Refleksi Isu Alam di Pesta Seni Rupa Jakarta Biennale 2024
04 November 2024 |
22:00 WIB
Sebuah instalasi pohon menyergap mata pengunjung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (TIM). Di salah satu sudut galeri Emiria Soenassa, karya bertajuk Pohon Cerita itu, menampilkan visual yang unik dan memikat. Rantingnya yang kering menumbuhkan dedaunan kertas berbentuk hati dengan berbagai warna.
Syahdan, seorang pengunjung menuliskan sesuatu di dedaunan tersebut. Ada yang menuliskan kerisauan hati, harapan terhadap pemerintahan baru, hingga bagaimana publik menyikapi perubahan iklim. Arkian, sang empu tulisan, menggantungkan daun tersebut di ranting-ranting yang meranggas.
Baca juga: Eksplorasi Bahasa Cinta yang Menggugah di Pameran Art Love U Fest 2024
Menjadi salah satu karya bertumbuh, instalasi berukuran 1,8x1,5 meter itu menghadirkan berbagai cerita untuk mengajak audiens melakukan refleksi. Termasuk untuk saling berbagi keresahan secara anonim, dalam mendapatkan solusi, dan resolusi yang dialami oleh masyarakat dalam memaknai hidup.
Bukan pertama kalinya, pohon sebagai metafora kehidupan dijadikan medium karya seni. Seniman Tim Knowles, misalnya, pernah membuat proyek bertajuk Tree Drawings, di mana sang seniman meletakkan sejumlah kuas pada ranting pohon, dan di dekatnya ada kanvas. Angin dan cuaca, kemudian membantu pohon-pohon itu menggambar.
Lain waktu, sineas Wong Kar Wai juga memasukan sebuah dialog dalam filmnya, In the Mood for Love (2000). Ah Ping, salah satu karakter dalam film tersebut, menarasikan lambang pepohonan sebagai tempat terakhir seseorang menyimpan rahasia, dengan membisikkannya ke sebuah pohon yang dilubangi, lalu menyumpalnya dengan lumpur.
Pohon Cerita dari Komunitas Paseban, hanyalah satu dari puluhan karya yang dipamerkan di Galeri Emiria Soenassa, S. Sudjojono, dan dan Oesman Effendi, TIM, Jakarta. Di tiga hall itu, karya reflektif lain, yang masih bertalian dengan isu ekologi dan keanekaragaman hayati lainnya berjudul Gamam Lambung, Ganar Layung, dari Kolektif Setali.
Dibuat dengan material kain perca, dan bahan daur ulang lain, instalasi ini mengimak lanskap laut dan berbagai biota alam bawah dasar laut yang eksotis. Perca kain yang dianyam, dijalin, dan dipiuh sedemikian rupa, seolah menggambarkan keseimbangan ekosistem laut, seperti karang, padang lamun, dan ikan-ikan, yang terbebas dari sampah.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika manusia menjadi penyumbang terbesar sampah di lautan, dan terus menjadi masalah hingga sekarang. World Population Review memperkirakan, sekitar 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton plastik masuk ke laut setiap tahunnya. Diperkirakan, pada 2050 akan ada 12 miliar ton sampah plastik di lingkungan hidup manusia.
Gagasan segar juga muncul dari Anisa Nabilla Khairo yang berkolaborasi dengan Rumah Cikaramat. Seniman asal Padang, Sumatera Barat itu, membuat karya bertajuk Alam Takambang Jadi Guru, setelah melakukan residensi di Kampung Cikaramat, Jawa Barat. Menggabungkan material-konsep tradisi dan modern, Anisa membuat instalasi yang khas dan menarik.
Pada bagian awal, kita akan melihat piring-piring berjajar di atas kain dan anyaman bambu. Di atas piring, alih-alih menyajikan makanan, sang seniman justru menghamparkan arsip dokumentasi foto, saat dia hampir sebulan menyerap pengetahuan lokal di sana saat mengeksplorasi hubungan antara alam, tubuh, dan pengetahuan.
"Alam Takambang Jadi Guru, buat saya adalah pedoman agar bisa menyiasati ruang, medium, dan ide dalam berkarya. Alangkah bahagianya jika memiliki 'studio' sehamparan Kampung Cikaramat, dengan medium yang kaya dan beragam, serta terus berkembang karena kepedulian bersama," katanya.
Berbeda dari tahun sebelumnya, Jakarta Biennale 2024 memang dihelat dengan lebih meriah, baik dari ide, hingga aktualisasi pengkaryaan. Memasuki perhelatan ke-18, ekshibisi kali ini juga digelar dengan melibatkan 20 kolektif dan entitas seni di yang tergabung dalam Majelis Jakarta.
Tak hanya itu, tahun ini Metode lumbung juga dijadikan sebagai sandaran konsep untuk menyikapi bagaimana karya seni seharusnya dikemas dan dinarasikan. Lewat formulasi ini para seniman diharap bisa memperluas jejaring dengan berbagai kolektif seni, termasuk kepesertaan yang selalu tumbuh di ruang pamer.
"Yang menarik dari Jakarta Biennale kali ini juga tidak ada tema, dan tim kurator. Sedangkan, Dewan Kesenian Jakarta, sejauh ini hanya menjadi inisiator, konseptor, dan pengadvokasi pada pemerintah. Kita juga akan memamerkan lebih banyak karya di ruang- ruang strategis," Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi.
Selaras, berto Tukan, perwakilan dari Yayasan Biennale Lingkar Kota mengatakan, metode kerja lumbung digunakan untuk mendorong pembagian sumber daya dan kuasa kepada sejumlah kolektif di Jakarta. Dia berharap, formulasi ini juga bisa menjadi program yang terus berjalan, meski metode tersebut baru pertama kali diuji coba dalam Jakarta Biennale tahun ini.
Berto menjelaskan, Majelis Jakarta juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk di antaranya para kurator dan seniman asal Taiwan. Mereka bekerjasama dalam satu bingkai kuratorial di bawah arahan kurator asal Taiwan, Sandy Hsuchiu Lo, dalam program bertajuk Topography of Mirror Cities.
"Terkait seniman mancanegara yang terlibat, kita juga mengundang seniman Palestina, meski mereka tidak ke sini karena situasi krisis. Kita hanya berjejaring lewat email, dan menginstruksikan pembuatan karya yang nanti diinterpretasikan oleh seniman-seniman Majelis Jakarta," katanya.
Baca juga: Agenda Pameran Seni Rupa November 2024, Ada Flaneur & Jendela Marida Nasution
Menimbang sejumlah karya yang dipamerkan dalam Jakarta Biennale yang berlangsung hingga 15 November 2024, itu genhype sepertinya diajak untuk memaknai ulang bagaimana karya seni disajikan. Ada keterlibatan dengan publik, serta interaksi yang muncul dan tumbuh selama perhelatan berlangsung, meski untuk menyerap semuanya membutuhkan energi yang tidak sedikit.
Jika ada kritik yang perlu ada, adalah menempatkan kesejajaran atau standardisasi dalam menumbuhkan proses aktualisasi karya antara satu dengan kolektif lain. Sebab, sebagai sebuah metode baru, dengan hadirnya puluhan kolektif di Majelis Jakarta, ada kemungkinan besar mereka memiliki gap, karena ada kolektif yang sudah lama tumbuh (mapan), dengan kolektif-kolektif baru yang masih berbiji tunas.
Editor: Fajar Sidik
Syahdan, seorang pengunjung menuliskan sesuatu di dedaunan tersebut. Ada yang menuliskan kerisauan hati, harapan terhadap pemerintahan baru, hingga bagaimana publik menyikapi perubahan iklim. Arkian, sang empu tulisan, menggantungkan daun tersebut di ranting-ranting yang meranggas.
Baca juga: Eksplorasi Bahasa Cinta yang Menggugah di Pameran Art Love U Fest 2024
Menjadi salah satu karya bertumbuh, instalasi berukuran 1,8x1,5 meter itu menghadirkan berbagai cerita untuk mengajak audiens melakukan refleksi. Termasuk untuk saling berbagi keresahan secara anonim, dalam mendapatkan solusi, dan resolusi yang dialami oleh masyarakat dalam memaknai hidup.
Sejumlah pengunjung berinteraksi dengan salah satu karya di Jakarta Biennale pada Selasa, (1/10/24). (sumber gambar: Hypeabis.id/ Abdurachman)
Lain waktu, sineas Wong Kar Wai juga memasukan sebuah dialog dalam filmnya, In the Mood for Love (2000). Ah Ping, salah satu karakter dalam film tersebut, menarasikan lambang pepohonan sebagai tempat terakhir seseorang menyimpan rahasia, dengan membisikkannya ke sebuah pohon yang dilubangi, lalu menyumpalnya dengan lumpur.
Pohon Cerita dari Komunitas Paseban, hanyalah satu dari puluhan karya yang dipamerkan di Galeri Emiria Soenassa, S. Sudjojono, dan dan Oesman Effendi, TIM, Jakarta. Di tiga hall itu, karya reflektif lain, yang masih bertalian dengan isu ekologi dan keanekaragaman hayati lainnya berjudul Gamam Lambung, Ganar Layung, dari Kolektif Setali.
Dibuat dengan material kain perca, dan bahan daur ulang lain, instalasi ini mengimak lanskap laut dan berbagai biota alam bawah dasar laut yang eksotis. Perca kain yang dianyam, dijalin, dan dipiuh sedemikian rupa, seolah menggambarkan keseimbangan ekosistem laut, seperti karang, padang lamun, dan ikan-ikan, yang terbebas dari sampah.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika manusia menjadi penyumbang terbesar sampah di lautan, dan terus menjadi masalah hingga sekarang. World Population Review memperkirakan, sekitar 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton plastik masuk ke laut setiap tahunnya. Diperkirakan, pada 2050 akan ada 12 miliar ton sampah plastik di lingkungan hidup manusia.
Gagasan segar juga muncul dari Anisa Nabilla Khairo yang berkolaborasi dengan Rumah Cikaramat. Seniman asal Padang, Sumatera Barat itu, membuat karya bertajuk Alam Takambang Jadi Guru, setelah melakukan residensi di Kampung Cikaramat, Jawa Barat. Menggabungkan material-konsep tradisi dan modern, Anisa membuat instalasi yang khas dan menarik.
Karya bertajuk Alam Takambang Jadi Guru buah tangan seniman Anisa Nabilla Khairo di Jakarta Biennale 2024. (sumber gambar: Hypeabis.id/ Abdurachman)
Pada bagian awal, kita akan melihat piring-piring berjajar di atas kain dan anyaman bambu. Di atas piring, alih-alih menyajikan makanan, sang seniman justru menghamparkan arsip dokumentasi foto, saat dia hampir sebulan menyerap pengetahuan lokal di sana saat mengeksplorasi hubungan antara alam, tubuh, dan pengetahuan.
"Alam Takambang Jadi Guru, buat saya adalah pedoman agar bisa menyiasati ruang, medium, dan ide dalam berkarya. Alangkah bahagianya jika memiliki 'studio' sehamparan Kampung Cikaramat, dengan medium yang kaya dan beragam, serta terus berkembang karena kepedulian bersama," katanya.
Kolektif Seni
Berbeda dari tahun sebelumnya, Jakarta Biennale 2024 memang dihelat dengan lebih meriah, baik dari ide, hingga aktualisasi pengkaryaan. Memasuki perhelatan ke-18, ekshibisi kali ini juga digelar dengan melibatkan 20 kolektif dan entitas seni di yang tergabung dalam Majelis Jakarta. Tak hanya itu, tahun ini Metode lumbung juga dijadikan sebagai sandaran konsep untuk menyikapi bagaimana karya seni seharusnya dikemas dan dinarasikan. Lewat formulasi ini para seniman diharap bisa memperluas jejaring dengan berbagai kolektif seni, termasuk kepesertaan yang selalu tumbuh di ruang pamer.
"Yang menarik dari Jakarta Biennale kali ini juga tidak ada tema, dan tim kurator. Sedangkan, Dewan Kesenian Jakarta, sejauh ini hanya menjadi inisiator, konseptor, dan pengadvokasi pada pemerintah. Kita juga akan memamerkan lebih banyak karya di ruang- ruang strategis," Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi.
Selaras, berto Tukan, perwakilan dari Yayasan Biennale Lingkar Kota mengatakan, metode kerja lumbung digunakan untuk mendorong pembagian sumber daya dan kuasa kepada sejumlah kolektif di Jakarta. Dia berharap, formulasi ini juga bisa menjadi program yang terus berjalan, meski metode tersebut baru pertama kali diuji coba dalam Jakarta Biennale tahun ini.
Salah satu karya yang dipacak di Jakarta Biennale 2024. (sumber gambar: Hypeabis.id/ Abdurachman)
Berto menjelaskan, Majelis Jakarta juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk di antaranya para kurator dan seniman asal Taiwan. Mereka bekerjasama dalam satu bingkai kuratorial di bawah arahan kurator asal Taiwan, Sandy Hsuchiu Lo, dalam program bertajuk Topography of Mirror Cities.
"Terkait seniman mancanegara yang terlibat, kita juga mengundang seniman Palestina, meski mereka tidak ke sini karena situasi krisis. Kita hanya berjejaring lewat email, dan menginstruksikan pembuatan karya yang nanti diinterpretasikan oleh seniman-seniman Majelis Jakarta," katanya.
Baca juga: Agenda Pameran Seni Rupa November 2024, Ada Flaneur & Jendela Marida Nasution
Menimbang sejumlah karya yang dipamerkan dalam Jakarta Biennale yang berlangsung hingga 15 November 2024, itu genhype sepertinya diajak untuk memaknai ulang bagaimana karya seni disajikan. Ada keterlibatan dengan publik, serta interaksi yang muncul dan tumbuh selama perhelatan berlangsung, meski untuk menyerap semuanya membutuhkan energi yang tidak sedikit.
Jika ada kritik yang perlu ada, adalah menempatkan kesejajaran atau standardisasi dalam menumbuhkan proses aktualisasi karya antara satu dengan kolektif lain. Sebab, sebagai sebuah metode baru, dengan hadirnya puluhan kolektif di Majelis Jakarta, ada kemungkinan besar mereka memiliki gap, karena ada kolektif yang sudah lama tumbuh (mapan), dengan kolektif-kolektif baru yang masih berbiji tunas.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.