Hari Wayang Nasional & Tantangan Baru Mendekatkan Wayang pada Generasi Muda
06 November 2024 |
15:36 WIB
Indonesia memiliki puncak-puncak seni budaya yang turut membentuk khasanah kebudayaan di Tanah Air. Wayang, yang merangkum hampir semua karya seni, mulai dari seni suara, musik, tutur, pahat, sastra, dan rupa, merupakan salah satu dari senarai renaisans, kultur di Nusantara.
Refleksi inilah yang membuat UNESCO menetapkan wayang sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 7 November 2003. Bahkan, wayang juga masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda untuk kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.
Baca juga: Sejarah Penggunaan Wayang Kulit yang Jadi Medium Dakwah Islam di Indonesia
Arkian, lewat Keppres No 30 tahun 2018 pemerintah menetapkan setiap tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional. Penetapan ini juga menjadi momentum untuk menggerakkan pelestarian dan pengembangan wayang beserta ekosistemnya di tengah kemajuan zaman.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon, mengatakan salah satu tantangan pelestarian wayang pada era globalisasi bukan hanya sekedar menempatkan wayang sebagai artefak dan seni pertunjukan. Kolektor wayang itu juga menekankan, adanya langkah konkrit dari para seniman wayang untuk terus berinovasi mengenalkan wayang pada generasi muda.
"Tentu perlu pengetahuan, kreativitas, dan langkah konkret masyarakat di era digital bagi para seniman pewayangan [dalam] menghadapi tantangan berat ini. Sebab, saat ini juga muncul media-media baru, platform media sosial dan lain-lain," katanya pada Peringatan Hari Wayang Nasional ke-6 di Gedung Pewayangan Kautaman TMII, Jakarta Timur.
Terlepas dari itu semua, upaya para seniman wayang untuk mengaktualisasikan kesenian wayang di masyarakat sebenarnya terus berlangsung. Sejumlah dalang, baik tradisi dan kontemporer bahkan mengelaborasi pementasan dengan pendekatan tradisi-modern, dalam pertunjukan-pertunjukan mereka. Bahkan, tak jarang pula yang melakukan pendekatan lintas seni.
Berdasarkan laman Kemdikbud, tidak kurang dari 100 jenis wayang tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa yang cukup populer misalnya, wayang kulit purwa yang berkembang di Jawa Tengah hingga Jawa Timur, wayang golek, di Jawa Barat, wayang sasak di Nusa Tenggara Barat, dan wayang Banjar di Kalimantan Selatan.
Sejumlah dalang, juga pernah bereksperimen untuk mengenalkan wayang dengan cara-cara yang lebih sangkil. Menggabungkan new media, mereka mementaskan lakon-lakon yang didasarkan dari epos Mahabarata, Ramayana, atau kehidupan sehari-hari masyarakat urban. Kendati begitu, keberlanjutan acapkali menjadi tantangan utama para dalang tersebut.
Dalang Ki Soleh Adi Purnomo mengatakan, selain naskah-naskah besar, sejumlah dalang memang mencoba menawarkan pendekatan baru dengan mengangkat khasanah tradisi lokal di masyarakat sebagai titik tolok cerita. Belum lama ini misalnya, dalang asal Malang, Jawa Timur itu, mementaskan lakon yang berangkat dari prasasti Pabanolan (1381 M) di Festival Budaya Panji 2024.
Alih-alih hanya menggunakan wayang dua dimensi, sang dalang juga menggabungkan pertunjukan tersebut dengan wayang orang. Selain itu, untuk memudahkan keberterimaan pesan, penulis naskah Panjicaraka itu juga menggunakan gaya bertutur bilingual, dengan Bahasa Jawa serta Bahasa Indonesia.
"Penggunaan narasi bilingual ini memang untuk menyapa teman-teman muda. Ini kita memang ingin menyapa generasi remaja karena memang sudah putus dengan bahasa Jawa. Kalau kita main di Bali, kita juga menggunakan bahasa Bali, bahkan, saat ke kamboja, kita juga menyelipkan bahasa mereka," kata Pemangku Padepokan Mangun Dharma itu.
Lain lagi dengan Sanggar Kedhaton Ati, laboratorium wayang dan kesenian asal Karanganyar, Jawa Tengah itu, juga terus bereksperimen untuk menjadikan wayang sebagai tempat penelitian, untuk kemudian hasilnya dibagikan ke masyarakat lewat media sosial. Pada festival yang sama, mereka bahkan mereaktualisasi wayang gedhog Madura dengan pendekatan mutakhir.
Selain menggunakan gaya tutur pedalangan sebagai narasi utama, sanggar ini juga menggunakan teknologi multimedia dalam pementasan-pementasannya. Hasilnya, adalah pertunjukan yang estetis dan mudah diterima awam, terlebih saat pemain musik menggabungkan musik tradisi (nayaga) dengan instrumen piano dalam lakon yang mereka ungkai.
Jauh sebelum ini, almarhum Slamet Gundono juga sempat menggunakan wayang suket, wayang gambus, wayang air, dan masih banyak lagi, untuk menyikapi sekaligus memberontak terhadap pakem-pakem wayang yang beku. Menurut Gundono, seni tradisi memang bukan sesuatu yang statis, akan tetapi dapat terus berkembang seturut zeitgeist zaman.
Tak jarang, bahkan dalang asal Tegal, itu memainkan multi peran dalam pementasannya. Sesaat, dia bisa menjadi dalang, atau aktor yang memerankan tokoh wayang, hingga menjadi pesinden. Pencipta lagu Tuhan Maha Dalang, itu bahkan dianugerahi Prince Claus Awards dari pemerintah Kerajaan Belanda pada 2005.
Baca juga: Mengenang Gregory Churchil, Ahli Hukum & Pencinta Wayang Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Refleksi inilah yang membuat UNESCO menetapkan wayang sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 7 November 2003. Bahkan, wayang juga masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda untuk kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.
Baca juga: Sejarah Penggunaan Wayang Kulit yang Jadi Medium Dakwah Islam di Indonesia
Arkian, lewat Keppres No 30 tahun 2018 pemerintah menetapkan setiap tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional. Penetapan ini juga menjadi momentum untuk menggerakkan pelestarian dan pengembangan wayang beserta ekosistemnya di tengah kemajuan zaman.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon, mengatakan salah satu tantangan pelestarian wayang pada era globalisasi bukan hanya sekedar menempatkan wayang sebagai artefak dan seni pertunjukan. Kolektor wayang itu juga menekankan, adanya langkah konkrit dari para seniman wayang untuk terus berinovasi mengenalkan wayang pada generasi muda.
"Tentu perlu pengetahuan, kreativitas, dan langkah konkret masyarakat di era digital bagi para seniman pewayangan [dalam] menghadapi tantangan berat ini. Sebab, saat ini juga muncul media-media baru, platform media sosial dan lain-lain," katanya pada Peringatan Hari Wayang Nasional ke-6 di Gedung Pewayangan Kautaman TMII, Jakarta Timur.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat mendengarkan paparan dari insan perfilman terkait optimalisasi industri film lokal pada acara Ngopi Pagi di Jakarta, Senin (4/11/2024). (sumber gambar: Hypebis.id/Fanny Kusumawardhani)
Terlepas dari itu semua, upaya para seniman wayang untuk mengaktualisasikan kesenian wayang di masyarakat sebenarnya terus berlangsung. Sejumlah dalang, baik tradisi dan kontemporer bahkan mengelaborasi pementasan dengan pendekatan tradisi-modern, dalam pertunjukan-pertunjukan mereka. Bahkan, tak jarang pula yang melakukan pendekatan lintas seni.
Berdasarkan laman Kemdikbud, tidak kurang dari 100 jenis wayang tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa yang cukup populer misalnya, wayang kulit purwa yang berkembang di Jawa Tengah hingga Jawa Timur, wayang golek, di Jawa Barat, wayang sasak di Nusa Tenggara Barat, dan wayang Banjar di Kalimantan Selatan.
Eksperimen
Sejumlah dalang, juga pernah bereksperimen untuk mengenalkan wayang dengan cara-cara yang lebih sangkil. Menggabungkan new media, mereka mementaskan lakon-lakon yang didasarkan dari epos Mahabarata, Ramayana, atau kehidupan sehari-hari masyarakat urban. Kendati begitu, keberlanjutan acapkali menjadi tantangan utama para dalang tersebut.Dalang Ki Soleh Adi Purnomo mengatakan, selain naskah-naskah besar, sejumlah dalang memang mencoba menawarkan pendekatan baru dengan mengangkat khasanah tradisi lokal di masyarakat sebagai titik tolok cerita. Belum lama ini misalnya, dalang asal Malang, Jawa Timur itu, mementaskan lakon yang berangkat dari prasasti Pabanolan (1381 M) di Festival Budaya Panji 2024.
Alih-alih hanya menggunakan wayang dua dimensi, sang dalang juga menggabungkan pertunjukan tersebut dengan wayang orang. Selain itu, untuk memudahkan keberterimaan pesan, penulis naskah Panjicaraka itu juga menggunakan gaya bertutur bilingual, dengan Bahasa Jawa serta Bahasa Indonesia.
"Penggunaan narasi bilingual ini memang untuk menyapa teman-teman muda. Ini kita memang ingin menyapa generasi remaja karena memang sudah putus dengan bahasa Jawa. Kalau kita main di Bali, kita juga menggunakan bahasa Bali, bahkan, saat ke kamboja, kita juga menyelipkan bahasa mereka," kata Pemangku Padepokan Mangun Dharma itu.
Sanggar Kedhaton Ati, saat mementaskan lakon Palung Tempat Rindumu Pulang, Reaktualisasi Wayang Gedhog Madura di estival Budaya Panji (FBP) 2024 di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (24/10/2024). (sumber gambar: Hypeabis.id/Himawan L Nugraha)
Lain lagi dengan Sanggar Kedhaton Ati, laboratorium wayang dan kesenian asal Karanganyar, Jawa Tengah itu, juga terus bereksperimen untuk menjadikan wayang sebagai tempat penelitian, untuk kemudian hasilnya dibagikan ke masyarakat lewat media sosial. Pada festival yang sama, mereka bahkan mereaktualisasi wayang gedhog Madura dengan pendekatan mutakhir.
Selain menggunakan gaya tutur pedalangan sebagai narasi utama, sanggar ini juga menggunakan teknologi multimedia dalam pementasan-pementasannya. Hasilnya, adalah pertunjukan yang estetis dan mudah diterima awam, terlebih saat pemain musik menggabungkan musik tradisi (nayaga) dengan instrumen piano dalam lakon yang mereka ungkai.
Jauh sebelum ini, almarhum Slamet Gundono juga sempat menggunakan wayang suket, wayang gambus, wayang air, dan masih banyak lagi, untuk menyikapi sekaligus memberontak terhadap pakem-pakem wayang yang beku. Menurut Gundono, seni tradisi memang bukan sesuatu yang statis, akan tetapi dapat terus berkembang seturut zeitgeist zaman.
Tak jarang, bahkan dalang asal Tegal, itu memainkan multi peran dalam pementasannya. Sesaat, dia bisa menjadi dalang, atau aktor yang memerankan tokoh wayang, hingga menjadi pesinden. Pencipta lagu Tuhan Maha Dalang, itu bahkan dianugerahi Prince Claus Awards dari pemerintah Kerajaan Belanda pada 2005.
Baca juga: Mengenang Gregory Churchil, Ahli Hukum & Pencinta Wayang Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.