Menikmati Dunia Fiksi Natasha Tontey dalam Pameran Primate Visions: Macaque Macabre
19 December 2024 |
08:00 WIB
Sebuah sofa hitam dengan sandaran wajah monyet ngendon di Museum MACAN, Jakarta. Joknya yang terbuat dari kulit dan bulu sintetis tampak mengembung. Di bagian bawah sofa, lidah sang monyet menjulur keluar seperti mengejek pengunjung.
Tak jauh dari kursi, sebuah tobong pasar malam berdiri dengan corak yang khas. Di papan depannya tergambar perempuan koboi, dan lelaki yang meringis. Saat masuk ke dalam, Genhype juga akan menjumpai film pendek dengan pendekatan distopia.
Baca juga: Setelah Hiatus, Yos Suprapto Gelar Pameran Angkat Isu Kedaulatan Pangan di Galnas
Itulah gambaran awal saat memasuki pameran tunggal Natasha Tontey, bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre. Ekshibisi ini merupakan karya komisi untuk Audemars Piguet Contemporary, yang dihelat di Museum MACAN hingga hingga 6 April 2025.
Lewat seteleng ini, Tontey tampaknya ingin menelusuri bagaimana tradisi budaya membentuk pemahaman publik atas dunia modern. Salah satunya, lewat film berdurasi 31 menit bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre, yang diputar di dalam tobong.
Premis film ini pun cukup sederhana, yaitu berkisah tentang seorang ahli primatologi bernama Imago Organella. Sebagai seorang ilmuwan, Imago tertarik untuk mengungkai hubungan simbiosis antara manusia dengan hewan, khususnya monyet.
Berlatar masa depan, syahdan, Imago bersama dua temannya, Xenomorphia dan Madame Chauffeur memulai sebuah perjalanan nan surealis. Setelah sampai di Minahasa, mereka membebaskan dua ekor yaki dari dalam kurungan, sebagai objek penelitian.
Arkian, mereka menemukan postulat evolusi manusia dan monyet. Senarai premis pun diajukan untuk menantang pandangan antroposentrisme. Dengan gaya sinematik horor, film kelas B, dan komedi surealis, karya ini seolah mengajak publik untuk mempertanyakan ulang modernisme.
"Primate Visions: Macaque Macabre berupaya untuk membongkar dan mengamati hubungan yang rumit dan kerap kontradiktif antara manusia dengan yaki, yaitu monyet makaka jambul hitam di Minahasa,"katanya.
Di Minahasa, monyet makaka jambul hitam, atau yaki, memang dianggap oleh masyarakat adat sebagai bagian dari struktur kehidupan sosial. Namun, di sisi lain spesies tersebut juga dianggap sebagai hama karena kerap turun ke desa dan mencuri hasil panen.
Menurut Tontey, hubungan tersebut makin pelik dengan diakuinya status yaki sebagai spesies yang terancam punah. Persoalan inilah yang kemudian mendorong organisasi-organisasi internasional untuk menggalakkan pelestariannya, karena populasinya di alam liar terus menurun.
"Melalui fiksi spekulatif, saya berupaya menjelajahi dinamika yang saling terkait antara primatologi, ekofeminisme, dan teknologi,"imbuhnya.
Kosmologi & Fiksi
Sebagai seniman, Natasha Tontey telah menggeluti kepercayaan asli Minahasa sejak 2019, termasuk mempelajari dan mengikuti ritual-ritualnya. Berangkat dari kepercayaan nenek moyangnya inilah dia kemudian memperoleh wawasan tentang alam semesta, dan hubungan antara manusia dengan liyan.
Menggunakan kosmologi dan fiksi sebagai pijakan karya, Tontey juga mengaktualisasikan tradisi Mawolay yang ada di Minahasa Selatan. Mawolay adalah parade topeng yang digunakan untuk menakuti kawanan yaki atau babi hutan yang menyerang perkebunan warga di Minahasa.
Kelindan imajinasi sang seniman juga disandarkan pada beberapa teks teoretis, salah satunya karya tulis Donna Haraway. Uniknya, interaksi rumit antara yaki dan masyarakat di Minahasa dengan cerlang dialihwahanakan Tontey lewat dongeng film yang jenaka sekaligus satir.
Lewat penafsiran ulang Maloway yang mengharuskan warga setempat mengenakan kostum serupa monyet agar yaki tidak menjarah desa, Tontey seolah ingin mengajak audiens memasuki sebuah realitas fiktif untuk membangun empati, pemahaman, dan kesabaran antar makhluk.
Kurator Audemars Piguet Contemporary, Denis Pernet mengatakan, pameran ini memang ingin mengajak publik dalam sebuah perjalanan transformatif ke dunia fiktif. Sebab, selain lewat video, pengunjung juga akan mendapati sejumlah properti yang digunakan sang seniman saat membuat film.
Salah satu yang menarik adalah, Set Number 4-Imago's Working Desk. Karya bertitimangsa 2024 itu, terdiri dari meja, kursi, pena, lampu, busa, dakron, dan jam yang meleleh laiknya karya Salvador Dali dalam wujud yang nyata. Ada pula kostum-kostum unik yang digunakan oleh para pemeran film.
Pernet menjelaskan, bahwa seteleng ini juga menyingkap kemiripan yang tak terduga antara manusia dan spesies lain, untuk membayangkan sebuah masa depan yang lebih kolaboratif. Primate Visions, bahkan menjadi karya Tontey yang berukuran paling besar dan rumit, yang pertama dihadirkan di Jakarta.
"Karya-karya Tontey dalam pameran ini juga mencerminkan keyakinan Audemars Piguet bahwa kekuatan kreativitas dapat menghubungkan manusia satu sama lain," katanya.
Baca juga: Pameran Kala: Saat Waktu Direfleksikan dalam Bahasa Rupa oleh Seniman Mutiara Riswari
Editor: Dika Irawan
Tak jauh dari kursi, sebuah tobong pasar malam berdiri dengan corak yang khas. Di papan depannya tergambar perempuan koboi, dan lelaki yang meringis. Saat masuk ke dalam, Genhype juga akan menjumpai film pendek dengan pendekatan distopia.
Baca juga: Setelah Hiatus, Yos Suprapto Gelar Pameran Angkat Isu Kedaulatan Pangan di Galnas
Itulah gambaran awal saat memasuki pameran tunggal Natasha Tontey, bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre. Ekshibisi ini merupakan karya komisi untuk Audemars Piguet Contemporary, yang dihelat di Museum MACAN hingga hingga 6 April 2025.
Lewat seteleng ini, Tontey tampaknya ingin menelusuri bagaimana tradisi budaya membentuk pemahaman publik atas dunia modern. Salah satunya, lewat film berdurasi 31 menit bertajuk Primate Visions: Macaque Macabre, yang diputar di dalam tobong.
Premis film ini pun cukup sederhana, yaitu berkisah tentang seorang ahli primatologi bernama Imago Organella. Sebagai seorang ilmuwan, Imago tertarik untuk mengungkai hubungan simbiosis antara manusia dengan hewan, khususnya monyet.
Pengunjung menyaksikan karya audio visual Natasha Tontey di Museum MACAN (sumber gambar: Museum MACAN)
Arkian, mereka menemukan postulat evolusi manusia dan monyet. Senarai premis pun diajukan untuk menantang pandangan antroposentrisme. Dengan gaya sinematik horor, film kelas B, dan komedi surealis, karya ini seolah mengajak publik untuk mempertanyakan ulang modernisme.
"Primate Visions: Macaque Macabre berupaya untuk membongkar dan mengamati hubungan yang rumit dan kerap kontradiktif antara manusia dengan yaki, yaitu monyet makaka jambul hitam di Minahasa,"katanya.
Di Minahasa, monyet makaka jambul hitam, atau yaki, memang dianggap oleh masyarakat adat sebagai bagian dari struktur kehidupan sosial. Namun, di sisi lain spesies tersebut juga dianggap sebagai hama karena kerap turun ke desa dan mencuri hasil panen.
Menurut Tontey, hubungan tersebut makin pelik dengan diakuinya status yaki sebagai spesies yang terancam punah. Persoalan inilah yang kemudian mendorong organisasi-organisasi internasional untuk menggalakkan pelestariannya, karena populasinya di alam liar terus menurun.
"Melalui fiksi spekulatif, saya berupaya menjelajahi dinamika yang saling terkait antara primatologi, ekofeminisme, dan teknologi,"imbuhnya.
Kosmologi & Fiksi
Sebagai seniman, Natasha Tontey telah menggeluti kepercayaan asli Minahasa sejak 2019, termasuk mempelajari dan mengikuti ritual-ritualnya. Berangkat dari kepercayaan nenek moyangnya inilah dia kemudian memperoleh wawasan tentang alam semesta, dan hubungan antara manusia dengan liyan.
Menggunakan kosmologi dan fiksi sebagai pijakan karya, Tontey juga mengaktualisasikan tradisi Mawolay yang ada di Minahasa Selatan. Mawolay adalah parade topeng yang digunakan untuk menakuti kawanan yaki atau babi hutan yang menyerang perkebunan warga di Minahasa.
Kelindan imajinasi sang seniman juga disandarkan pada beberapa teks teoretis, salah satunya karya tulis Donna Haraway. Uniknya, interaksi rumit antara yaki dan masyarakat di Minahasa dengan cerlang dialihwahanakan Tontey lewat dongeng film yang jenaka sekaligus satir.
Lewat penafsiran ulang Maloway yang mengharuskan warga setempat mengenakan kostum serupa monyet agar yaki tidak menjarah desa, Tontey seolah ingin mengajak audiens memasuki sebuah realitas fiktif untuk membangun empati, pemahaman, dan kesabaran antar makhluk.
Seorang pengunjung memotret instalasi karya Natasha Tontey dalam pameran Primate Visions: Macaque Macabre di Museum MACAN (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Salah satu yang menarik adalah, Set Number 4-Imago's Working Desk. Karya bertitimangsa 2024 itu, terdiri dari meja, kursi, pena, lampu, busa, dakron, dan jam yang meleleh laiknya karya Salvador Dali dalam wujud yang nyata. Ada pula kostum-kostum unik yang digunakan oleh para pemeran film.
Pernet menjelaskan, bahwa seteleng ini juga menyingkap kemiripan yang tak terduga antara manusia dan spesies lain, untuk membayangkan sebuah masa depan yang lebih kolaboratif. Primate Visions, bahkan menjadi karya Tontey yang berukuran paling besar dan rumit, yang pertama dihadirkan di Jakarta.
"Karya-karya Tontey dalam pameran ini juga mencerminkan keyakinan Audemars Piguet bahwa kekuatan kreativitas dapat menghubungkan manusia satu sama lain," katanya.
Baca juga: Pameran Kala: Saat Waktu Direfleksikan dalam Bahasa Rupa oleh Seniman Mutiara Riswari
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.