Cek 5 Karya Seni Unik di Jakarta Biennale 2024, Ada Pohon Cerita & Telusur Warna Purba
02 October 2024 |
15:30 WIB
Genhype penikmat seni di Tanah Air ada kabar gembira nih. Pasalnya gelaran seni rupa 2 tahunan, Jakarta Biennale kembali dihelat di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Seteleng akbar ini memacak ratusan karya seni rupa dari berbagai kolektif seni di Tanah Air pada 1 Oktober sampai 15 November 2024.
Menjadi gelaran untuk memeringati 50 tahun Jakarta Biennale, kali ini perhelatan yang dimulai sejak 1974 itu dijalankan oleh 20 kolektif dan entitas seni di Jakarta yang tergabung dalam Majelis Jakarta. Bahkan, mereka juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak termasuk dengan kurator dan seniman asal Taiwan.
Menggunakan metode yang dibingkai dalam konsep Lumbung, Jakarta Biennale menyajikan karya-karya kolaboratif dari setidaknya 60 perupa dan kolektif dari enam negara di Asia Tenggara. Program dari acara ini juga memiliki beberapa sub program, seperti Herbal-Urbanism, Whose City, dan Mobile Topography, dan The Valley of Hope.
Baca juga: Setengah Abad Jakarta Biennale & Metode Lumbung sebagai Kerja Kolektif Seniman
Berto Tukan, perwakilan dari Yayasan Biennale Lingkar Kota mengatakan, metode kerja lumbung digunakan untuk mendorong pembagian sumber daya dan kuasa kepada sejumlah kolektif di berbagai wilayah di Jakarta. Kerja kolektif ini diharap bisa terus bertumbuh, baik dalam ruang pamer, hingga jejaring dengan seniman lain di dalam dan luar negeri.
"Kita membayangkan ini merupakan program kerja artistik yang terus bergulir, yang nantinya bakal ada puncak-puncak perayaannya. Metode ini juga ingin memberi ruang pada berbagai kolektif seni agar lebih inklusif bagi semua orang," katanya.
Lantas, seperti apa citraan visual yang dihadirkan puluhan kolektif seniman itu dalam pameran ini? Dihimpun Hypeabis.id dari media preview, berikut lima di antaranya yang dapat menjadi alasan untuk kalian segera berkunjung ke Jakarta Biennale 2024:
Tepung-Pa-Tepung merupakan instalasi yang tercipta dari proses membaca pertemuan menjadi temuan saat Nani Nurhayati melakukan residensi di Pekanbaru, Riau. Perupa asal Majalengka, Jawa Barat itu mencoba menyusun ingatan selama di sana, mengenai kondisi ekologis setempat, hingga metafora tentang pengobatan tradisional di Riau.
Lewat karya ini, Nani seolah menggelontorkan proses dialog antara dirinya dengan warga sekitar, yang diejawantahkan dalam pepunden seserahan. Yaitu lewat hamparan piring berisi tepung berwarna kuning, hingga aksara-aksara Arab yang dilukiskan di atas pelat bergelombang. Hasilnya adalah suasana magis sekaligus kontras.
Merupakan instalasi karya Widi Asari dan Komunitas KAHE yang mencoba menggali ingatan anak-anak lelaki di Flores, Nusa Tenggara Timur terhadap sosok ibu mereka. Khususnya tentang selembar kain tenun yang bisa diberikan sang ibu sebelum si buah hati pergi merantau, atau bagaimana mereka dididik untuk mengenal feminisme.
Widi, adalah seniman dari Bandung yang menelusuri cerita personal Kain Mama, dan nilai budaya dalam konteks kota dan pasar. Dalam residensi bersama kolektif Baku Konek, sang seniman mencoba membuat motif tenun berdasarkan ingatan teman-teman KAHE untuk mengenang impresi apa yang mereka ingat saat pertama kali membayangkan ibu dengan mata tertutup.
Hasilnya adalah sebuah dokumentasi video, rajutan tenun dengan pola yang digambar oleh partisipator, dan bentangan kain tenun yang belum selesai dirajut. Ada juga arsip proses Widi, baik dalam bentuk tulisan tangan, hingga gulungan benang wol yang ditempelkan di atas arsip tersebut, yang ingin mempresentasikan kerja yang belum selesai?
Adalah karya yang cukup eksperimental meski media yang dihamparkan terbilang sederhana. Karya Gandhi Eka dan Riwanua ini mencoba menelusuri medium dan teknik yang digunakan oleh manusia purba dalam mencampur warna sekaligus menggambar di dinding-dinding gua prasejarah.
Selain mengenalkan ilmu arkeologi lewat seni rupa, eksperimen ini juga menunjukkan betapa pentingnya untuk kembali memanfaatkan bahan-bahan lokal yang tetap bertahan hingga kini. Proyek ini juga memiliki tujuan untuk preservasi dari kolektif dan seniman tersebut terhadap keberlangsungan situs-situs prasejarah di Tanah Air.
Menggunakan media kain perca, dan bahan daur ulang lain, instalasi ini merupakan karya dari kolektif Setali. Gamam Lambung, Ganar Layung mengimak lanskap laut dan berbagai biota di dalamnya, dengan memintal, menjalin, mengikat, dan memiuh kain perca hingga membentuk citraan alam bawah laut yang bebas dari sampah.
Perca kain yang dianyam seolah merepresentasikan tentang keseimbangan segala esensi dalam laut, seperti karang, garam, dan ikan-ikan. Sebuah tempat yang mereka jadikan rumah, dan jauh dari pemahaman kita sebagai manusia, yang menjadi mahluk hidup nomor satu bagi perusak kehidupan di bumi dan alam semesta.
Karya interaktif yang terus bertumbuh lewat partisipasi publik ini juga perlu untuk dikunjungi di Jakarta Biennale. Buah tangan Komunitas Paseban ini menghadirkan satu batang pohon kering yang meranggas dengan berbagai tanaman hijau di bawahnya, yang mengingatkan kita akan krisis iklim yang semakin meruyak.
Berangkat dari momen itulah, Komunitas Paseban mengajak publik untuk berbagi cerita dan memintal pesan dengan menulis kegelisahan mereka di selembar kertas berbentuk hati. Arkian, pesan-pesan tersebut akan digantungkan di cecabang ranting, sebagai bentuk pesan baru agar terus menjaga dan merawat alam yang dipijak.
Baca juga: 5 Pameran Seni Rupa Oktober 2024: Art The Fact 3.0 hingga View Finder ROH Projects
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Menjadi gelaran untuk memeringati 50 tahun Jakarta Biennale, kali ini perhelatan yang dimulai sejak 1974 itu dijalankan oleh 20 kolektif dan entitas seni di Jakarta yang tergabung dalam Majelis Jakarta. Bahkan, mereka juga berkolaborasi dengan sejumlah pihak termasuk dengan kurator dan seniman asal Taiwan.
Menggunakan metode yang dibingkai dalam konsep Lumbung, Jakarta Biennale menyajikan karya-karya kolaboratif dari setidaknya 60 perupa dan kolektif dari enam negara di Asia Tenggara. Program dari acara ini juga memiliki beberapa sub program, seperti Herbal-Urbanism, Whose City, dan Mobile Topography, dan The Valley of Hope.
Baca juga: Setengah Abad Jakarta Biennale & Metode Lumbung sebagai Kerja Kolektif Seniman
Berto Tukan, perwakilan dari Yayasan Biennale Lingkar Kota mengatakan, metode kerja lumbung digunakan untuk mendorong pembagian sumber daya dan kuasa kepada sejumlah kolektif di berbagai wilayah di Jakarta. Kerja kolektif ini diharap bisa terus bertumbuh, baik dalam ruang pamer, hingga jejaring dengan seniman lain di dalam dan luar negeri.
"Kita membayangkan ini merupakan program kerja artistik yang terus bergulir, yang nantinya bakal ada puncak-puncak perayaannya. Metode ini juga ingin memberi ruang pada berbagai kolektif seni agar lebih inklusif bagi semua orang," katanya.
Lantas, seperti apa citraan visual yang dihadirkan puluhan kolektif seniman itu dalam pameran ini? Dihimpun Hypeabis.id dari media preview, berikut lima di antaranya yang dapat menjadi alasan untuk kalian segera berkunjung ke Jakarta Biennale 2024:
1. Tepung-Pa-Tepung (2024)
Karya Tepung-Pa-Tepung di Jakarta Biennale 2024 (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Tepung-Pa-Tepung merupakan instalasi yang tercipta dari proses membaca pertemuan menjadi temuan saat Nani Nurhayati melakukan residensi di Pekanbaru, Riau. Perupa asal Majalengka, Jawa Barat itu mencoba menyusun ingatan selama di sana, mengenai kondisi ekologis setempat, hingga metafora tentang pengobatan tradisional di Riau.
Lewat karya ini, Nani seolah menggelontorkan proses dialog antara dirinya dengan warga sekitar, yang diejawantahkan dalam pepunden seserahan. Yaitu lewat hamparan piring berisi tepung berwarna kuning, hingga aksara-aksara Arab yang dilukiskan di atas pelat bergelombang. Hasilnya adalah suasana magis sekaligus kontras.
2. Ingatan Kain Mama (2024)
Seorang pengunjung beserta anaknya berdiri di depan karya Ingatan Kain Mama di Jakarta Biennale pada Selasa (1/10/24). (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Merupakan instalasi karya Widi Asari dan Komunitas KAHE yang mencoba menggali ingatan anak-anak lelaki di Flores, Nusa Tenggara Timur terhadap sosok ibu mereka. Khususnya tentang selembar kain tenun yang bisa diberikan sang ibu sebelum si buah hati pergi merantau, atau bagaimana mereka dididik untuk mengenal feminisme.
Widi, adalah seniman dari Bandung yang menelusuri cerita personal Kain Mama, dan nilai budaya dalam konteks kota dan pasar. Dalam residensi bersama kolektif Baku Konek, sang seniman mencoba membuat motif tenun berdasarkan ingatan teman-teman KAHE untuk mengenang impresi apa yang mereka ingat saat pertama kali membayangkan ibu dengan mata tertutup.
Hasilnya adalah sebuah dokumentasi video, rajutan tenun dengan pola yang digambar oleh partisipator, dan bentangan kain tenun yang belum selesai dirajut. Ada juga arsip proses Widi, baik dalam bentuk tulisan tangan, hingga gulungan benang wol yang ditempelkan di atas arsip tersebut, yang ingin mempresentasikan kerja yang belum selesai?
3. Telusur Warna Purbakala (2024)
Karya Telusur Warna Purbakala (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Adalah karya yang cukup eksperimental meski media yang dihamparkan terbilang sederhana. Karya Gandhi Eka dan Riwanua ini mencoba menelusuri medium dan teknik yang digunakan oleh manusia purba dalam mencampur warna sekaligus menggambar di dinding-dinding gua prasejarah.
Selain mengenalkan ilmu arkeologi lewat seni rupa, eksperimen ini juga menunjukkan betapa pentingnya untuk kembali memanfaatkan bahan-bahan lokal yang tetap bertahan hingga kini. Proyek ini juga memiliki tujuan untuk preservasi dari kolektif dan seniman tersebut terhadap keberlangsungan situs-situs prasejarah di Tanah Air.
4. Gamam Lambung, Ganar Layung (2023-2024)
Karya Gamam Lambung, Ganar Layung. (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Perca kain yang dianyam seolah merepresentasikan tentang keseimbangan segala esensi dalam laut, seperti karang, garam, dan ikan-ikan. Sebuah tempat yang mereka jadikan rumah, dan jauh dari pemahaman kita sebagai manusia, yang menjadi mahluk hidup nomor satu bagi perusak kehidupan di bumi dan alam semesta.
5. Pohon Cerita (2024)
Dua orang pengunjung berinteraksi dan memsang daun pesan dalam karya Pohin Cerita di Jakarta Biennale pada Selasa (1/10/24). (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Berangkat dari momen itulah, Komunitas Paseban mengajak publik untuk berbagi cerita dan memintal pesan dengan menulis kegelisahan mereka di selembar kertas berbentuk hati. Arkian, pesan-pesan tersebut akan digantungkan di cecabang ranting, sebagai bentuk pesan baru agar terus menjaga dan merawat alam yang dipijak.
Baca juga: 5 Pameran Seni Rupa Oktober 2024: Art The Fact 3.0 hingga View Finder ROH Projects
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.