Penulis buku Boy Chandra berbicara saat kunjungan ke kantor redaksi Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (8/10/2024). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman).

Eksklusif Boy Candra: Dongeng Kucing & Babak Baru Si Penulis Melankolis

05 November 2024   |   09:08 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Selama satu dekade berkarier sebagai penulis, Boy Candra identik dengan karya-karya bernuansa melankolis. Buku-bukunya kerap menghadirkan kisah romansa yang sukses membuat pembaca larut dalam jalinan ceritanya. Bahkan, merasa relate dengan kisah yang disajikan dalam buku-bukunya.

Namun, setelah 10 tahun, karier kepenulisan Boy Candra kini memasuki babak baru. Pada 14 Juli 2024, Boy meluncurkan karya novel baru berjudul Dongeng Kucing. Menjadi karya ke-30, buku tersebut merupakan fabel fantasi pertama yang diluncurkan penulis kelahiran Agam, Sumatra Barat itu.

Baca juga: 10 Tahun Berkarya, Ini Alasan Boy Candra Hadirkan Kisah Fabel dalam Novel Dongeng Kucing

Kisah-kisah romansa penuh liku-liku atau catatan-catatan romantis tak hadir dalam novel anyarnya ini. Boy kini mencoba mengajak pembaca menyusuri kisah tentang kehidupan dan petualangan para binatang yang penuh fantasi dan imajinatif.

Lewat novel Dongeng Kucing, Boy mencoba keluar dari zona nyamannya. Setelah sepuluh tahun terbilang sukses membangun basis pembaca yang cukup besar lewat karya-karya melankolisnya, kini dia ingin bereksplorasi dalam genre fiksi yang baru. 

Novel Dongeng Kucing mengangkat kisah tentang hewan-hewan liar di kolong bawah jalan tol, mulai dari Kucing, Landak Tua, Tikus Tua, Berang-berang, Biawak hingga Burung Gereja. Novel setebal 208 halaman ini mengajak pembaca mengikuti kisah hewan-hewan liar tersebut berupaya bertahan hidup dan saling menjaga satu sama lain.

Mengangkat cerita dengan tema beragam mulai dari keluarga, percintaan, persahabatan, hingga konflik sosial, novel penuh imajinasi ini menyajikan kisah-kisah petualangan menarik dan tak terduga dari hewan-hewan liar yang menjadi tokohnya. 

Dalam novel, kucing menjadi tokoh utama yang menggerakkan cerita dari awal hingga akhir. Ceritanya berawal dari hilangnya pasangan kucing tua bernama Bu Merti dan Pak Ghost, yang meninggalkan satu anak betina bernama Gaura.

Berlanjut dengan kisah Gaura yang memiliki dua anak kesayangan bernama Kucing Putih dengan tanda bulan sabit hitam di kening, dan Kucing Hitam dengan tanda bintang putih di kening, hingga konflik antara kucing, hewan-hewan liar lainnya dengan manusia-manusia yang mengacak-acak kehidupan mereka.

Novel Dongeng Kucing tak hanya menyajikan kisah petualangan sekelompok binatang yang penuh fantasi, tetapi juga menjadi ungkapan kritik sosial Boy khususnya terhadap masih maraknya kasus penyiksaan hewan peliharaan utamanya kucing. Hal ini tentunya menjadi bentuk eksplorasi ide dan artistik yang berbeda dari karya-karyanya sebelumnya.

Kepada Hypeabis.id, Boy bercerita mengenai alasannya untuk menggarap novel fabel fantasi, proses kreatifnya untuk menghadirkan kisah yang memantik imajinasi, hingga kritik sosial yang ingin dia sampaikan dalam novelnya. Berikut adalah petikan obrolan kami.

Apa alasan Anda menulis novel fabel fantasi Dongeng Kucing?
Saya berusaha keluar dari zona nyaman dan mencoba segmen yang lain. Setelah saya amati, di Indonesia genre fantasi itu masih dikuasai oleh penulis-penulis luar negeri ya. Penulis Indonesia itu enggak terlalu banyak, cuma ada 2-3 aja yang namanya besar. Lebih banyak ke romansa atau sastra yang serius, dan genre fantasi belum terlalu banyak.

Sementara demografi sekarang banyak anak muda. Saya membayangkan anak-anak muda itu seharusnya punya imajinasi yang lebih luas. Salah satu alatnya mungkin baca novel-novel fantasi gitu. Pilihan untuk masuk ke segmen fantasi ini sebetulnya lebih ke ingin ikut serta meramaikan segmen fantasi yang belum ramai.
 

c

Penulis Boy Candra saat melakukan kunjungan media di kantor Hypeabis.id, Jakarta, Selasa (8/10/2024), dengan buku barunya yang berjudul Dongeng Kucing. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)

Kalau bicara soal genre fantasi, bentuknya bisa beragam. Tapi mengapa Anda akhirnya memutuskan untuk mengemasnya dalam bentuk fabel?
Sebetulnya ada beberapa proyek tulisan fantasi tentang hewan yang saya kerjakan, tapi yang pertama terbit itu kebetulan tentang kucing ini. Justru buku pertama yang saya tulis itu tentang ikan buntal. Nah kucing ini kebetulan di rumah saya terbiasa dengan kucing ya. Di rumah kami ada beberapa kucing gitu.

Saya pernah pelihara kucing namanya Puisi. Terus tiba-tiba kucingnya hilang gitu dan enggak balik lagi. Lalu ada satu kejadian yang nge-trigger novel ini ditulis itu adalah waktu itu ada dua atau tiga anak kos gitu, ngasih kucing alkohol di Padang dan sempat viral gitu. Puncaknya itu. 

Dongeng Kucing sendiri itu isu utamanya adalah kejahatan terhadap hewan. Sebetulnya yang pengen saya sampaikan adalah kan sekarang itu kucing kaya jadi tren gitu lah ya. Di internet ada selebcing-selebcing gitu kan. Selebgram kucing gitu. Tapi, ketika kita memutuskan untuk memelihara kucing, artinya kita menambah satu anggota keluarga gitu. Nah, tapi kebanyakan orang kadang-kadang kan enggak menganggapnya seperti itu. Di Dongeng Kucing menyinggung hal-hal kaya gitu.

Kenapa akhirnya lebih memilih untuk menjadikan kucing sebagai tokoh utama dalam novel ini dibandingkan hewan lainnya?
Kebanyakan penulis-penulis dan buku-buku tentang kucing itu dari Jepang. Di Indonesia sendiri sepengetahuan saya itu nyaris enggak ada novel fabel kucing. Jadi kemungkinan itu biasanya kumpulan cerpen gitu ya, atau tokoh kucing tapi ceritanya tentang manusia dan kucing gitu. Atau jadi dongeng bergambar. Kalau tokoh utamanya yang kucing dan ditulis jadi novel kayanya di Indonesia belum ada.

Itu juga salah satu alasannya kenapa dibikinnya formatnya panjang, dan yang pengen saya bahas emang kucing-kucing jalanan yang dibuang ke pasar. Kan ceritanya juga bergerak ke pasar gitu. Dalam ceritanya ada band namanya The Fish, punk rock yang punya album lagu-lagunya itu seputar pemberontakan terhadap penjual ikan, bahwa kucing-kucing itu berhak mendapatkan ikan. Jadi ini sebetulnya pelesetan dari band Indonesia yang saya suka, .Feast.

Jadi di dunia kucing saya pengen bikin ada band yang semangatnya sama dan dia memberontak terhadap oligarki ikan gitu lah intinya yakni pedagang ikan di pasar. Perjalanannya berlanjut terus ke tokoh-tokoh lain, ada tokoh manusia asing yang mengadopsi kucing, yang jadi salah satu bentuk penerjemahan dari orang-orang yang ngambil kucing untuk hiburan. Jadi bukan untuk menjadikan mereka bagian dari hidup mereka, tapi untuk dijadiin badut aja dalam hidup mereka.

Dalam proses penulisannya, ada riset yang dilakukan tidak? Misalnya mengamati tingkah laku kucing?
Saya paling risetnya itu mengamati kucing. Karena kan kucing yang di buku itu adalah kucing biasa gitu.Kucing-kucing kampung, kucing jalanan dan terbuang gitu. Saya mengamati paling risetnya itu cara kucing berjalan, cara  mereka bertemu sebagai sesama kucing gitu.

Saya termasuk penulis yang selalu mencoba mempraktikkan tokoh-tokoh yang saya tulis gitu, termasuk tokoh manusia. Tokoh kucing juga kaya gitu. Ketika misalnya nulis tentang adegan berantem gitu, saya juga membayangkan kira-kira seperti apa. Kadang-kadang saya juga mengeong gitu, membayangkan gimana rasanya bicara kaya kucing. Termasuk kucing berantem juga di YouTube kan ada banyak tuh. Saya juga nonton video-video kucing berantem.
 

Penulis buku Boy Chandra berbicara saat kunjungan ke kantor redaksi Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (8/10/2024). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman).

Penulis buku Boy Chandra berbicara saat kunjungan ke kantor redaksi Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (8/10/2024). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman).

Keluar dari zona nyaman dengan tidak menulis kisah-kisah yang melankolis, apakah ada kesulitan tersendiri?
Sebetulnya yang romance itu kan yang kelihatan dominan aja ya. Secara perjalanan, segmen-segmen cerita lain itu juga sudah saya tulis sebetulnya dalam bentuk cerpen di buku-buku saya yang lain gitu. Tapi yang spesifik satu buku, satu genre itu baru di Dongeng Kucing. Latihannya sebetulnya sudah nyicil.

Tapi kenapa baru sekarang dirasa waktu yang tepat untuk melakukan hal tersebut? Karena persoalan industri di Indonesia kan. Jadi kalau misalnya awal-awal kita bikin produk yang agak sulit dijamah atau dijual seperti fantasi itu agak sulit. Saya baru yakin untuk melakukannya setelah 10 tahun gitu. Kayanya sudah bisa saya sampaikan ke banyak orang dalam waktu yang singkat. 

Soalnya kalau di awal-awal saya harus bertahan hidup dulu. Kalau sekarang sih pengen coba beberapa segmen. Karena sudah 10 tahun kayanya udah siap lah untuk masuk ke segmen yang lebih luas. 

Setelah dibaca, dalam novel ternyata ada twist yang cukup berani dan brutal. Meski di kata pengantar ada disclaimer bahwa pembaca butuh pendampingan orang tua, tapi kenapa dibuat demikian? Lalu, sebenarnya siapa target pembaca Dongeng Kucing?
Itu juga jadi dilema bagi kita, terutama mungkin penerbit ya. Sebetulnya sebetulnya bagian yang paling brutalnya itu dua bab dan bagi saya itu justru bagian pentingnya. Karena itu brutal tapi di dunia yang sesungguhnya jauh lebih brutal lagi gitu. Tadinya itu buat anak-anak, dan bagian ini kita buang aja.  Tapi gara-gara itu, akhirnya di buku kita harus tulis 17 plus kan karena isunya ya kekerasan terhadap kucing tadi.

Di Indonesia industrinya kan kaya gitu ya, kita tuh enggak percaya anak-anak tuh boleh terpapar sesuatu yang baik dan buruk gitu. Buku-buku anak sekarang itu cenderung maparin hal-hal baik aja gitu. Tapi sebagai penulis saya justru khawatir anak-anak tidak bisa kritis membedakan mana yang baik dan buruk gitu. 

Dongeng Kucing itu berusaha nawarin hal yang dia bisa bandingin sendiri dari cerita itu. Tokoh jahatnya tuh sejahat apa, kenapa kita harus sayang sama kucing, yang baik itu kaya gimana. Padahal bagian itu doang sebetulnya akhirnya kita harus buat rating 17 plus. Tapi itu juga bagian yang harus ada gitu. Soalnya kalau bagian itu dibuang menurut saya jadi tidak memuaskan ya.

Kisah Dongeng Kucing akan berlanjut ke novel Perang Kucing. Mengapa kisahnya menjadi serial?
Karena emang ada cerita yang belum selesai ya. Di buku keduanya sebetulnya ada bagian yang harusnya diselesaikan gitu, tapi saya memastikan tidak akan banyak. Karena kan salah satu godaan dari menulis fantasi itu kan serialnya jadi banyak-banyak banget gitu ya. Apalagi kalau laku banget ya itu dieksploitasi lagi gitu kan.

Dongeng Kucing itu kemungkinan besar hanya 2. Kalaupun nanti jadi cerita lain mungkin bentuknya lain, komik atau apalah gitu. Tapi kalau untuk novelnya Dongeng Kucing sendiri cuma 2. Sekarang saya masih menyusun mau ngambil sudut pandangnya yang mana gitu. Tapi secara ceritanya sudah selesai, konsepnya sudah ada. Tapi belum dieksekusi karena terbitnya mungkin masih lama, jadi bisa nulis cerita lain dulu.

Kalau Dongeng Kucing itu kan lebih ke cerita awal mereka ya. Gimana mereka digusur rumahnya, kehidupan keluarganya, latar belakang keluarganya. Di Perang Kucing itu isinya perang. Jadi isinya balas dendam gitu, berantem

Ke depan, buku-buku apa lagi yang akan diterbitkan oleh Anda?
Untuk serial ini sebetulnya udah ada 2 yang selesai ya. Ikan tadi sama kucing, tapi yang terbit baru kucing. Untuk buku-buku lainnya, yang terdekat sih belum fantasi lagi, pasti romance lagi. Karena saya tuh lagi belajar menantang diri saya bisa nulis apa aja. Jadi kalau waktunya nulis horor, saya pengen nulis horor, enggak mau mengkotakkan diri menjadi spesialis tertentu.

Karena sebagai penulis yang memilih hidup dari menulis, saya pikir tantangannya itu justru adaptasi.

Baca juga: Simak Proses Kreatif Boy Candra Garap Novel Dongeng Kucing, Cuma Butuh 24 Hari

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Cek Jadwal Pengumuman SKD CPNS & Tahapan Selanjutnya yang Harus Dilalui

BERIKUTNYA

Pernah Raih Four Peat Champions, Coach Yeb Kini tinggalkan ONIC Esports

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: