Royalti Musik Indonesia Tertinggal Jauh, Menteri Kebudayaan Fadli Zon Siap Revisi Regulasi
14 November 2024 |
14:30 WIB
Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali menggelar acara diskusi Ngopi Pagi, Kamis (14/11/2024). Setelah pekan lalu duduk dengan insan perfilman, kali ini menteri penyuka keris tersebut giliran mendengar aspirasi dari para pelaku di industri musik.
Dalam diskusi tersebut, Fadli Zon mengatakan angka penerimaan royalti yang diterima oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memang masih cukup kecil. Padahal, potensi perputaran hak ekonomi untuk musisi Indonesia tersebut sangatlah besar.
“Nilainya masih terlalu kecil, sekitar Rp60 miliar. Dibandingkan negara tetangga (Singapura, Malaysia, Red) itu bisa satu Rp 1 triliun,” ungkap Fadli dalam diskusi Ngopi Pagi dengan Insan Musik, Kamis (14/11/2024).
Baca Juga: Sederet Tantangan Utama Industri Musik Kini, Royalti hingga Ruang Aman Musisi
Menurutnya, angka penerimaan royalti ini memang perlu ditingkatkan. Pasalnya, dengan penerimaan yang lebih besar, para musisi pun akan mendapatkan haknya secara lebih baik.
Untuk mendorong hal tersebut, Fadli mengaku akan meninjau regulasi yang ada. Sebab, dari diskusi dengan insan musik, terdapat beberapa keluhan yang terjadi, terutama terkait dengan transparansi hingga kesadaran akan hak cipta yang juga dinilai masih rendah.
Menurut Fadli, potensi royalti memang besar. Tak hanya acara-acara musik yang digelar luring, tetapi juga daring. Salah satu yang menurut Fadli juga perlu diperhatikan ialah hak royalti yang didapat musisi dari platform musik.
“Dalam hal ini, memang kita bisa saja merenegosiasi dengan platform digital. Namun, yang juga tak kalah penting adalah perlu ada daya tawar kita yang tinggi,” imbuhnya.
Fadli mengatakan royalti adalah isu penting yang memang perlu segera diselesaikan. Baginya, royalti, sama seperti sebuah apresiasi, sesuatu yang vital bagi para seniman dan musisi terutama melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) serta meningkatkan kesejahteraan hidup, dan ekosistem industri musik yang kondusif.
Dalam mengoptimalkan hal tersebut, selain mencari solusi dari penerapan regulasi yang lebih tepat, Fadli juga akan mengombinasikannya dengan dua hal lain. Pertama adalah peningkatan kesadaran soal hak cipta. Kedua, jika perlu, memang didorong dengan penegakan hukum yang lebih tegas.
Sementara itu, Komisioner LMKN Pencipta Waskito mengatakan penerimaan angka royalti di Indonesia memang masih sangat rendah. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, nilai yang ada bahkan sudah berjarak sangat jauh.
Pada 2023, pendapatan royalti di Malaysia sudah mencapai Rp10 triliun, kemudian Singapura mampu mendapatkan Rp500 miliar. Adapun, Indonesia angka penerimaannya masih Rp55 miliar saja.
Dirinya mengatakan sejak LMKN didirikan pada 2015, Rp55 miliar itu memang kerap jadi batas ambang atas. Bahkan, paling tinggi LMKN hanya pernah mendapat Rp60 miliar saja pada 2019.
“Oleh karena itu, kalau masalah royalti ini sering bikin gaduh, merasa mendapatkan royalti yang tidak layak, karena memang pemasukannya sedikit,” imbuhnya.
Waskito mengatakan salah satu alasan mendasar adalah karena pemahaman hak cipta dari masyarakat yang belum terlalu baik. Dengan demikian, kesadaran mereka untuk membayar royalti pun demikian.
Menurut Waskito, masih banyak anggapan yang keliru soal royalti. Pasalnya, tak sedikit yang merasa musik itu bisa dinikmati secara gratis. Hal inilah yang membuat penerimaan menjadi tidak maksimal.
Baca Juga: Heboh Soal Royalti Pencipta Lagu Asmalibrasi, Begini Kata Pengamat Musik Nuran Wibisono
Editor: M. Taufikul Basari
Dalam diskusi tersebut, Fadli Zon mengatakan angka penerimaan royalti yang diterima oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memang masih cukup kecil. Padahal, potensi perputaran hak ekonomi untuk musisi Indonesia tersebut sangatlah besar.
“Nilainya masih terlalu kecil, sekitar Rp60 miliar. Dibandingkan negara tetangga (Singapura, Malaysia, Red) itu bisa satu Rp 1 triliun,” ungkap Fadli dalam diskusi Ngopi Pagi dengan Insan Musik, Kamis (14/11/2024).
Baca Juga: Sederet Tantangan Utama Industri Musik Kini, Royalti hingga Ruang Aman Musisi
Menurutnya, angka penerimaan royalti ini memang perlu ditingkatkan. Pasalnya, dengan penerimaan yang lebih besar, para musisi pun akan mendapatkan haknya secara lebih baik.
Untuk mendorong hal tersebut, Fadli mengaku akan meninjau regulasi yang ada. Sebab, dari diskusi dengan insan musik, terdapat beberapa keluhan yang terjadi, terutama terkait dengan transparansi hingga kesadaran akan hak cipta yang juga dinilai masih rendah.
Menurut Fadli, potensi royalti memang besar. Tak hanya acara-acara musik yang digelar luring, tetapi juga daring. Salah satu yang menurut Fadli juga perlu diperhatikan ialah hak royalti yang didapat musisi dari platform musik.
“Dalam hal ini, memang kita bisa saja merenegosiasi dengan platform digital. Namun, yang juga tak kalah penting adalah perlu ada daya tawar kita yang tinggi,” imbuhnya.
Fadli mengatakan royalti adalah isu penting yang memang perlu segera diselesaikan. Baginya, royalti, sama seperti sebuah apresiasi, sesuatu yang vital bagi para seniman dan musisi terutama melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) serta meningkatkan kesejahteraan hidup, dan ekosistem industri musik yang kondusif.
Dalam mengoptimalkan hal tersebut, selain mencari solusi dari penerapan regulasi yang lebih tepat, Fadli juga akan mengombinasikannya dengan dua hal lain. Pertama adalah peningkatan kesadaran soal hak cipta. Kedua, jika perlu, memang didorong dengan penegakan hukum yang lebih tegas.
Sementara itu, Komisioner LMKN Pencipta Waskito mengatakan penerimaan angka royalti di Indonesia memang masih sangat rendah. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, nilai yang ada bahkan sudah berjarak sangat jauh.
Pada 2023, pendapatan royalti di Malaysia sudah mencapai Rp10 triliun, kemudian Singapura mampu mendapatkan Rp500 miliar. Adapun, Indonesia angka penerimaannya masih Rp55 miliar saja.
Dirinya mengatakan sejak LMKN didirikan pada 2015, Rp55 miliar itu memang kerap jadi batas ambang atas. Bahkan, paling tinggi LMKN hanya pernah mendapat Rp60 miliar saja pada 2019.
“Oleh karena itu, kalau masalah royalti ini sering bikin gaduh, merasa mendapatkan royalti yang tidak layak, karena memang pemasukannya sedikit,” imbuhnya.
Waskito mengatakan salah satu alasan mendasar adalah karena pemahaman hak cipta dari masyarakat yang belum terlalu baik. Dengan demikian, kesadaran mereka untuk membayar royalti pun demikian.
Menurut Waskito, masih banyak anggapan yang keliru soal royalti. Pasalnya, tak sedikit yang merasa musik itu bisa dinikmati secara gratis. Hal inilah yang membuat penerimaan menjadi tidak maksimal.
Baca Juga: Heboh Soal Royalti Pencipta Lagu Asmalibrasi, Begini Kata Pengamat Musik Nuran Wibisono
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.