Glodok Dilalap Si Jago Merah, Ini Sejarah Pusat Bisnis & Pecinan Terbesar di Jakarta Itu
16 January 2025 |
11:56 WIB
Kebakaran terjadi di Gedung Glodok Plaza, Tamansari, Jakarta Barat, pada Rabu (15/1/2025) malam. Informasi dari Command Canter Pemadam Kebakaran DKI Jakarta menyebutkan objek yang terbakar adalah diskotek yang berada di lantai 7 Glodok Plaza. Kebakaran terjadi sekitar pukul 21.22 WIB.
Berdasarkan video yang dibagikan oleh akun X (Twitter) @jnofluffy, kebakaran tampak melahap bagian atas gedung Glodok Plaza. Asap hitam membumbung tinggi ke udara. Sejumlah warga pun terlihat menyaksikan kebakaran dari kejauhan.
Informasi dari Command Canter Pemadam Kebakaran (Damkar) DKI Jakarta per hari ini Kamis (16/1/2025) melaporkan bahwa situasi dan status di lokasi kebakaran saat ini sudah kuning atau proses pendinginan. Adapun, sebanyak 45 unit mobil pemadam kebakaran dengan 230 personel dikerahkan untuk memadamkan api.
Baca juga: Hypereport: Menjelajah Kuliner Legendaris di Jakarta, dari Glodok hingga Blok M
"Situasi/status kebakaran sudah proses pendinginan/kuning. Sudah tidak ada perambatan," demikian informasi yang diterima Hypeabis.id.
Command Canter Pemadam Kebakaran (Damkar) DKI Jakarta juga melaporkan bahwa terdapat 9 orang dewasa yang berhasil diselamatkan dari kebakaran yang terdiri dari 1 orang wanita, 7 orang laki-laki, serta 1 orang yang tidak diketahui namanya. Sementara itu, tidak ada korban luka-luka ataupun meninggal dari kejadian ini.
Gedung Glodok Plaza merupakan pusat perbelanjaan elektronik, peralatan audio dan rumah tangga yang berlokasi di kawasan Pecinan Glodok Jakarta Barat. Disebut sebagai kawasan Pecinan terbesar di Indonesia, Glodok merupakan pusat aktivitas bisnis dan budaya yang menjadi salah satu urat nadi perekonomian di Jakarta.
Pecinan Glodok dijuluki sebagai permata pariwisata di Jakarta Barat dan merupakan hasil kolaborasi seluruh etnis mulai dari Tionghoa, Sunda, Betawi, Jawa dan lainnya. Kawasan ini diminati pelancong lantaran akses yang mudah dan dengan potensi wisata di bidang sejarah, bangunan arsitektur tua, kesenian, kebudayaan dan keagamaan. Termasuk, potensi wisata belanja, kesehatan dan kuliner yang beragam khas peranakan.
Sejarah Kawasan Pecinan Glodok
Melansir dari situs Pantjoran Tea House, kawasan Glodok memiliki peran penting dalam proses berdirinya kota Batavia hingga berkembang menjadi Kota Jakarta. Di masa pemerintahan Kolonial Belanda, kawasan Glodok adalah pintu gerbang utama menuju Kota Batavia dari arah Selatan.
Menurut warga setempat, nama ‘Glodok’ diambil dari suara air pancur yang keluar dari sebuah bangunan kecil berbentuk segi delapan yang dibangun sekitar 1743 di tengah-tengah halaman Stadhuis (kini Museum Sejarah Jakarta). Bunyi air ‘grojok..grojok..’ dari pancuran itulah yang oleh penduduk Tionghoa dieja sebagai ‘Glodok’ yang dikenal hingga saat ini.
Menurut jurnal penelitian bertajuk "Sejarah Kawasan Pecinan Pancoran-Glodok dalam Konteks Lokalitas Kampung Kota Jakarta" yang ditulis oleh Titin Fatimah, kaum Tionghoa mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan mulai tinggal di Indonesia pada abad ke-11. Awalnya, mereka tinggal di pesisir timur Sumatra dan Kalimantan Barat, hingga akhirnya mulai bermigrasi ke Pulau Jawa pada abad ke-14.
Sehubungan dengan aktivitas mereka terkait perdagangan, biasanya kaum Tionghoa tinggal di daerah pesisir dekat dengan pelabuhan. Mereka tersebar di pesisir utara Pulau
Jawa, salah satunya di Jakarta (dulu Sunda Kalapa, lalu menjadi Jayakarta, Batavia dan kini Jakarta).
Pada awalnya dulu, orang-orang Tionghoa sudah lebih dulu ada dan tinggal di sebelah timur muara Sungai Ciliwung, tak jauh dari pelabuhan Sunda Kalapa. Mereka sudah ada sejak pemerintahan Jayakarta, jauh sebelum Belanda membangun Batavia. Kegiatan mereka antara lain berdagang arak, beras dan kebutuhan lainnya, serta menjadi pialang antara pedagang pribumi dari pedalaman ke pasar internasional Asia Tenggara.
Ketika Belanda membangun gudang untuk pertama kali (Nassau) atas izin Pangeran Jayakarta, gudang tersebut berdampingan dengan pemukiman kaum Tionghoa
yang saat itu dipimpin oleh Watting.
Setelah Jayakarta jatuh ke tangan Belanda tahun 1619, pada masa awal pemerintahan Belanda, pengaturan administratif hanya meliputi Kota Batavia (Dutch town) saja, sedangkan pemukiman orang asing dibiarkan memiliki peraturan khusus sendiri-sendiri. Dalam hal ini kaum Tionghoa merupakan kaum kaum mayoritas pada zaman itu.
Imigran Tionghoa kelas menengah ke bawah bersama imigran Eropa (bukan Belanda) banyak yang menempati kota Batavia di sisi barat Ciliwung. Mereka hidup berbaur dengan orang Jawa dan banyak yang melakukan perkawinan campur (kelak yang dikenal dengan sebutan Cina Benteng). Selain yang di dalam benteng, ada juga pemukiman kaum Tionghoa di sebelah timur kota Batavia (sekarang Mangga Dua).
Namun, pada 1740, orang-orang Tionghoa menghadapi teror yang ganas sepanjang penjajahan Belanda, sebagaimana ditulis dalam buku Betawi: Queen of the East karya Alwi Shahab. Pada September 1740, pasukan Belanda melakukan pembunuhan besar-besaran dan menumpas habis orang Tionghoa.
Sejarah mencatat, tak kurang dari 10.000 orang Tionghoa termasuk perempuan dan anak-anak dibantai atas perintah Gubernur Jendral Valkenir. Ratusan rumah dan harta benda mereka dibakar dan dirampok.
Setelah peristiwa pembantaian itu, pemerintah Belanda menempatkan mereka dalam satu kawasan untuk memudahkan dalam pengawasannya.
Area yang dipilih berada di luar benteng, namun tidak jauh, yakni kawasan Pancoran-Glodok.
Hanya beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, kehidupan ekonomi masyarakat Tionghoa pun kembali pulih. Mereka yang tinggal di Glodok ketika itu mulai membangun sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan panti asuhan yang tidak kalah besarnya dari kepunyaan Belanda.
Namun, kini, dengan telah beralihnya Glodok dari tempat pemukiman menjadi pusat perdagangan, berdampak makin banyaknya orang yang meninggalkan tokonya. Mereka pindah ke kawasan-kawasan elite di real estat seperti Pluit, Ancol, dan Sunter.
Pada hari raya Imlek, biasanya kawasan Glodok ramai dikunjungi orang yang akan ke Klenteng Jin De Yuan untuk bersembahyang. Sehari-harinya juga cukup banyak pengunjung yang sekadar datang untuk wisata ataupun belanja.
Secara administratif, wilayah ini masuk dalam dua kecamatan, yakni Kecamatan Tamansari (meliputi Kelurahan Glodok dan Kelurahan Pinangsia) serta Kecamatan Tambora. Kawasan Pancoran identik dengan Jalan Pancoran yang merupakan batas antara kelurahan Glodok dan Pinangsia. Namun untuk bangunan-bangunan peribadatan seperti klenteng dan vihara kebanyakan terdapat di area Kelurahan Glodok.
Pada 2014, Glodok Pancoran merupakan kawasan bersejarah yang dilindungi di dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua. Glodok Pancoran berada pada Kelurahan Glodok, yang terletak di zona luar tembok Kota Tua Jakarta, sehingga pengembangan kawasan Glodok berada pada visi pembangunan Kota Tua Jakarta.
Selain itu, kawasan Glodok kini juga terus menerus dilestarikan, dijaga nilai sejarahnya dan telah dikukuhkan sebagai desa wisata berupa kawasan pecinan di Jakarta oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tahun 2022.
Baca juga: 6 Wisata Kuliner di Glodok yang Harus Dicoba saat Libur Imlek
Editor: Puput Ady Sukarno
Berdasarkan video yang dibagikan oleh akun X (Twitter) @jnofluffy, kebakaran tampak melahap bagian atas gedung Glodok Plaza. Asap hitam membumbung tinggi ke udara. Sejumlah warga pun terlihat menyaksikan kebakaran dari kejauhan.
Informasi dari Command Canter Pemadam Kebakaran (Damkar) DKI Jakarta per hari ini Kamis (16/1/2025) melaporkan bahwa situasi dan status di lokasi kebakaran saat ini sudah kuning atau proses pendinginan. Adapun, sebanyak 45 unit mobil pemadam kebakaran dengan 230 personel dikerahkan untuk memadamkan api.
Baca juga: Hypereport: Menjelajah Kuliner Legendaris di Jakarta, dari Glodok hingga Blok M
"Situasi/status kebakaran sudah proses pendinginan/kuning. Sudah tidak ada perambatan," demikian informasi yang diterima Hypeabis.id.
Command Canter Pemadam Kebakaran (Damkar) DKI Jakarta juga melaporkan bahwa terdapat 9 orang dewasa yang berhasil diselamatkan dari kebakaran yang terdiri dari 1 orang wanita, 7 orang laki-laki, serta 1 orang yang tidak diketahui namanya. Sementara itu, tidak ada korban luka-luka ataupun meninggal dari kejadian ini.
Gedung Glodok Plaza merupakan pusat perbelanjaan elektronik, peralatan audio dan rumah tangga yang berlokasi di kawasan Pecinan Glodok Jakarta Barat. Disebut sebagai kawasan Pecinan terbesar di Indonesia, Glodok merupakan pusat aktivitas bisnis dan budaya yang menjadi salah satu urat nadi perekonomian di Jakarta.
Pecinan Glodok dijuluki sebagai permata pariwisata di Jakarta Barat dan merupakan hasil kolaborasi seluruh etnis mulai dari Tionghoa, Sunda, Betawi, Jawa dan lainnya. Kawasan ini diminati pelancong lantaran akses yang mudah dan dengan potensi wisata di bidang sejarah, bangunan arsitektur tua, kesenian, kebudayaan dan keagamaan. Termasuk, potensi wisata belanja, kesehatan dan kuliner yang beragam khas peranakan.
Kawasan Glodok. (Sumber gambar: Jakarta Tourism)
Melansir dari situs Pantjoran Tea House, kawasan Glodok memiliki peran penting dalam proses berdirinya kota Batavia hingga berkembang menjadi Kota Jakarta. Di masa pemerintahan Kolonial Belanda, kawasan Glodok adalah pintu gerbang utama menuju Kota Batavia dari arah Selatan.
Menurut warga setempat, nama ‘Glodok’ diambil dari suara air pancur yang keluar dari sebuah bangunan kecil berbentuk segi delapan yang dibangun sekitar 1743 di tengah-tengah halaman Stadhuis (kini Museum Sejarah Jakarta). Bunyi air ‘grojok..grojok..’ dari pancuran itulah yang oleh penduduk Tionghoa dieja sebagai ‘Glodok’ yang dikenal hingga saat ini.
Menurut jurnal penelitian bertajuk "Sejarah Kawasan Pecinan Pancoran-Glodok dalam Konteks Lokalitas Kampung Kota Jakarta" yang ditulis oleh Titin Fatimah, kaum Tionghoa mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan mulai tinggal di Indonesia pada abad ke-11. Awalnya, mereka tinggal di pesisir timur Sumatra dan Kalimantan Barat, hingga akhirnya mulai bermigrasi ke Pulau Jawa pada abad ke-14.
Sehubungan dengan aktivitas mereka terkait perdagangan, biasanya kaum Tionghoa tinggal di daerah pesisir dekat dengan pelabuhan. Mereka tersebar di pesisir utara Pulau
Jawa, salah satunya di Jakarta (dulu Sunda Kalapa, lalu menjadi Jayakarta, Batavia dan kini Jakarta).
Pada awalnya dulu, orang-orang Tionghoa sudah lebih dulu ada dan tinggal di sebelah timur muara Sungai Ciliwung, tak jauh dari pelabuhan Sunda Kalapa. Mereka sudah ada sejak pemerintahan Jayakarta, jauh sebelum Belanda membangun Batavia. Kegiatan mereka antara lain berdagang arak, beras dan kebutuhan lainnya, serta menjadi pialang antara pedagang pribumi dari pedalaman ke pasar internasional Asia Tenggara.
Ketika Belanda membangun gudang untuk pertama kali (Nassau) atas izin Pangeran Jayakarta, gudang tersebut berdampingan dengan pemukiman kaum Tionghoa
yang saat itu dipimpin oleh Watting.
Setelah Jayakarta jatuh ke tangan Belanda tahun 1619, pada masa awal pemerintahan Belanda, pengaturan administratif hanya meliputi Kota Batavia (Dutch town) saja, sedangkan pemukiman orang asing dibiarkan memiliki peraturan khusus sendiri-sendiri. Dalam hal ini kaum Tionghoa merupakan kaum kaum mayoritas pada zaman itu.
Imigran Tionghoa kelas menengah ke bawah bersama imigran Eropa (bukan Belanda) banyak yang menempati kota Batavia di sisi barat Ciliwung. Mereka hidup berbaur dengan orang Jawa dan banyak yang melakukan perkawinan campur (kelak yang dikenal dengan sebutan Cina Benteng). Selain yang di dalam benteng, ada juga pemukiman kaum Tionghoa di sebelah timur kota Batavia (sekarang Mangga Dua).
Namun, pada 1740, orang-orang Tionghoa menghadapi teror yang ganas sepanjang penjajahan Belanda, sebagaimana ditulis dalam buku Betawi: Queen of the East karya Alwi Shahab. Pada September 1740, pasukan Belanda melakukan pembunuhan besar-besaran dan menumpas habis orang Tionghoa.
Sejarah mencatat, tak kurang dari 10.000 orang Tionghoa termasuk perempuan dan anak-anak dibantai atas perintah Gubernur Jendral Valkenir. Ratusan rumah dan harta benda mereka dibakar dan dirampok.
Setelah peristiwa pembantaian itu, pemerintah Belanda menempatkan mereka dalam satu kawasan untuk memudahkan dalam pengawasannya.
Area yang dipilih berada di luar benteng, namun tidak jauh, yakni kawasan Pancoran-Glodok.
Kawasan Glodok. (Sumber gambar: Jakarta Tourism)
Namun, kini, dengan telah beralihnya Glodok dari tempat pemukiman menjadi pusat perdagangan, berdampak makin banyaknya orang yang meninggalkan tokonya. Mereka pindah ke kawasan-kawasan elite di real estat seperti Pluit, Ancol, dan Sunter.
Pada hari raya Imlek, biasanya kawasan Glodok ramai dikunjungi orang yang akan ke Klenteng Jin De Yuan untuk bersembahyang. Sehari-harinya juga cukup banyak pengunjung yang sekadar datang untuk wisata ataupun belanja.
Secara administratif, wilayah ini masuk dalam dua kecamatan, yakni Kecamatan Tamansari (meliputi Kelurahan Glodok dan Kelurahan Pinangsia) serta Kecamatan Tambora. Kawasan Pancoran identik dengan Jalan Pancoran yang merupakan batas antara kelurahan Glodok dan Pinangsia. Namun untuk bangunan-bangunan peribadatan seperti klenteng dan vihara kebanyakan terdapat di area Kelurahan Glodok.
Pada 2014, Glodok Pancoran merupakan kawasan bersejarah yang dilindungi di dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua. Glodok Pancoran berada pada Kelurahan Glodok, yang terletak di zona luar tembok Kota Tua Jakarta, sehingga pengembangan kawasan Glodok berada pada visi pembangunan Kota Tua Jakarta.
Selain itu, kawasan Glodok kini juga terus menerus dilestarikan, dijaga nilai sejarahnya dan telah dikukuhkan sebagai desa wisata berupa kawasan pecinan di Jakarta oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tahun 2022.
Baca juga: 6 Wisata Kuliner di Glodok yang Harus Dicoba saat Libur Imlek
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.