Mengenal Pita Maha & Secuplik Jejak Seni Rupa Bali di Bentara Budaya Jakarta
16 January 2025 |
06:34 WIB
Bentara Budaya Art Gallery kembali menggelar seteleng seni yang dapat menjadi acuan Genhype untuk menikmati senggang. Terbaru, salah satu lembaga kebudayaan di Jakarta itu menghelat pameran bertajuk Bali dalam Pesona Rupa, hingga 31 Januari 2025.
Sesuai tajuknya, ekshibisi ini menghadirkan bentuk perubahan artistik seni rupa di Bali sejak munculnya Pita Maha (1930-1940). Lain dari itu pameran ini juga mengetengahkan isu bagaimana seniman setelahnya merespon tradisi dengan pendekatan mutakhir.
Pita Maha merupakan paguyuban seniman Bali yang dibentuk pada 1936. Kelompok ini didirikan oleh para seniman Bali seperti Tjokorda Gde Agung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Mayoritas karya mereka bertolak dari tradisi di Bali.
Baca juga: Mengungkai Refleksi Sosial dalam Pameran Komunikasih Vs Komunikacau di Bentara Budaya Jakarta
Total, pameran ini menampilkan 44 lukisan, dan 35 patung ukuran kecil. Salah satu lukisan tertua adalah karya I Wayan Gerudug bertajuk Sinta Megeseng (membakar diri) yang didasarkan dari epos Ramayana, dengan gaya lukisan wayang kamasan Bali.
Sementara itu, dari seniman Bali kontemporer diwakili karya I Made Arya Palguna, berjudul Drunk (pastel minyak, akrilik, di atas kanvas, 140 X 90 cm, 2010). Berbeda dari karya sebelumnya yang sarat akan tradisi, lukisan ini justru tampil dengan gaya kontemporer.
Kurator Efix Mulyadi mengatakan, lukisan Bali dan perkembangannya memang memiliki kekhasan tersendiri. Seperti halnya tari, dan karawitan, lukisan Bali juga memiliki ikatan yang tak terpisah dengan sistem kepercayaan, ritual, dan kebudayaan di sana.
Namun, ada semacam peralihan gaya artistik ketika seniman Bali berkenalan dengan pelaku seni rupa asal Eropa seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, pada era 1930-an. Dari sinilah kemudian terjadi semacam revitalisasi seni rupa Bali yang lebih kosmopolit.
"Dari yang semula bertalian dengan tema religi-spiritual tradisional, kemudian seniman Bali mulai menggambarkan kehidupan sehari-hari, lanskap sekitar. Selain itu, muncul pula ekspresi individu para seniman," katanya.
Refleksi dari ekspresi individu itu salah satunya terejawantah dalam karya bertajuk Tanpa Perlawanan buah tangan Putu Sutawijaya. Menggunakan material cat minyak di atas kanvas, karya ini merekam kepiawaian Putu dalam merekam anatomi tubuh dan gerak yang tegas sekaligus ekspresif.
Dalam karya ini sang seniman memang melukis tubuh seseorang yang meringkuk sambil memegang kepala. Ada belabar tinta yang tegas dari sosok yang tergolek tanpa daya itu. Di luar kekosongan bidang, sang seniman juga menuliskan keresahannya secara spontan dalam huruf-huruf sambung.
"Garis yang meraut bentuk tubuh itu dibiarkan mencair, seperti efek tinta hitam yang basah dan luntur, sehingga memberi kesan isi pada bagian tubuh tertentu," imbuh Efix.
Terpisah, Putu Sutawijaya mengatakan, lukisan tersebut memang dibuat untuk merespon kondisi sosial di masyarakat. Terutama dalam merespon gejolak reformasi, yang kala itu masyarakat baru belajar kembali berdemokrasi setelah 32 tahun disekap Orde Baru.
Putu mengungkap, lukisan bertitimangsa 2003 ini terinspirasi dari sosok Mahatma Gandhi. Ihwal karya ini bisa sampai dikoleksi oleh Bentara Budaya adalah saat dia mengikuti pameran di Bentara Budaya Yogyakarta. Arkian, lukisan itu 'diikhlaskan' untuk menjadi koleksi BBJ.
"Saat itu, saya melihat masyarakat seperti sedang frustasi. Jalan satu-satunya adalah berpikir ala swadeshi (berdikari). Sebab dengan kerja kita dapat melakukan perlawanan, yang mana kondisi sosial saat itu juga cukup unik," katanya.
Selain karya-karya di muka, pameran ini juga menampilkan senarai karya lain seperti besutan Made Wianta, Made Arya Palguna, atau seniman Ni Made Suciarmi, yang boleh dibilang sebagai satu-satunya juru sungging wanita dari Kamasan, Bali.
Baca juga: Menyelami Ambiguitas Perdamaian dalam Pameran Peace In Diversity di Bentara Budaya Jakarta
Editor: Puput Ady Sukarno
Sesuai tajuknya, ekshibisi ini menghadirkan bentuk perubahan artistik seni rupa di Bali sejak munculnya Pita Maha (1930-1940). Lain dari itu pameran ini juga mengetengahkan isu bagaimana seniman setelahnya merespon tradisi dengan pendekatan mutakhir.
Pita Maha merupakan paguyuban seniman Bali yang dibentuk pada 1936. Kelompok ini didirikan oleh para seniman Bali seperti Tjokorda Gde Agung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Mayoritas karya mereka bertolak dari tradisi di Bali.
Baca juga: Mengungkai Refleksi Sosial dalam Pameran Komunikasih Vs Komunikacau di Bentara Budaya Jakarta
Total, pameran ini menampilkan 44 lukisan, dan 35 patung ukuran kecil. Salah satu lukisan tertua adalah karya I Wayan Gerudug bertajuk Sinta Megeseng (membakar diri) yang didasarkan dari epos Ramayana, dengan gaya lukisan wayang kamasan Bali.
Sementara itu, dari seniman Bali kontemporer diwakili karya I Made Arya Palguna, berjudul Drunk (pastel minyak, akrilik, di atas kanvas, 140 X 90 cm, 2010). Berbeda dari karya sebelumnya yang sarat akan tradisi, lukisan ini justru tampil dengan gaya kontemporer.
Lukisan bertajuk Sinta Megeseng karya I Wayan Gerudug (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Kurator Efix Mulyadi mengatakan, lukisan Bali dan perkembangannya memang memiliki kekhasan tersendiri. Seperti halnya tari, dan karawitan, lukisan Bali juga memiliki ikatan yang tak terpisah dengan sistem kepercayaan, ritual, dan kebudayaan di sana.
Namun, ada semacam peralihan gaya artistik ketika seniman Bali berkenalan dengan pelaku seni rupa asal Eropa seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, pada era 1930-an. Dari sinilah kemudian terjadi semacam revitalisasi seni rupa Bali yang lebih kosmopolit.
"Dari yang semula bertalian dengan tema religi-spiritual tradisional, kemudian seniman Bali mulai menggambarkan kehidupan sehari-hari, lanskap sekitar. Selain itu, muncul pula ekspresi individu para seniman," katanya.
Refleksi dari ekspresi individu itu salah satunya terejawantah dalam karya bertajuk Tanpa Perlawanan buah tangan Putu Sutawijaya. Menggunakan material cat minyak di atas kanvas, karya ini merekam kepiawaian Putu dalam merekam anatomi tubuh dan gerak yang tegas sekaligus ekspresif.
Dalam karya ini sang seniman memang melukis tubuh seseorang yang meringkuk sambil memegang kepala. Ada belabar tinta yang tegas dari sosok yang tergolek tanpa daya itu. Di luar kekosongan bidang, sang seniman juga menuliskan keresahannya secara spontan dalam huruf-huruf sambung.
"Garis yang meraut bentuk tubuh itu dibiarkan mencair, seperti efek tinta hitam yang basah dan luntur, sehingga memberi kesan isi pada bagian tubuh tertentu," imbuh Efix.
Lukisn bertajuk Tanpa Perlawanan, karya Putu Sutawijaya (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Terpisah, Putu Sutawijaya mengatakan, lukisan tersebut memang dibuat untuk merespon kondisi sosial di masyarakat. Terutama dalam merespon gejolak reformasi, yang kala itu masyarakat baru belajar kembali berdemokrasi setelah 32 tahun disekap Orde Baru.
Putu mengungkap, lukisan bertitimangsa 2003 ini terinspirasi dari sosok Mahatma Gandhi. Ihwal karya ini bisa sampai dikoleksi oleh Bentara Budaya adalah saat dia mengikuti pameran di Bentara Budaya Yogyakarta. Arkian, lukisan itu 'diikhlaskan' untuk menjadi koleksi BBJ.
"Saat itu, saya melihat masyarakat seperti sedang frustasi. Jalan satu-satunya adalah berpikir ala swadeshi (berdikari). Sebab dengan kerja kita dapat melakukan perlawanan, yang mana kondisi sosial saat itu juga cukup unik," katanya.
Selain karya-karya di muka, pameran ini juga menampilkan senarai karya lain seperti besutan Made Wianta, Made Arya Palguna, atau seniman Ni Made Suciarmi, yang boleh dibilang sebagai satu-satunya juru sungging wanita dari Kamasan, Bali.
Baca juga: Menyelami Ambiguitas Perdamaian dalam Pameran Peace In Diversity di Bentara Budaya Jakarta
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.