Review Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis & Kisah-Kisah Trauma Antar Generasi
18 October 2024 |
14:16 WIB
1
Like
Like
Like
Yang banyak berkesan dari film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis rupanya adalah bagaimana Surya Saputra mengeksekusi karakter Pras, Dominique Sanda menghidupkan karakter Devi, dan Prilly Latuconsina memberi warna gelap pada karakter Tari.
Seni peran dari Surya Saputra tentu saja amat matang. Dia bisa memoles karakter Pras, seorang bapak yang kasar, dengan kedalaman yang meyakinkan. Bahkan, ketika hanya suaranya atau bayangannya saja yang muncul, keberadaannya sudah sangat meneror.
Baca juga: Angkat Isu Ortu Abusive, Riset Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis Gandeng Komnas Perempuan
Dalam sebuah adegan, Tari yang telah menutup pintu kamarnya tiba-tiba terbelalak. Dia hanya bisa memeluk guling atau memegang akurium kecil berisi ikan kesayangannya, untuk meredakan rasa takut, ketika orang tuanya, yakni Pras dan Devi, sedang bertengkar.
Dia tak melihat langsung keduanya orang tuanya berselisih. Hanya dari bayangan juga suara, dari bawah pintu kamar. Namun, situasinya yang mengerikan dan traumatis menembus batas itu, meski hanya lewat suara atau bayangan saja.
Akting Dominique sebagai Devi juga menawan. Wajahnya yang datar sepanjang film, yang selalu berusaha menunjukkan semua baik-baik saja, menjadi modal apik menghidupkan karakter korban tindakan abusive.
Gerak-geriknya, caranya berbicara dengan suami maupun anak, seperti menggambarkan situasi mati rasa dan tak berdaya. Devi seolah hanya benar-benar berharap munculnya keajaiban agar sang suami mau berubah.
Karakter Tari yang dimainkan oleh Prilly Latuconsina pun menjadi satu-satunya harapan, juga penggerak alur cerita. Karakter ini merupakan seorang anak perempuan yang mengalami kekerasan verbal dan fisik dari ayahnya sejak kecil.
Tari pun tumbuh dengan masa kecil yang penuh luka batin, yang terus dibawa hingga dewasa. Kakaknya, sebagai orang senasib dengannya, sudah pergi meninggalkan rumah. Dia kini sendirian mencoba memecahkan masalah.
Perlakuan abusive dari ayahnya membuatnya tumbuh jadi pribadi yang rendah diri, people pleaser, dan sulit mengutarakan isi hati. Tak hanya di rumah, hal tersebut pun sampai terbawa ke pekerjaan, yang membuatnya banyak mengerjakan jobdesk di luar bidangnya.
Hingga suatu ketika, Prilly menemukan support group. Ini adalah wadah bagi sekelompok orang yang berkumpul secara teratur, saling mendukung, berbagai pengalaman, dan inspirasi. Meski bersifat informal, kelompok ini biasanya dipimpin oleh profesional.
Dari sini, sutradara Reka Wijaya kemudian menjahit cerita demi cerita menuju konflik yang lebih besar, sebelum akhirnya sampai ke konklusi.
Sebagai film yang mengangkat isu kesehatan mental, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis banyak memasukkan aspek-aspek penting. Film ini memberi gambaran yang menarik tentang fenomena keluarga abusive.
Keluarga, lini terkecil dari masyarakat, kerap kali menjadi wadah yang selalu dianggap aman atau bahkan sumber kebenaran. Hal ini kerap membuat sejumlah orang bias menilai tindakan ‘kekerasan’ atau ‘rasa sayang’.
Film ini meramu topik itu dengan baik. Gambaran situasi yang mencekam di film ini juga ditambah dengan metafora yang apik. Karakter Tari dan Devi kerap kali dibingkai persektif ruang yang asyik.
Misalnya, ketika dua karakter ini baru mendapat tindakan abusive, kamera sering memainkan teknik foreground berupa jendela kamar, yang bentuknya mirip seperti sebuah penjara.
Sesekali, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis juga memberi satire soal fatherless dan patriarki dengan cara yang unik. Selain itu, film ini juga bisa menjadi petunjuk soal banyaknya alternatif layanan bantuan maupun cara melepas trauma, misalnya lewat support group.
Namun, yang paling seru adalah bagaimana film ini diakhiri. Dalam 15 menit terakhirnya, film ini dituntaskan dengan penggambaran adegan yang terbaik. Emosi Prilly dan Surya Saputra tumpah ruah. Film ini pun menawarkan banyak perspektif baru, termasuk soal trauma antar generasi yang mesti diputus.
Kendati demikian, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis juga tak lepas dari kritik. Salah satunya ialah perihal cerita berlayer yang coba dimunculkan. Eksplorasi cerita-cerita sampingan itu tampak kurang dalam dan terkesan apa adanya.
Misalnya, pada karakter Baskara yang diperankan Dikta Wicaksono. Kemunculannya di kehidupan Tari memang memberi kesan menarik, yang kemudian menyelipkan sisi romansa di tengah tema-tema gelap.
Namun, film ini rupanya juga ingin menghadirkan Baskara ke putaran konflik yang mirip soal kesehatan mental. Sayangnya, porsi dan cara berceritanya justru membuatnya jadi seperti angin lalu. Padahal, karakter Baskara ini juga diberi slot penyelesaian konflik. Namun, karena tak cukup oke dalam membangun emosinya, penyelesaian yang terjadi pun juga jadi angin lalu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Seni peran dari Surya Saputra tentu saja amat matang. Dia bisa memoles karakter Pras, seorang bapak yang kasar, dengan kedalaman yang meyakinkan. Bahkan, ketika hanya suaranya atau bayangannya saja yang muncul, keberadaannya sudah sangat meneror.
Baca juga: Angkat Isu Ortu Abusive, Riset Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis Gandeng Komnas Perempuan
Dalam sebuah adegan, Tari yang telah menutup pintu kamarnya tiba-tiba terbelalak. Dia hanya bisa memeluk guling atau memegang akurium kecil berisi ikan kesayangannya, untuk meredakan rasa takut, ketika orang tuanya, yakni Pras dan Devi, sedang bertengkar.
Dia tak melihat langsung keduanya orang tuanya berselisih. Hanya dari bayangan juga suara, dari bawah pintu kamar. Namun, situasinya yang mengerikan dan traumatis menembus batas itu, meski hanya lewat suara atau bayangan saja.
Akting Dominique sebagai Devi juga menawan. Wajahnya yang datar sepanjang film, yang selalu berusaha menunjukkan semua baik-baik saja, menjadi modal apik menghidupkan karakter korban tindakan abusive.
Gerak-geriknya, caranya berbicara dengan suami maupun anak, seperti menggambarkan situasi mati rasa dan tak berdaya. Devi seolah hanya benar-benar berharap munculnya keajaiban agar sang suami mau berubah.
Karakter Tari yang dimainkan oleh Prilly Latuconsina pun menjadi satu-satunya harapan, juga penggerak alur cerita. Karakter ini merupakan seorang anak perempuan yang mengalami kekerasan verbal dan fisik dari ayahnya sejak kecil.
Tari pun tumbuh dengan masa kecil yang penuh luka batin, yang terus dibawa hingga dewasa. Kakaknya, sebagai orang senasib dengannya, sudah pergi meninggalkan rumah. Dia kini sendirian mencoba memecahkan masalah.
Perlakuan abusive dari ayahnya membuatnya tumbuh jadi pribadi yang rendah diri, people pleaser, dan sulit mengutarakan isi hati. Tak hanya di rumah, hal tersebut pun sampai terbawa ke pekerjaan, yang membuatnya banyak mengerjakan jobdesk di luar bidangnya.
Hingga suatu ketika, Prilly menemukan support group. Ini adalah wadah bagi sekelompok orang yang berkumpul secara teratur, saling mendukung, berbagai pengalaman, dan inspirasi. Meski bersifat informal, kelompok ini biasanya dipimpin oleh profesional.
Dari sini, sutradara Reka Wijaya kemudian menjahit cerita demi cerita menuju konflik yang lebih besar, sebelum akhirnya sampai ke konklusi.
Sebagai film yang mengangkat isu kesehatan mental, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis banyak memasukkan aspek-aspek penting. Film ini memberi gambaran yang menarik tentang fenomena keluarga abusive.
Keluarga, lini terkecil dari masyarakat, kerap kali menjadi wadah yang selalu dianggap aman atau bahkan sumber kebenaran. Hal ini kerap membuat sejumlah orang bias menilai tindakan ‘kekerasan’ atau ‘rasa sayang’.
Film ini meramu topik itu dengan baik. Gambaran situasi yang mencekam di film ini juga ditambah dengan metafora yang apik. Karakter Tari dan Devi kerap kali dibingkai persektif ruang yang asyik.
Misalnya, ketika dua karakter ini baru mendapat tindakan abusive, kamera sering memainkan teknik foreground berupa jendela kamar, yang bentuknya mirip seperti sebuah penjara.
Sesekali, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis juga memberi satire soal fatherless dan patriarki dengan cara yang unik. Selain itu, film ini juga bisa menjadi petunjuk soal banyaknya alternatif layanan bantuan maupun cara melepas trauma, misalnya lewat support group.
Namun, yang paling seru adalah bagaimana film ini diakhiri. Dalam 15 menit terakhirnya, film ini dituntaskan dengan penggambaran adegan yang terbaik. Emosi Prilly dan Surya Saputra tumpah ruah. Film ini pun menawarkan banyak perspektif baru, termasuk soal trauma antar generasi yang mesti diputus.
Kendati demikian, Bolehkah Sekali Saja Kumenangis juga tak lepas dari kritik. Salah satunya ialah perihal cerita berlayer yang coba dimunculkan. Eksplorasi cerita-cerita sampingan itu tampak kurang dalam dan terkesan apa adanya.
Misalnya, pada karakter Baskara yang diperankan Dikta Wicaksono. Kemunculannya di kehidupan Tari memang memberi kesan menarik, yang kemudian menyelipkan sisi romansa di tengah tema-tema gelap.
Namun, film ini rupanya juga ingin menghadirkan Baskara ke putaran konflik yang mirip soal kesehatan mental. Sayangnya, porsi dan cara berceritanya justru membuatnya jadi seperti angin lalu. Padahal, karakter Baskara ini juga diberi slot penyelesaian konflik. Namun, karena tak cukup oke dalam membangun emosinya, penyelesaian yang terjadi pun juga jadi angin lalu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.