Antara Momen dan Nyawa: Refleksi Arbain Rambey dan Oscar Motuloh tentang Tugas Wartawan
27 December 2024 |
08:30 WIB
Tugas seorang wartawan saat meliput berita kadang dihadapkan pada situasi yang sulit. Antara mementingkan deadline, atau menolong seseorang yang terancam nyawanya, seringkali kerap membuat mereka berada dalam momen simalakama.
Tak ada berita seharga nyawa. Mungkin pameo ini bisa menjadi pegangan para pewarta untuk tetap memegang kesadaran bahwa tugas seorang wartawan di lapangan selalu diintai bahaya. Terlebih saat meliput bencana atau konflik.
Cerita menarik dari pengalaman ini, sempat dikisahkan oleh pewarta foto senior, Arbain Rambey, dan Oscar Motuloh pada, Kamis (26/12/24) malam. Tepatnya dalam diskusi bertajuk Remembering Boxing Day: World Tsunami Awareness Day mengenang dua dekade bencana tsunami Aceh di Tabir mataWaktu, Jakarta.
Baca juga: Masih Adakah Peluang Fotografer di Era AI? Begini Kata Arbain Rambey & Co-founder Erigo
Berlangsung sekitar dua jam, diskusi ini mengetengahkan isu bagaimana seorang wartawan bersikap, dan mematuhi kode etik jurnalistik. Terutama saat turun ke lapangan untuk meliput bencana, atau kegiatan lain yang membutuhkan verifikasi.
Lantas, bagaimana seharusnya wartawan bersikap saat dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Mengambil momen foto, atau menyelamatkan terlebih dahulu nyawa orang lain, saat dia sedang bertugas di lapangan?
Menurut Arbain, momen simalakama tersebut memang menjadi ujian pertama seorang pewarta foto. Namun, kejadian ajaib lain justru bisa berubah saat mereka berada di lapangan. Sebab, tak ada sesuatu yang bisa ditebak saat pewarta meliput berita.
Syahdan, pada 1995, Arbain distop oleh warga ketika mengendarai motor di kawasan Kampung Rambutan, Jakarta. Mereka memintanya untuk mengabadikan peristiwa seorang copet yang mau dibakar, tapi dia menolak. Warga yang kesal pun menuduhnya sebagai teman dari copet tersebut.
"Bayangin, boro-boro mau nolongin yang mau dibakar. Mau menolong diri sendiri saja tidak bisa," papar fotografer Harian Kompas dan pengasuh rubrik Klinik Fotografi Kompas, itu.
Kisah lain juga Arbain ceritakan saat dia meliput Konflik sektarian Maluku, bersama pewarta foto Jakarta Post, P.J Leo. Kala itu mereka hendak memotret pertikaian dari dua kelompok agama di Kepulauan Maluku, hingga bertemu seorang tahanan yang dibacok di depan mereka.
Pasca kejadian itu, kedua fotografer ini hanya bisa tertegun. Meski mereka berhasil mengabadikan peristiwa tersebut, akan tetapi Arbain tidak pernah mencetak hasil fotonya karena dianggap seram, dan tidak layak untuk dikonsumsi publik.
"Jadi soal nolong dulu atau motret dulu itu pertanyaan yang enggak pernah dijawab. Pokoknya, soal momentum tersebut saya belum pernah mengalami, yang pernah, mungkin tidak menjawabnya," imbuh Arbain.
Selaras, Oscar Motuloh juga memiliki pandangan yang sama saat seseorang meliput konflik atau bencana. Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) kewartawanan, menurutnya ada konvensi internasional yang disepakati sebagai acuan saat wartawan meliput sebuah peristiwa.
Acuan tersebut didasarkan dari peristiwa sejarah saat sejumlah paparazzi mengejar Putri Diana dan kekasihnya, Dodi Al-Fayed untuk mencari tambahan uang meski dianggap melanggar privasi. Imbas dari kejadian tersebut, sejoli itu tewas, meski seorang saksi mendengar bahwa mereka sempat meminta tolong.
Dari sinilah kemudian lahir peraturan baru terkait privasi yang diterapkan Press Complaints Commission (PCC). Hasilnya, sejak Januari 1998, penggunaan kamera yang bertujuan memotret orang di tempat pribadi tanpa persetujuan subjek yang dipotret, tidak dapat diterima.
"Ada satu konvensi yang mengatakan bahwa tugas seorang fotografer hanya bisa melakukan pertolongan apabila belum ada petugas medis yang hadir. Tinggal kita, mau ngikutin yang mana, sebab konvensi bisa diikuti ataupun dilanggar. Oleh karena itu profesi paparazzi itu selalu ada," katanya.
Baca juga: AI Mengancam Fotografi? Simak Jawaban Fotografer Senior Oscar Motuloh
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Tak ada berita seharga nyawa. Mungkin pameo ini bisa menjadi pegangan para pewarta untuk tetap memegang kesadaran bahwa tugas seorang wartawan di lapangan selalu diintai bahaya. Terlebih saat meliput bencana atau konflik.
Cerita menarik dari pengalaman ini, sempat dikisahkan oleh pewarta foto senior, Arbain Rambey, dan Oscar Motuloh pada, Kamis (26/12/24) malam. Tepatnya dalam diskusi bertajuk Remembering Boxing Day: World Tsunami Awareness Day mengenang dua dekade bencana tsunami Aceh di Tabir mataWaktu, Jakarta.
Baca juga: Masih Adakah Peluang Fotografer di Era AI? Begini Kata Arbain Rambey & Co-founder Erigo
Berlangsung sekitar dua jam, diskusi ini mengetengahkan isu bagaimana seorang wartawan bersikap, dan mematuhi kode etik jurnalistik. Terutama saat turun ke lapangan untuk meliput bencana, atau kegiatan lain yang membutuhkan verifikasi.
Lantas, bagaimana seharusnya wartawan bersikap saat dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Mengambil momen foto, atau menyelamatkan terlebih dahulu nyawa orang lain, saat dia sedang bertugas di lapangan?
Menurut Arbain, momen simalakama tersebut memang menjadi ujian pertama seorang pewarta foto. Namun, kejadian ajaib lain justru bisa berubah saat mereka berada di lapangan. Sebab, tak ada sesuatu yang bisa ditebak saat pewarta meliput berita.
Syahdan, pada 1995, Arbain distop oleh warga ketika mengendarai motor di kawasan Kampung Rambutan, Jakarta. Mereka memintanya untuk mengabadikan peristiwa seorang copet yang mau dibakar, tapi dia menolak. Warga yang kesal pun menuduhnya sebagai teman dari copet tersebut.
Fotografer Arbain Rambey dan fotografer Oscar Motuloh dalam diskusi di Yayasan mataWaktu, Jakarta, Kamis, (26/12/24). (sumber gambar: Hypeabis.id/Salsabila Rahmadhany)
"Bayangin, boro-boro mau nolongin yang mau dibakar. Mau menolong diri sendiri saja tidak bisa," papar fotografer Harian Kompas dan pengasuh rubrik Klinik Fotografi Kompas, itu.
Kisah lain juga Arbain ceritakan saat dia meliput Konflik sektarian Maluku, bersama pewarta foto Jakarta Post, P.J Leo. Kala itu mereka hendak memotret pertikaian dari dua kelompok agama di Kepulauan Maluku, hingga bertemu seorang tahanan yang dibacok di depan mereka.
Pasca kejadian itu, kedua fotografer ini hanya bisa tertegun. Meski mereka berhasil mengabadikan peristiwa tersebut, akan tetapi Arbain tidak pernah mencetak hasil fotonya karena dianggap seram, dan tidak layak untuk dikonsumsi publik.
"Jadi soal nolong dulu atau motret dulu itu pertanyaan yang enggak pernah dijawab. Pokoknya, soal momentum tersebut saya belum pernah mengalami, yang pernah, mungkin tidak menjawabnya," imbuh Arbain.
Remembering Boxing Day: World Tsunami Awareness Day di Yayasan mataWaktu, Jakarta, Kamis, (26/12/24). (sumber gambar: Hypeabis.id/Salsabila Rahmadhany)
Acuan tersebut didasarkan dari peristiwa sejarah saat sejumlah paparazzi mengejar Putri Diana dan kekasihnya, Dodi Al-Fayed untuk mencari tambahan uang meski dianggap melanggar privasi. Imbas dari kejadian tersebut, sejoli itu tewas, meski seorang saksi mendengar bahwa mereka sempat meminta tolong.
Dari sinilah kemudian lahir peraturan baru terkait privasi yang diterapkan Press Complaints Commission (PCC). Hasilnya, sejak Januari 1998, penggunaan kamera yang bertujuan memotret orang di tempat pribadi tanpa persetujuan subjek yang dipotret, tidak dapat diterima.
"Ada satu konvensi yang mengatakan bahwa tugas seorang fotografer hanya bisa melakukan pertolongan apabila belum ada petugas medis yang hadir. Tinggal kita, mau ngikutin yang mana, sebab konvensi bisa diikuti ataupun dilanggar. Oleh karena itu profesi paparazzi itu selalu ada," katanya.
Baca juga: AI Mengancam Fotografi? Simak Jawaban Fotografer Senior Oscar Motuloh
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.