom mosichin agar lebih terasa nuansa etniknya.
Selain menggambarkan pluralisme dari sudut pandang Singkawang di Kalimantan Barat, Ivan juga bakal membuat lagu berdasarkan kekhasan dari pulau-pulau lain di Nusantara. Total, dia berencana membuat 12 lagu tentang Indonesia dengan mengambil unsur-unsur tradisi di dalamnya.
"Dalam pembuatan lagunya saya akan mengaplikasikan motif-motif tradisi tapi diberi rasa kebaruan dan universalitas rasa. Dengan cara ini idiom-idiom modern itu dapat tersampaikan tanpa harus kehilangan DNA tradisi," katanya.
Flavius Nestor Embun Man, atau yang lebih dikenal dengan nama Ivan Nestorman lahir di Manggarai, Flores, NTT pada 18 Februari 1967. Ivan dikenal sebagai musisi neo tradisi yang banyak mengeksplorasi langgam-langgam musik tradisional Tanah Air dengan pendekatan mutakhir yang mudah diterima awam.
Selama kariernya, Ivan telah menghasilkan senarai album seperti Return to Lamalera, Flores The Cap of Flower, dan Flobamorata with Hope. Selain menjajaki karir solo, Ivan juga berkolaborasi dengan musisi lain seperti Edo Kondologit, Glenn Fredly, Tompi, Doel Sumbang, dan Franky Sahilatua.
Selain membuat lagu dengan lirik baasa Indonesia, Ivan juga kerap menggunakan bahasa daerah. Pada 2020, lagunya yang berjudul 'Mata Leso Ge' (Matahariku) mendapat penghargan Anugerah Musik Award (AMI) untuk kategori Karya Produksi Lagu Berbahasa Daerah Terbaik, yang ditulis dengan Bahasa Manggarai, NTT.
Baca Juga: Fokus ke Bisnis Musik, YG Entertainment Akhiri Operasional Manajemen Aktor
Editor: M. Taufikul Basari
Obrolan dalam dialek Khek mengiringi pembukaan gambar, lalu disusul petikan sape, alat musik tradisional suku Dayak. Arkian, mengayunlah lagu dengan nuansa neo tradisi. Liriknya menggambarkan keindahan dari Tanah Tidayu, itu.
Adegan di muka adalah secuplik peristiwa dalam peluncuran single bertajuk 'Singkawang Mosichin', karya Ivan Nestorman. Lagu ini ditulis oleh musisi asal Nusa Tenggara Timur itu, karena dia melihat ada representasi Indonesia di Kota Singkawang.
Baca Juga: 2025 Tahun Penuh Harapan dan Tantangan untuk Industri Konser Musik Indonesia
Menurutnya, kehidupan masyarakat di Kota Seribu Kelenteng itu, menggambarkan pluralisme Indonesia yang beragam. Frasa tanah tidayu yang terselip dalam liriknya, merupakan akronim dari Tionghoa, Dayak, dan Melayu, tiga etnis yang hidup harmonis di sana.
"Ketika saya menulis lagu ini saya belum ke sana, tapi didasarkan dari buku Memoar Orang-orang Singkawang. Syahdan saya pun berangkat ke sana bersama Oscar Motuloh untuk melihat secara langsung," katanya.
Judul mosichin juga memiliki arti yang unik. Dalam dialek orang Khek – keturunan suku Han yang berasal dari China – di Singkawang, mosichin secara harfiah berarti semua beras, tak ada masalah, atau no problem, yang kerap menjadi ungkapan sehari-hari di sana.
Musisi asal Nusa Tenggara Timur itu mengungkap, komposisi ini secara garis besar memang mengisahkan tentang impresi keseharian Kota Singkawang. Sebuah kota yang dikenal mempunyai tingkat toleransi antar umat beragama yang menonjol di Indonesia.
"Di lagu ini saya tidak hanya menggambarkan tentang Singkawang, tetapi ada juga revitalisasi alat musik [tradisi] dari motif-motif setempat, salah satunya sape, alat musik dawai dari suku Dayak," imbuhnya.
Suasana pengunjung menikmati peluncuran lagu Singkawang Mosichin di Yayasan Riset Visual mataWaktu Kamis malam (16/1/2025). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Nadhif Alwan Kamil)
Selain menggambarkan pluralisme dari sudut pandang Singkawang di Kalimantan Barat, Ivan juga bakal membuat lagu berdasarkan kekhasan dari pulau-pulau lain di Nusantara. Total, dia berencana membuat 12 lagu tentang Indonesia dengan mengambil unsur-unsur tradisi di dalamnya.
"Dalam pembuatan lagunya saya akan mengaplikasikan motif-motif tradisi tapi diberi rasa kebaruan dan universalitas rasa. Dengan cara ini idiom-idiom modern itu dapat tersampaikan tanpa harus kehilangan DNA tradisi," katanya.
Flavius Nestor Embun Man, atau yang lebih dikenal dengan nama Ivan Nestorman lahir di Manggarai, Flores, NTT pada 18 Februari 1967. Ivan dikenal sebagai musisi neo tradisi yang banyak mengeksplorasi langgam-langgam musik tradisional Tanah Air dengan pendekatan mutakhir yang mudah diterima awam.
Selama kariernya, Ivan telah menghasilkan senarai album seperti Return to Lamalera, Flores The Cap of Flower, dan Flobamorata with Hope. Selain menjajaki karir solo, Ivan juga berkolaborasi dengan musisi lain seperti Edo Kondologit, Glenn Fredly, Tompi, Doel Sumbang, dan Franky Sahilatua.
Selain membuat lagu dengan lirik baasa Indonesia, Ivan juga kerap menggunakan bahasa daerah. Pada 2020, lagunya yang berjudul 'Mata Leso Ge' (Matahariku) mendapat penghargan Anugerah Musik Award (AMI) untuk kategori Karya Produksi Lagu Berbahasa Daerah Terbaik, yang ditulis dengan Bahasa Manggarai, NTT.
Baca Juga: Fokus ke Bisnis Musik, YG Entertainment Akhiri Operasional Manajemen Aktor
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.