Ilustrasi perumahan (dok: Unsplash/Tom Rumble)

Ingin Membeli Rumah? Cek Ini agar Tak Menyesal

26 August 2021   |   16:09 WIB
Image
Rezha Hadyan Hypeabis.id

Genhype, tak dipungkiri membeli hunian dari pengembang bukanlah perkara yang mudah. Banyak hal yang perlu diperhatikan selain kondisi bangunan dan lokasinya, untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan di kemudian hari. Khususnya hal ini yang berkaitan dengan kelengkapan serta legalitas dokumennya.

Executive Director Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan, konsumen properti perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan kelengkapan dan legalitas dokumen. Selain mengenali jenis sertifikat yang diberikan terkait bangunan yang akan dibeli, hal yang juga perlu diperhatikan adalah sertifikat induk dan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dimiliki oleh pengembang.

Hal ini acapkali ditemukan pengembang, terutama yang berskala kecil atau yang baru terjun ke bisnis properti yang menggampangkan hal tersebut. Oleh karena itu, rekam jejak dari pengembang menjadi penting dan patut dipertimbangkan juga.

Developer itu enggak segampang yang dipikirkan. Ada perusahaan atau perorangan yang punya lahan dan modal tiba-tiba jadi developer menggampangkan akhirnya gagal karena nggak paham properti. Maka dari itu, jangan sembarangan [pilih],” katanya kepada Hypeabis.id baru-baru ini.

 

Ilustrasi (dok Todd Kent/Unsplash)

Ilustrasi (dok Todd Kent/Unsplash)


Kemudian hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah nama yang tercantum pada sertifikat induk atau satuan unit. Sebisa mungkin hindari properti yang masih menggunakan nama perorangan atau perusahaan pihak ketiga pada sertifikat tersebut.
“Ini perlu hati-hati karena biasanya ada yang nama perorangan juga. Kalau mau lebih aman atas nama perusahaan atau developer yang bersangkutan. Karena banyak itu biasanya developer kecil yang pakai nama pribadi. Hilang ya sudah nggak tahu bagaimana,” jelasnya.

Lebih lanjut, khusus untuk rumah susun atau apartemen yang harus benar-benar diperhatikan adalah status lahan yang dibangun. Karena banyak rumah susun atau apartemen, terutama yang berada di tengah kota berdiri di atas lahan dengan status Hak Pengelolaan (HPL) bukan merupakan hak atas tanah sebagaimana Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP).

Bangunan yang berdiri di atas lahan berstatus HPL berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari. Demikian halnya dengan lahan yang statusnya kerjasama operasi (KSO) yang prosesnya belum selesai sepenuhnya.

“Ada potensi sengketa karena pemilik lahan bisa saja mengambil alih kembali lahan tersebut untuk mereka gunakan. Walapun kemungkinannya tak terlalu besar tetapi ada. Contoh apartemen lahan HPL ada di Mangga Dua milik PT Kereta Api dan Kemayoran di atas lahan Setneg (Sekretariat Negara),” ungkapnya.

Ali menambahkan, kepastian terbitnya sertifikat hak satuan rumah (SHRS) atau strata title juga perlu diperhatikan. Pasalnya, banyak pengembang yang gagal dalam menyelesaikan masalah pertelaan atau besarnya bagian hak atas bagian bersama sebagai syarat dari penerbitan SHRS.

Strata title atau SHRS itu harus melalui proses pertelaan ke Kantor Administrasi ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) dan makan waktu lama, lebih dari satu tahun, bahkan ada yang sudah lima tahun enggak keluar-keluar,” tambahnya.


Editor: Roni Yunianto

 

SEBELUMNYA

Pasien Kanker Paru Suspek Covid-19 Bisa Terapi, Asal..

BERIKUTNYA

Ni Nengah Widiasih Sabet Medali Pertama di Paralimpiade

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: