FOMOnomics: Ketika FOMO Membentuk Pola Konsumsi di Era Digital
28 November 2024 |
17:27 WIB
Konsep Fear of Missing Out (FOMO) semakin dikenal dalam beberapa tahun terakhir. Menurut artikel ilmiah Candra et al. (2024), istilah ini pertama kali muncul pada pertengahan 1990-an. Akronim FOMO merujuk pada rasa cemas akibat keyakinan bahwa orang lain menikmati pengalaman lebih baik dibanding diri kita.
Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat fenomena ini. Genhype, terutama generasi muda, sering merasa takut ketinggalan jika tidak mengikuti tren, mencoba makanan viral, atau menghadiri acara tertentu. Dorongan ini sering mengarah pada keputusan impulsif untuk memastikan tidak kehilangan peluang yang dirasakan orang lain.
Dalam konteks ekonomi, istilah FOMOnomics muncul untuk menggambarkan dampak FOMO terhadap perilaku konsumen. Artikel Kaddouhah (2024) bertajuk "An economic definition of ‘Fearof Missing Out’ (FOMO)" mengungkap bahwa FOMO mematahkan teori ekonomi tradisional, yang menganggap individu selalu mengambil keputusan berdasarkan analisis rasional.
Baca Juga: Resensi Buku Fomo Marketing for Fomo Sapience, Dongkrak Penjualan Lewat Rasa Penasaran
Sebaliknya, FOMO justru mampu mengarahkan Genhype terutama generasi muda untuk memprioritaskan tren sosial dan keuntungan sesaat daripada analisis jangka panjang untuk kebutuhan di masa mendatang. Dalam lanskap yang lebih luas FOMO juga berdampak pada perubahan perilaku konsumen.
Fenomena ini juga memengaruhi pola konsumsi. Misalnya, banyak yang membeli produk atau layanan bukan karena kebutuhan, melainkan karena takut ketinggalan dalam pergaulan. Studi Rachman et al. (2024) di jurnal Riset: Jurnal Aplikasi Ekonomi Akuntansi dan Bisnis, menyimpulkan bahwa e-commerce sering memanfaatkan FOMO dalam strategi promosi, seperti penawaran waktu terbatas atau iklan agresif di media sosial untuk memicu pembelian impulsif.
Sementara itu, studi Alfina et al. (2023) yang dimuat dalam jurnal Cogent Business & Management menunjukkan bahwa generasi muda yang tumbuh dengan teknologi digital lebih peka terhadap pengaruh teman sebaya di media sosial. Akibatnya, FOMO dapat menyebabkan peningkatan kecemasan dan penurunan kepuasan diri, karena kita terus membandingkan pengalaman pribadi dengan apa yang ditampilkan orang lain.
Selain itu, meleburnya FOMO ke dalam strategi pemasaran telah membuat bisnis memanfaatkan sisi bias emosional konsumen. Situasi ini menciptakan siklus di mana Genhype merasa terdorong untuk bertindak impulsifnya tanpa menyadari lebih jauh terkait keputusan tersebut.
Untuk menghadapi FOMO, penting bagi Genhype untuk lebih sadar akan cara pengaruh ini bekerja. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat fenomena ini. Genhype, terutama generasi muda, sering merasa takut ketinggalan jika tidak mengikuti tren, mencoba makanan viral, atau menghadiri acara tertentu. Dorongan ini sering mengarah pada keputusan impulsif untuk memastikan tidak kehilangan peluang yang dirasakan orang lain.
Dalam konteks ekonomi, istilah FOMOnomics muncul untuk menggambarkan dampak FOMO terhadap perilaku konsumen. Artikel Kaddouhah (2024) bertajuk "An economic definition of ‘Fearof Missing Out’ (FOMO)" mengungkap bahwa FOMO mematahkan teori ekonomi tradisional, yang menganggap individu selalu mengambil keputusan berdasarkan analisis rasional.
Baca Juga: Resensi Buku Fomo Marketing for Fomo Sapience, Dongkrak Penjualan Lewat Rasa Penasaran
Sebaliknya, FOMO justru mampu mengarahkan Genhype terutama generasi muda untuk memprioritaskan tren sosial dan keuntungan sesaat daripada analisis jangka panjang untuk kebutuhan di masa mendatang. Dalam lanskap yang lebih luas FOMO juga berdampak pada perubahan perilaku konsumen.
Fenomena ini juga memengaruhi pola konsumsi. Misalnya, banyak yang membeli produk atau layanan bukan karena kebutuhan, melainkan karena takut ketinggalan dalam pergaulan. Studi Rachman et al. (2024) di jurnal Riset: Jurnal Aplikasi Ekonomi Akuntansi dan Bisnis, menyimpulkan bahwa e-commerce sering memanfaatkan FOMO dalam strategi promosi, seperti penawaran waktu terbatas atau iklan agresif di media sosial untuk memicu pembelian impulsif.
Sementara itu, studi Alfina et al. (2023) yang dimuat dalam jurnal Cogent Business & Management menunjukkan bahwa generasi muda yang tumbuh dengan teknologi digital lebih peka terhadap pengaruh teman sebaya di media sosial. Akibatnya, FOMO dapat menyebabkan peningkatan kecemasan dan penurunan kepuasan diri, karena kita terus membandingkan pengalaman pribadi dengan apa yang ditampilkan orang lain.
Selain itu, meleburnya FOMO ke dalam strategi pemasaran telah membuat bisnis memanfaatkan sisi bias emosional konsumen. Situasi ini menciptakan siklus di mana Genhype merasa terdorong untuk bertindak impulsifnya tanpa menyadari lebih jauh terkait keputusan tersebut.
Untuk menghadapi FOMO, penting bagi Genhype untuk lebih sadar akan cara pengaruh ini bekerja. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Berpikir Kritis: Evaluasi apakah suatu keputusan diambil karena kebutuhan nyata atau hanya dorongan sosial.
- Batasi Waktu Media Sosial: Mengurangi paparan konten yang memicu perasaan tidak cukup bisa membantu mengendalikan FOMO.
- Prioritaskan Kebutuhan Jangka Panjang: Fokus pada tujuan besar daripada memuaskan keinginan sesaat.
Bagaimana dengan Genhype, apakah selama ini pernah merasa terjebak dalam lingkaran FOMOnomics secara tidak sadar?
Baca Juga: Awas, 4 Dampak Psikologis FOMO Medsos pada Generasi Z
Editor: M. Taufikul Basari
Baca Juga: Awas, 4 Dampak Psikologis FOMO Medsos pada Generasi Z
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.