Seorang pengunjung menikati lukisan dalam pameran Kala di Artsphere Gallery (sumber gambar: Artsphere Gallery)

Pameran Kala: Saat Waktu Direfleksikan dalam Bahasa Rupa oleh Seniman Mutiara Riswari

16 December 2024   |   21:39 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Sejumlah lukisan bercorak abstrak terpacak rapi di dinding Artsphere Gallery, Jakarta. Berukuran kecil hingga medium, karya-karya tersebut hadir dalam guratan ekspresif. Ada tekstur dan gradasi yang timbul di atas kanvas dengan warna-warna pastel.

Mutiara Riswari adalah pencipta karya tersebut. Perempuan 26 tahun asal Semarang, Jawa Tengah itu, menyulap kanvas-kanvas kosong menjadi lukisan abstrak yang menarik perhatian dalam pameran bertajuk Kala, yang berlangsung hingga 8 Januari 2025.

Baca juga: Hypereport Resolusi 2025: Cerita Seniman Mengeksplorasi Diri di Tahun Baru

Salah satunya adalah lukisan berjudul The Rhythm of Existence. Karya bertarikh 2024 itu dibuat dengan mencampurkan berbagai media seperti karet, akrilik, cat semprot, dan pastel. Hasilnya, adalah sebuah lukisan laiknya puzzle dengan guratan spontan.

Muti panggilan akrab Mutiara Riswari, tak memoles keseluruhan kanvas itu dengan cat. Dia masih menyisakan beberapa bagian kanvas seperti aslinya. Di bagian lain, Muti juga mencoret kanvas dengan pensil di antara warna-warna pastel seperti cokelat, abu-abu, dan ungu.
 

ahha

Seorang pengunjung menikati lukisan dalam pameran Kala di Artsphere Gallery  (sumber gambar:  Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Ada juga lukisan abstrak berjudul Anatomy of Silence (rubber, acrylic, spray paint, pastel on canvas, 2024). Karya terkecil dalam pameran ini menghamparkan sapuan cat yang tegas bertekstur kasar, dengan coretan-coretan pensil yang ruwet di atasnya.

Tarikan garis yang ruwet, spontan, dan mayoritas berpilin itu seolah menyimbolkan sikap sang seniman dalam merefleksikan realitas. Ada memori yang menyenangkan dalam hidupnya, akan tetapi ada juga fase-fase pahit yang diejawantahkan dalam coretan pensil.  

Selain menampilkan lukisan abstrak, Muti juga menyuguhkan perpaduan antara lukisan abstrak dan figuratif. Salah satunya karya bertajuk Wild Noise, yang menjadi salah karya terbesar berdimensi 180x140 sentimeter. Karya ini masih menggunakan media yang sama, dari karya sebelumnya.

Perbedaan utama dari lukisan ini adalah sang seniman mengimak daun telinga sebagai fokus karya. Sementara itu, sapuan cat baik yang disemprot, dilepa, atau digoreskan dengan cara-cara yang ekspresif tampak mengerubungi objek, menyisakan suasana yang bising sekaligus menghimpit.

Bagi Muti, bergelut dengan medium rubber (karet) juga bukan tanpa alasan. Karet menurutnya merefleksikan sesuatu yang lentur, mudah dibentuk dan adaptif. Lain dari itu, karet juga menghasilkan citraan yang khas saat dicampur dengan material lain, seperti akrilik dan pastel.

"Karet itu sifatnya lentur, seperti sifat anak kecil yang ingin terus belajar dan beradaptasi. Dalam pameran ini aku juga ingin merefleksikan itu, di mana lukisan yang menggunakan media campuran karet cukup banyak menjadi highlight," katanya saat dihubungi Hypeabis.id.
 

Karya lukisan bertajuk In The Wake of Decay (2024)

Karya lukisan bertajuk In The Wake of Decay (2024) dalam pameran Kala di Artsphere Gallery  (sumber gambar:  Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Tomi Firdaus, penulis pengantar pameran mengatakan bahwa aktivitas melukis yang dilakukan oleh sang seniman merupakan proses dalam mencari dan mengenali diri. Terlebih saat Muti memasuki krisis umur seperempat abad, yang mana semua masalah seperti datang beriringan tanpa memandang situasi.

Beberapa karya terbarunya seperti In The Wake of Decay (2024) dan Self-Capture (2024) misalnya, merupakan upaya untuk mengamati momen dan gerakan yang terjadi pada diri dan realitas sekitar sang seniman. Dalam proses tersebut, Muti seperti sedang membekukan gerakan dan momen yang tengah terjadi dengan menginterpretasikannya melalui sapuan kuas.

"Munculnya bagian-bagian tubuh pada karya terbaru Mutiara membawa kita untuk merefleksikan sebuah pertanyaan, apakah sesungguhnya mereka membentuk kita atau sebaliknya? Citra visual karya Mutiara yang dilihat saat ini bisa saja akan berubah beberapa tahun, bulan atau bahkan hari ke depan," paparnya.


Debut Pameran Tunggal di Jakarta

Nama Mutiara Riswari memang cukup asing di telinga penikmat seni dan lukisan di Jakarta. Maklum, ini pertama kali dia menggelar pameran tunggal di Jakarta, meski sebelumnya sempat mengikuti ekhsibisi bersama di sejumlah galeri, salah satunya Art Agenda Jakarta, pada setahun silam.

Sebagai seniman, Muti justru lebih sering berpameran di luar negeri, seperti Jepang dan Singapura, yakni di Galeri Hayashi+Art Bridge, dan White Space Art Asia. Dia juga kerap berpameran di Yogyakarta, seperti RJ Katamsi, Bentara Budaya Yogyakarta, dan Studio Kasongan.

Muti serius menekuni dunia lukis setelah mentas dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Indonesia pada 2016. Setelah lulus kuliah, dia memilih untuk tinggal di Yogyakarta, dan mencoba mencari gagrak melukisnya, meski awalnya lebih banyak mengeksplorasi figur, alih-alih lukisan abstrak.

Paradigma realisme itu luntur setelah dia melihat karya-karya pelukis abstrak seperti Christine Ay Tjoe, dan Ugo Untoro. Dari sinilah sang seniman mencoba mementahkan teknik melukisnya lagi, setelh sempat hiatus selama setahun pada 2018, lalu mencoba kembali melukis dengan mengedepankan rasa.

Momen itu juga ditambah lewat persinggungannya dengan dunia akademik saat masih kuliah dan mengunjungi berbagai pameran di berbagai daerah. Terlebih sejak pandemi Covid-19 mengukungnya, sehingga tidak bisa keluar rumah, dan memberi dampak psikologis serta membuatnya menekuni semadi.

"Meski awalnya berangkat dari realis, aku memang suka sama sesuatu hal yang spontanitas dan intuitif. Jadi ketika aku bikin karya figur pun sudah ada distorsi, hingga menemukan kenyamanan pada sesuatu yang lebih jujur dan spontan ini," imbuh finalis Seniman Pendatang Baru 2015 UOB Painting Of The Year 2015 itu.
 

Seniman Mutiara Risawri (kanan) saat menjelaskan

Seniman Mutiara Risawri (kanan) saat menjelaskan karyanya dalam pameran Kala di Artsphere Gallery (sumber gambar:  Artsphere Gallery)


Dalam berkarya, Muti juga mempercayai apa yang ditorehkan pada kanvas bukan sekadar komposisi elemen seni rupa, tetapi setiap karya adalah metode menjalani lelaku hidup. Lelaku merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang dimaknai sebagai keteguhan seseorang dalam melakukan tindakan tertentu untuk tujuan tertentu dalam kala.

Kala atau waktu merupakan dimensi yang bergerak maju (linear) dan tidak dapat dihindari oleh semua makhluk, termasuk manusia. Sejak dibuahinya sel telur oleh sperma sampai maut menjemput, manusia akan selalu didampingi oleh ‘entitas’ bernama kala. Istilah ini, dalam bahasa Jawa  juga dikenal sangkan paran, atau dari dan menuju ke mana hidup berakhir.

Baca juga: Narasi Religi dalam Wayang Seniman Sasya Tranggono di Pameran The Holy Journey

Menurut Tomi, perubahan visual dalam karya Mutia juga bukan karena inkonsisten, tetapi karena sang seniman terus tumbuh dan berproses seturut dengan tujuan lelakunya. Oleh karena itu, sekian karya yang disajikan dalam pameran ini tidak membicarakan hasil akhir, melainkan proses yang terus bergulir laiknya waktu.

"Pameran ini memang  menyoroti tentang proses yang terus dialami oleh setiap insan dalam lintasan waktu. Apa yang akan membentuk kita di masa depan, berawal dari perbuat saat ini dan yang dipelajari dari masa lalu,"imbuhnya.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Eka Kurniawan Rayakan Dua Dekade Novel Lelaki Harimau dengan Cover dan Cerpen Baru

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: