Gunung Fuji Tak Bersalju untuk Pertama Kalinya dalam 130 Tahun Akibat Cuaca Panas
02 November 2024 |
20:45 WIB
Gunung tertinggi di Jepang, Gunung Fuji, dilaporkan masih belum memiliki salju hingga awal November. Kejadian itu memecahkan rekor 130 tahun, ketika salju sudah mulai tampak di puncak gunung pada minggu pertama Oktober, sekaligus menandakan musim dingin telah dimulai.
Tahun lalu, salju sudah mulai terdeteksi di arena puncak gunung berapi aktif ini tepat pada 5 Oktober 2023. Menurut prakirawan cuaca di Kofu Local Meteorological Office, Yutaka Katsuta, cuaca yang hangat telah mencegah turunnya salju pada tahun ini.
Fenomena langka itu membuat tanggal terlama gunung itu tidak memiliki salju sejak perbandingan data dicatat pada 1894. Rekor sebelumnya terjadi pada 1955 dan 2016, ketika hujan salju baru pertama kali turun pada 26 Oktober.
"Karena suhu tinggi di Jepang terus berlanjut sejak musim panas, hal itu menyebabkan tidak ada salju yang turun [di gunung Fuji],” ujar Katsuta dikutip dari Futurism Sabtu (02/11/2024).
Baca juga: 7 Tips Tetap Nyaman Beraktivitas di Tengah Cuaca Panas
Dia juga mengatakan perubahan iklim mungkin berdampak pada lambatnya pembentukan lapisan salju. Meski begitu, salju diperkirakan turun pada minggu pertama bulan ini. Menurut Japan Weather Association, hujan kemungkinan turun sementara di dekat Gunung Fuji pada 6 November 2024.
Berdasarkan prediksi cuaca tersebut, udara dingin diperkirakan masuk dan menyebabkan perubahan dari hujan menjadi salju di dekat puncak gunung. Cuaca diperkirakan perlahan-lahan cerah kembali. Oleh sebab itu, salju pertama di Gunung Fuji diprediksi bakal terlihat pada 7 November pagi hari waktu setempat.
Jika perkiraan ini benar, maka rekor akan terlampaui selama sembilan hari, sebuah perubahan iklim yang tidak bisa dianggap hanya sekadar kesalahan pembulatan data.
Jepang mencatat musim panas terpanas sejak data serupa mulai dilacak pada 1898, menyamai rekor yang dibuat pada tahun 2023, kata badan cuaca pada hari Senin. Suhu rata-rata dalam periode tiga bulan musim panas dari Juni hingga Agustus adalah 1,76 C lebih tinggi, dibandingkan rata-rata yang tercatat antara 1991 dan 2020, kata Badan Meteorologi Jepang.
Badan tersebut menggunakan 15 titik observasi untuk menghitung suhu rata-rata negara tersebut. Titik-titik yang dipilih tidak termasuk daerah-daerah seperti titik panas perkotaan, yang lebih mungkin terkena dampak lingkungan.
Analisis dari kelompok penelitian Climate Central juga mengatakan lebih dari 120 juta orang di Jepang mengalami panas yang tidak biasa pada minggu pertama bulan Oktober, akibat perubahan iklim yang setidaknya 3 kali lebih mungkin disebabkan oleh manusia.
Penelitian itu membandingkan kemungkinan terjadinya suhu tertentu di dunia yang bebas dari emisi karbon manusia dengan dunia saat ini, di mana emisi karbon telah menumpuk di atmosfer selama beberapa dekade.
Metode itu merupakan pendekatan ilmiah yang sudah terbukti efektif untuk menilai dampak perubahan iklim terhadap frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem. Dengan cara ini, para peneliti dapat mengukur seberapa besar pengaruh aktivitas manusia, terutama dalam hal emisi karbon, terhadap fenomena cuaca yang ekstrem dan tidak biasa.
Baca juga: Summer Home, Eskapisme Asyik di Musim Panas
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Tahun lalu, salju sudah mulai terdeteksi di arena puncak gunung berapi aktif ini tepat pada 5 Oktober 2023. Menurut prakirawan cuaca di Kofu Local Meteorological Office, Yutaka Katsuta, cuaca yang hangat telah mencegah turunnya salju pada tahun ini.
Fenomena langka itu membuat tanggal terlama gunung itu tidak memiliki salju sejak perbandingan data dicatat pada 1894. Rekor sebelumnya terjadi pada 1955 dan 2016, ketika hujan salju baru pertama kali turun pada 26 Oktober.
"Karena suhu tinggi di Jepang terus berlanjut sejak musim panas, hal itu menyebabkan tidak ada salju yang turun [di gunung Fuji],” ujar Katsuta dikutip dari Futurism Sabtu (02/11/2024).
Baca juga: 7 Tips Tetap Nyaman Beraktivitas di Tengah Cuaca Panas
Dia juga mengatakan perubahan iklim mungkin berdampak pada lambatnya pembentukan lapisan salju. Meski begitu, salju diperkirakan turun pada minggu pertama bulan ini. Menurut Japan Weather Association, hujan kemungkinan turun sementara di dekat Gunung Fuji pada 6 November 2024.
Berdasarkan prediksi cuaca tersebut, udara dingin diperkirakan masuk dan menyebabkan perubahan dari hujan menjadi salju di dekat puncak gunung. Cuaca diperkirakan perlahan-lahan cerah kembali. Oleh sebab itu, salju pertama di Gunung Fuji diprediksi bakal terlihat pada 7 November pagi hari waktu setempat.
Jika perkiraan ini benar, maka rekor akan terlampaui selama sembilan hari, sebuah perubahan iklim yang tidak bisa dianggap hanya sekadar kesalahan pembulatan data.
Jepang mencatat musim panas terpanas sejak data serupa mulai dilacak pada 1898, menyamai rekor yang dibuat pada tahun 2023, kata badan cuaca pada hari Senin. Suhu rata-rata dalam periode tiga bulan musim panas dari Juni hingga Agustus adalah 1,76 C lebih tinggi, dibandingkan rata-rata yang tercatat antara 1991 dan 2020, kata Badan Meteorologi Jepang.
Badan tersebut menggunakan 15 titik observasi untuk menghitung suhu rata-rata negara tersebut. Titik-titik yang dipilih tidak termasuk daerah-daerah seperti titik panas perkotaan, yang lebih mungkin terkena dampak lingkungan.
Analisis dari kelompok penelitian Climate Central juga mengatakan lebih dari 120 juta orang di Jepang mengalami panas yang tidak biasa pada minggu pertama bulan Oktober, akibat perubahan iklim yang setidaknya 3 kali lebih mungkin disebabkan oleh manusia.
Penelitian itu membandingkan kemungkinan terjadinya suhu tertentu di dunia yang bebas dari emisi karbon manusia dengan dunia saat ini, di mana emisi karbon telah menumpuk di atmosfer selama beberapa dekade.
Metode itu merupakan pendekatan ilmiah yang sudah terbukti efektif untuk menilai dampak perubahan iklim terhadap frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem. Dengan cara ini, para peneliti dapat mengukur seberapa besar pengaruh aktivitas manusia, terutama dalam hal emisi karbon, terhadap fenomena cuaca yang ekstrem dan tidak biasa.
Baca juga: Summer Home, Eskapisme Asyik di Musim Panas
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.