Sejarah Galeri Nasional Indonesia yang Jadi Etalase Seni Nusantara
25 December 2024 |
09:00 WIB
Galeri Nasional Indonesia (Galnas) sebagai salah satu lembaga kebudayaan di bidang seni rupa keberadaannya relatif masih baru. Galeri yang banyak memacak karya-karya seni rupa kontemporer dan modern tersebut baru diresmikan pada 8 Mei 1999. Namun, embrionya sebenarnya telah muncul sejak lama.
Keberadaan Galnas tak bisa dilepaskan dari fungsi dari kompleks gedung berwarna putih yang ada di dalamnya. Bangunan yang mengadaptasi gaya arsitektur Indische Empire Style ini telah mengalami beberapa perubahan fungsi, sebelum sekarang dimanfaatkan sebagai wadah pameran seni melalui Galeri Nasional Indonesia.
Baca juga: Profil Yos Suprapto, Seniman yang Pamerannya 'Digantung' Galeri Nasional Indonesia
Gedung yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur No 14 Jakarta Pusat (dulunya Jalan Koningsplein Cost No 14) ini mulanya didirikan oleh Yayasan Kristen Carpentier Alting Stiching (CAS), yang bernaung di bawah Ordo van Vrijmetselaren, atas prakarsa Pendeta Albertus Samuel Carpentier.
Dulunya, gedung ini dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan. Bangunan-bangunannya banyak digunakan untuk sekolah menengah pertama khusus bagi wanita. Gedung ini tercatat sebagai usaha pendidikan yang pertama di Hindia Belanda kala itu.
Seiring berjalannya waktu, fungsi dan pengelolaan bangunan terus berubah-ubah. Bangunan induk yang terletak di tengah (sekarang disebut Gedung A) misalnya, pernah beralih fungsi menjadi asrama HBS wanita.
Pada 1955, bangunan ini kembali beralih fungsi. Pemerintah Indonesia saat itu melarang semua kegiatan yang berbau Belanda. Bangunan ini kemudian diambil alih dan diserahkan ke Yayasan Raden Saleh, yang masih merupakan penerus CAS dan tetap berada di bawah gerakan Vrijmetselare Lorge.
Namun, pada 1962, Presiden Sukarno kemudian melarang kegiatan Virjmetselaren Lorge dan Yayasan Raden Saleh pun dibubarkan. Bangunan-bangunan di dalamnya kini diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah dan kini diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketika Gerakan 30 September meletus, bangunan ini sempat dipindahkan ke Markas Komando Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar (KAPPI) dan TNI. Namun, pada 1981, bangunan ini kembali diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan lagi.
Namun, yang menarik, proses pemindahan tersebut penyerahan pengelolanya kini langsung berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan. Dari sinilah, embrio Galeri Nasional Indonesia dimulai. Bangunan induk Gedung A tersebut mulai digunakan sebagai gedung pameran seni rupa kala itu.
“Sesungguhnya, sebelum difungsikan sebagai gedung Pameran Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, telah lahir gagasan dan usulan didirikan Wisma Seni Nasional, yaitu suatu wadah yang berfungsi untuk melaksanakan aktivitas pembinaan dan pengembangan kebudayaan,” tulis Repositori Kemdikbud.
Ide Wisma Seni Nasional ini mulai muncul sejak 1960-an dalam sidang wakil rakyat. Namun, pada kenyataannya, gagasan ini belum dapat direalisasikan karena situasi politik dan keuangan. Baru pada 1980-an, ide ini disambut kembali, terutama dengan dibentuknya Panitia Kerja Persiapan Pembangunan Wisma Seni Nasional.
Namun, lagi-lagi dalam hal penyediaan lahan, masih belum ada kata sepakat. Sebab, kala itu, rancangannya adalah bangunannya mesti memiliki luas 13 Ha. Akhirnya, karena tak kunjung terealisasi, muncul ide lagi memisahkan 2 komponen penting dari konsep pembangunan ini.
Satu di antara komponen tersebut harus fokus pada Art Gallery, yang kemudian menjadi Galeri Nasional Indonesia. Oleh karena itu, sambil menunggu realisasi Wisma Seni Nasional, konsep Art Gallery ini dijalankan terlebih dahulu.
Hal itu dimulai dengan merenovasi gedung utama (Gedung A) sebagai gedung pameran seni rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gedung ini sempat diresmikan pada tanggal 23 Februari 1987, ditandai dengan diselenggarakannya pameran restrspektif karya-karya pelukis Affandi.
Jenis kegiatan yang dilaksanakan di gedung ini dibatasi hanya pada kegiatan yang berkaitan dengan seni rupa, khususnya pameran dan diskusi. Saat itu gedung pameran seni rupa Depdikbud tersebut dapat dikategorikan sebagai gedung pameran terbaik yang dimiliki Indonesia.
Pada masa awal, sejumlah pameran besar berhasil terselenggara. Misalnya, Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara Non Blok, yang dibuka oleh Presiden Soeharto pada 28 April 1995. Dalam pameran tersebut digelar 350 karya seni lukis, seni patung, dan seni gratis hasil karya seniman-seniman dari 41 negara yang tergabung dalam persatuan negara Non- Blok.
Meski telah sukses dalam hal sebagai wadah seni rupa, landasan formal dan seluruh pelaksanaan gedung ini masih terbilang abu-abu. Sebab, belum menjadi suatu institusi resmi. Saat itu, landasan formal dan seluruh pelaksanaan operasional gedung pameran masih didasarkan pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang harus diperbaharui setiap tahun.
Barulah pada 8 Mei 1999, gedung Art Gallery diresmikan dan berubah nama menjadi Galeri Nasional Indonesia. Peresmiannya kala itu dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Yuwono Sudarsono.
Sejak didirikan Galeri Nasional Indonesia memiliki tugas melaksanakan pengumpulan, pendokumentasian, registrasi, penelitian, pemeliharaan, perawatan, pengamanan , penyajian , penyebarluasan informasi dan bimbingan edukatif tentang karya seni rupa.
Setelah itu, mulai banyak pameran besar berkala yang digelar rutin di Galnas. Beberapa di antaranya bahkan menjadi satu catatan penting dan momentum bagi perkembangan dunia seni rupa Indonesia.
Misalnya, pada 2013, Galeri Nasional Indonesia mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan forum internasional, yakni Asian Art Museum Director Forum (AAMDF) 2013. Forum internasional tersebut dihadiri 10 negara ASEAN dan 12 negara Asia di luar ASEAN, terdiri dari perwakilan negara-negara peserta AAMDF, perwakilan lembaga/museum seni rupa internasional, lembaga/museum/galeri seni rupa nasional (Indonesia), seniman, kurator, dan pengamat seni rupa dari berbagai negara.
Baca juga: Mengintip Keseruan Workshop Seni Grafis Cukil Kayu di Galeri Nasional
Lalu, pada 2015, Galeri Nasional Indonesia menerima penghargaan 2015 ICOM Australia Award atas suksesnya kerja sama dengan National Portrait Gallery, Canberra–Australia, dalam menggelar pameran seni rupa yang diinisiasi oleh Galeri Nasional Indonesia, yaitu Pameran Masters of Modern Indonesian Portraiture.
Sejumlah agenda seni penting lainnya juga pernah terselenggara di sini, dari Pameran Southeast Asia Plus (SEA+) Triennale, Pameran Seni Rupa Kontemporer Indonesia “Manifesto”, The 4th Jakarta Contemporary Ceramics Biennale (JCCB); Trienal Seni Patung Indonesia, The Jakarta International Photo Summit (JIPS) hingga Pameran Seni Rupa Nusantara.
Mengutip arsip Kemenparekraf, Jumlah koleksi seni rupa di Galeri Nasional sangat besar, mencapai sekitar 17.000 karya, yang terdiri dari lukisan, foto, hingga pahatan. Koleksi-koleksi ini didominasi karya legendaris dari seniman Indonesia.
Editor: Fajar Sidik
Keberadaan Galnas tak bisa dilepaskan dari fungsi dari kompleks gedung berwarna putih yang ada di dalamnya. Bangunan yang mengadaptasi gaya arsitektur Indische Empire Style ini telah mengalami beberapa perubahan fungsi, sebelum sekarang dimanfaatkan sebagai wadah pameran seni melalui Galeri Nasional Indonesia.
Baca juga: Profil Yos Suprapto, Seniman yang Pamerannya 'Digantung' Galeri Nasional Indonesia
Gedung yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur No 14 Jakarta Pusat (dulunya Jalan Koningsplein Cost No 14) ini mulanya didirikan oleh Yayasan Kristen Carpentier Alting Stiching (CAS), yang bernaung di bawah Ordo van Vrijmetselaren, atas prakarsa Pendeta Albertus Samuel Carpentier.
Suasana di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (17/10/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)
Dulunya, gedung ini dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan. Bangunan-bangunannya banyak digunakan untuk sekolah menengah pertama khusus bagi wanita. Gedung ini tercatat sebagai usaha pendidikan yang pertama di Hindia Belanda kala itu.
Seiring berjalannya waktu, fungsi dan pengelolaan bangunan terus berubah-ubah. Bangunan induk yang terletak di tengah (sekarang disebut Gedung A) misalnya, pernah beralih fungsi menjadi asrama HBS wanita.
Pada 1955, bangunan ini kembali beralih fungsi. Pemerintah Indonesia saat itu melarang semua kegiatan yang berbau Belanda. Bangunan ini kemudian diambil alih dan diserahkan ke Yayasan Raden Saleh, yang masih merupakan penerus CAS dan tetap berada di bawah gerakan Vrijmetselare Lorge.
Namun, pada 1962, Presiden Sukarno kemudian melarang kegiatan Virjmetselaren Lorge dan Yayasan Raden Saleh pun dibubarkan. Bangunan-bangunan di dalamnya kini diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah dan kini diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketika Gerakan 30 September meletus, bangunan ini sempat dipindahkan ke Markas Komando Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar (KAPPI) dan TNI. Namun, pada 1981, bangunan ini kembali diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan lagi.
Namun, yang menarik, proses pemindahan tersebut penyerahan pengelolanya kini langsung berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan. Dari sinilah, embrio Galeri Nasional Indonesia dimulai. Bangunan induk Gedung A tersebut mulai digunakan sebagai gedung pameran seni rupa kala itu.
“Sesungguhnya, sebelum difungsikan sebagai gedung Pameran Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, telah lahir gagasan dan usulan didirikan Wisma Seni Nasional, yaitu suatu wadah yang berfungsi untuk melaksanakan aktivitas pembinaan dan pengembangan kebudayaan,” tulis Repositori Kemdikbud.
Dari Wisma Seni Nasional menjadi Galeri Nasional Indonesia
Pengunjung melihat karya yang dipamerkan pada pameran Koleksi Galeri Nasional Indonesia yang bertajuk â??FLÃ?NEUR: Kembara Lintas Duniaâ? di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (17/10/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)
Ide Wisma Seni Nasional ini mulai muncul sejak 1960-an dalam sidang wakil rakyat. Namun, pada kenyataannya, gagasan ini belum dapat direalisasikan karena situasi politik dan keuangan. Baru pada 1980-an, ide ini disambut kembali, terutama dengan dibentuknya Panitia Kerja Persiapan Pembangunan Wisma Seni Nasional.
Namun, lagi-lagi dalam hal penyediaan lahan, masih belum ada kata sepakat. Sebab, kala itu, rancangannya adalah bangunannya mesti memiliki luas 13 Ha. Akhirnya, karena tak kunjung terealisasi, muncul ide lagi memisahkan 2 komponen penting dari konsep pembangunan ini.
Satu di antara komponen tersebut harus fokus pada Art Gallery, yang kemudian menjadi Galeri Nasional Indonesia. Oleh karena itu, sambil menunggu realisasi Wisma Seni Nasional, konsep Art Gallery ini dijalankan terlebih dahulu.
Hal itu dimulai dengan merenovasi gedung utama (Gedung A) sebagai gedung pameran seni rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gedung ini sempat diresmikan pada tanggal 23 Februari 1987, ditandai dengan diselenggarakannya pameran restrspektif karya-karya pelukis Affandi.
Jenis kegiatan yang dilaksanakan di gedung ini dibatasi hanya pada kegiatan yang berkaitan dengan seni rupa, khususnya pameran dan diskusi. Saat itu gedung pameran seni rupa Depdikbud tersebut dapat dikategorikan sebagai gedung pameran terbaik yang dimiliki Indonesia.
Pada masa awal, sejumlah pameran besar berhasil terselenggara. Misalnya, Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara Non Blok, yang dibuka oleh Presiden Soeharto pada 28 April 1995. Dalam pameran tersebut digelar 350 karya seni lukis, seni patung, dan seni gratis hasil karya seniman-seniman dari 41 negara yang tergabung dalam persatuan negara Non- Blok.
Meski telah sukses dalam hal sebagai wadah seni rupa, landasan formal dan seluruh pelaksanaan gedung ini masih terbilang abu-abu. Sebab, belum menjadi suatu institusi resmi. Saat itu, landasan formal dan seluruh pelaksanaan operasional gedung pameran masih didasarkan pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang harus diperbaharui setiap tahun.
Barulah pada 8 Mei 1999, gedung Art Gallery diresmikan dan berubah nama menjadi Galeri Nasional Indonesia. Peresmiannya kala itu dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Yuwono Sudarsono.
Sejak didirikan Galeri Nasional Indonesia memiliki tugas melaksanakan pengumpulan, pendokumentasian, registrasi, penelitian, pemeliharaan, perawatan, pengamanan , penyajian , penyebarluasan informasi dan bimbingan edukatif tentang karya seni rupa.
Setelah itu, mulai banyak pameran besar berkala yang digelar rutin di Galnas. Beberapa di antaranya bahkan menjadi satu catatan penting dan momentum bagi perkembangan dunia seni rupa Indonesia.
Suasana di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (17/10/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)
Misalnya, pada 2013, Galeri Nasional Indonesia mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan forum internasional, yakni Asian Art Museum Director Forum (AAMDF) 2013. Forum internasional tersebut dihadiri 10 negara ASEAN dan 12 negara Asia di luar ASEAN, terdiri dari perwakilan negara-negara peserta AAMDF, perwakilan lembaga/museum seni rupa internasional, lembaga/museum/galeri seni rupa nasional (Indonesia), seniman, kurator, dan pengamat seni rupa dari berbagai negara.
Baca juga: Mengintip Keseruan Workshop Seni Grafis Cukil Kayu di Galeri Nasional
Lalu, pada 2015, Galeri Nasional Indonesia menerima penghargaan 2015 ICOM Australia Award atas suksesnya kerja sama dengan National Portrait Gallery, Canberra–Australia, dalam menggelar pameran seni rupa yang diinisiasi oleh Galeri Nasional Indonesia, yaitu Pameran Masters of Modern Indonesian Portraiture.
Sejumlah agenda seni penting lainnya juga pernah terselenggara di sini, dari Pameran Southeast Asia Plus (SEA+) Triennale, Pameran Seni Rupa Kontemporer Indonesia “Manifesto”, The 4th Jakarta Contemporary Ceramics Biennale (JCCB); Trienal Seni Patung Indonesia, The Jakarta International Photo Summit (JIPS) hingga Pameran Seni Rupa Nusantara.
Mengutip arsip Kemenparekraf, Jumlah koleksi seni rupa di Galeri Nasional sangat besar, mencapai sekitar 17.000 karya, yang terdiri dari lukisan, foto, hingga pahatan. Koleksi-koleksi ini didominasi karya legendaris dari seniman Indonesia.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.