Pameran Primate Visions: Macaque Macabre & Dunia Fiksi Natasha Tontey
18 November 2024 |
21:27 WIB
Pada 1991, David Cronenberg membuat film berjudul Naked Lunch, yang cukup populer di kalangan sinefil. Diangkat dari novel karya William S. Burroughs, film ini mengikuti kisah seorang pembasmi hama dan istrinya yang menyalahgunakan pyrethrum (bubuk serangga) sebagai narkoba. Naked Lunch adalah film cult.
Lain Waktu, Cronenberg juga kerap membuat film-film surealis yang mayoritas mengeksplorasi horor dan fiksi ilmiah, seperti Scanners (1981), dan Shivers (1975). Filmmaker asal Kanada itu, kelak dikenal sebagai salah satu originator film genre horror viscaral, atau horor tubuh.
Baca juga: Eksplorasi Bahasa Cinta yang Menggugah di Pameran Art Love U Fest 2024
Bayangan action dari film-film Cronenberg, atau mungkin juga Stanley Kubrick, mustahil Genhype singkirkan saat melihat senarai karya Natasha Tontey, di Museum MACAN, Jakarta. Dalam pameran tunggal bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre, itu Tontey menampilkan 10 instalasi dan satu film pendek, yang semuanya dikerjakan pada 2024.
Menjadi seteleng tunggal perdananya di Jakarta, Tontey sepertinya memang tak ingin tanggung-tanggung. Perupa asal Minahasa, itu mencoba mengungkai kesinambungan antara alam, ilmu primata, dan fiksi spekulatif, mengenai asal-usul peradaban, serta hubungan genetika antara hewan dan manusia.
Primate Visions: Macaque Macabre menyelidiki hubungan kompleks antara manusia dan alam. Momen tersebut dalam realitasnya terefleksi lewat interaksi yang rumit antara populasi monyet berjambul hitam, yang akrab disebut Yaki, di wilayah Minahasa Selatan, tanah kelahiran sang seniman.
Berlangsung hingga 6 April 2025, pusat utama pameran ini memang sebuah film kanal tunggal berdurasi 31 menit, yang judulnya juga menjadi tajuk pameran. Sementara itu, sepilihan instalasinya adalah bagian dari properti, sekaligus komponen asli dari set film tersebut.
Secara umum, film dengan gaya sinematik dystopian ini mengisahkan mengenai misi dari karakter fiktif bernama Imago Organella. Imago adalah seorang ahli primatologi eksperimental dengan spesialis studi kera dan monyet yang berasal dari masa depan.
Syahdan, Imago bersama dua temannya Xenomorphia dan Madame Chauffeur, memulai sebuah perjalanan surealis untuk mencari sampel primata. Arkian, mereka membebaskan dua ekor yaki dari dalam kurungan, serta melakukan eksperimen biologi yang menjelajahi alam bawah sadar antara yaki dan manusia.
Sepanjang perjalanan, mereka merayakan hakikat evolusi, dan pengetahuan ajaib yang tak terduga. Sepilihan premis diajukan, terutama untuk menantang pandangan antroposentrisme. Paduan sinematik horor, film kelas B, dan komedi surealis, tak ayal membuat film ini mengajak publik untuk mempertanyakan ulang modernisme.
"Melalui fiksi spekulatif, saya berupaya menjelajahi dinamika yang saling terkait antara primatologi, ekofeminisme, dan teknologi,"kata perupa kelahiran 1989, yang kini berkarya di Yogyakarta itu.
Dikenal sebagai seniman kontemporer, Natasha Tontey, telah menggeluti kepercayaan asli Minahasa sejak 2019, termasuk mempelajari dan mengikuti ritual-ritualnya. Berangkat dari kepercayaan nenek moyangnya inilah, Tontey memperoleh wawasan tentang alam semesta, dan hubungan antara manusia dengan nonmanusia.
Dalam karya tersebut, Tontey juga merujuk dan menafsir ulang pada norma-norma sosial yang berlaku di kampung halamannya, Minahasa, salah satunya lewat ritual Mawolay. Yaitu sebuah ritual yang mengharuskan warga setempat mengenakan kostum serupa monyet untuk mencegah yaki menjarah desa saat musim panen.
Kurator Audemars Piguet Contemporary, Denis Pernet mengatakan, film fiksi Tontey juga berpijak pada beberapa teks teoretis. Yaitu karya tulis Donna Haraway, bertajuk Primate Visions: Gender, Race, and Nature in the World of Modern Science (1989), yang mengetengahkan kesamaan dan perbedaan antara primata dengan manusia.
Denis Pernet menjelaskan, Tontey juga menjadikan sebagai dongeng jenaka untuk membedah interaksi rumit antara yaki dan masyarakat Minahasa. Dengan menafsir ulang Mawolay, Tontey mencoba mengajak publik untuk memasuki sebuah realitas fiktif untuk membangun empati, pemahaman, dan kesabaran antarmakhluk.
Baca juga: Proses di Balik Layar Film Horor Kuasa Gelap, Penulis Skenarionya Diganggu Hal Gaib
Sepintas, formulasi yang diaktualisasikan Tontey seperti sedang mengkritik antroposentrisme. Yaitu bahwa pandangan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, di mana semua makhluk hidup dan benda mati lainnya ada untuk melayani manusia.
"Pameran ini menyingkap kemiripan yang tak terduga antara manusia dan spesies lain, serta membayangkan sebuah masa depan yang lebih kolaboratif, yang dapat menghubungkan manusia satu sama lain," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Lain Waktu, Cronenberg juga kerap membuat film-film surealis yang mayoritas mengeksplorasi horor dan fiksi ilmiah, seperti Scanners (1981), dan Shivers (1975). Filmmaker asal Kanada itu, kelak dikenal sebagai salah satu originator film genre horror viscaral, atau horor tubuh.
Baca juga: Eksplorasi Bahasa Cinta yang Menggugah di Pameran Art Love U Fest 2024
Bayangan action dari film-film Cronenberg, atau mungkin juga Stanley Kubrick, mustahil Genhype singkirkan saat melihat senarai karya Natasha Tontey, di Museum MACAN, Jakarta. Dalam pameran tunggal bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre, itu Tontey menampilkan 10 instalasi dan satu film pendek, yang semuanya dikerjakan pada 2024.
Menjadi seteleng tunggal perdananya di Jakarta, Tontey sepertinya memang tak ingin tanggung-tanggung. Perupa asal Minahasa, itu mencoba mengungkai kesinambungan antara alam, ilmu primata, dan fiksi spekulatif, mengenai asal-usul peradaban, serta hubungan genetika antara hewan dan manusia.
Primate Visions: Macaque Macabre menyelidiki hubungan kompleks antara manusia dan alam. Momen tersebut dalam realitasnya terefleksi lewat interaksi yang rumit antara populasi monyet berjambul hitam, yang akrab disebut Yaki, di wilayah Minahasa Selatan, tanah kelahiran sang seniman.
Berlangsung hingga 6 April 2025, pusat utama pameran ini memang sebuah film kanal tunggal berdurasi 31 menit, yang judulnya juga menjadi tajuk pameran. Sementara itu, sepilihan instalasinya adalah bagian dari properti, sekaligus komponen asli dari set film tersebut.
Seorang pengunjung memotret instalasi karya Natasha Tontey dalam pameran Primate Visions: Macaque Macabre di Museum MACAN (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Secara umum, film dengan gaya sinematik dystopian ini mengisahkan mengenai misi dari karakter fiktif bernama Imago Organella. Imago adalah seorang ahli primatologi eksperimental dengan spesialis studi kera dan monyet yang berasal dari masa depan.
Syahdan, Imago bersama dua temannya Xenomorphia dan Madame Chauffeur, memulai sebuah perjalanan surealis untuk mencari sampel primata. Arkian, mereka membebaskan dua ekor yaki dari dalam kurungan, serta melakukan eksperimen biologi yang menjelajahi alam bawah sadar antara yaki dan manusia.
Sepanjang perjalanan, mereka merayakan hakikat evolusi, dan pengetahuan ajaib yang tak terduga. Sepilihan premis diajukan, terutama untuk menantang pandangan antroposentrisme. Paduan sinematik horor, film kelas B, dan komedi surealis, tak ayal membuat film ini mengajak publik untuk mempertanyakan ulang modernisme.
"Melalui fiksi spekulatif, saya berupaya menjelajahi dinamika yang saling terkait antara primatologi, ekofeminisme, dan teknologi,"kata perupa kelahiran 1989, yang kini berkarya di Yogyakarta itu.
Kritik Antroposentrisme
Dikenal sebagai seniman kontemporer, Natasha Tontey, telah menggeluti kepercayaan asli Minahasa sejak 2019, termasuk mempelajari dan mengikuti ritual-ritualnya. Berangkat dari kepercayaan nenek moyangnya inilah, Tontey memperoleh wawasan tentang alam semesta, dan hubungan antara manusia dengan nonmanusia.Dalam karya tersebut, Tontey juga merujuk dan menafsir ulang pada norma-norma sosial yang berlaku di kampung halamannya, Minahasa, salah satunya lewat ritual Mawolay. Yaitu sebuah ritual yang mengharuskan warga setempat mengenakan kostum serupa monyet untuk mencegah yaki menjarah desa saat musim panen.
Sejumlah pengunjung memotret instalasi karya Natasha Tontey dalam pameran Primate Visions: Macaque Macabre di Museum MACAN (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Denis Pernet menjelaskan, Tontey juga menjadikan sebagai dongeng jenaka untuk membedah interaksi rumit antara yaki dan masyarakat Minahasa. Dengan menafsir ulang Mawolay, Tontey mencoba mengajak publik untuk memasuki sebuah realitas fiktif untuk membangun empati, pemahaman, dan kesabaran antarmakhluk.
Baca juga: Proses di Balik Layar Film Horor Kuasa Gelap, Penulis Skenarionya Diganggu Hal Gaib
Sepintas, formulasi yang diaktualisasikan Tontey seperti sedang mengkritik antroposentrisme. Yaitu bahwa pandangan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, di mana semua makhluk hidup dan benda mati lainnya ada untuk melayani manusia.
"Pameran ini menyingkap kemiripan yang tak terduga antara manusia dan spesies lain, serta membayangkan sebuah masa depan yang lebih kolaboratif, yang dapat menghubungkan manusia satu sama lain," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.