Seorang pengunjung sedang menikmati instalasi Kincia Aia: Malenong M(A)so karya Rani Jambak. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny K)

Seniman Rani Jambak Bawa Keresahan tentang Alam lewat Kinci Aia di ICAD 2024

10 October 2024   |   21:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Ada satu karya instalasi menarik yang hadir di pameran Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD). Instalasi musik itu menghasilkan irama yang digerakkan oleh kincir angin, serta beberapa bilah balok kayu yang menghentak-hentak ke tanah beralaskan jerami.
 
Di tengahnya terdapat beberapa talempong, alat musik pukul tradisional khas Minangkabau. Oleh sang seniman, Rani Jambak, instalasi ini diberi judul Kincia Aia: Malenong M(A)so.
 
Karya ini merupakan instalasi yang interaktif. Publik bisa 'meracik' musik sendiri sesuai dengan keinginan dan intuisi masing-masing. Beberapa alu-alu yang terbuat dari kayu balok bisa ditutup-buka untuk menghasilkan bunyian ketukan. 

Baca Juga: ICAD 2024 Resmi Dibuka, Hadirkan Karya dari 75 Seniman & Desainer
 
Irama yang dihasilkan juga bisa diatur dengan beberapa tombol yang telah disediakan, yang terdiri dari berbagai instrumen tradisional Minangkabau.
 
Selain itu, dengan menggunakan teknologi sensorik, talempong juga bisa dibunyikan yang akan menghasilkan beragam suara, mulai dari gemricik air hingga bunyi talempong itu sendiri.
 

Seorang pengunjung sedang menikmati instalasi Kincia Aia: Malenong M(A)so karya Rani Jambak. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny K)

Instalasi Kincia Aia: Malenong M(A)so karya Rani Jambak. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny K)

Karya instalasi musik ini sebenarnya bentuk ungkapan keresahan Rani Jambak terhadap kondisi lingkungan yang kian krisis. Replika kincir air yang menjadi elemen utama karya terinspirasi dari keberadaan kinci aia yang mulai jarang ditemukan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
 
Pada masyarakat Minangkabau tradisional, kincir air digunakan untuk membantu pengairan di irigasi persawahan. Namun, selama beberapa tahun belakang, keberadaan kincir air semakin sulit ditemukan, seiring banyaknya sungai yang mulai mengering.
 
"Karena selama saya riset membuat kincir air ini, saya juga sangat sulit untuk menemukan sungai dengan arus deras yang bisa dimanfaatkan untuk memutar kincir," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id di Jakarta, Rabu (9/10/2024).
 
Kincir air menjadi teknologi multifungsi di Minangkabau sejak ratusan tahun silam. Saat keberadaan kincia di ambang kepunahan, Rani Jambak pun menjadikannya sebagai inspirasi dalam mengeksplorasi musik sekaligus media menyuarakan kegelisahan terhadap kondisi alam.
 
"Menurut saya menjadi hal yang sangat krusial kenapa ini tidak hadir lagi di masyarakat Minangkabau. Dua alasannya yang kemungkinan besar menjadi alasan adalah perkembangan teknologi, dan juga keadaan lingkungan," kata komposer kelahiran 1992 itu.
 
Di samping untuk menyuarakan keresahannya, karya ini juga dibuat Rani untuk memperkenalkan kepada publik tentang kinci aia yang menjadi teknologi leluhur untuk menjaga ketahanan pangan mereka sejak ratusan tahun silam. Rani ingin merayakan hasil pemikiran leluhur yang menurutnya masih relevan untuk kondisi hari ini.
 
"Artinya saya secara pribadi merayakan kecerdasan leluhur Minangkabau. Ini juga kekayaan kebudayaan yang kita miliki. Menurut saya kalau tidak kita orang-orang muda siapa lagi yang akan mengingat kekayaan kecerdasan leluhur," ucapnya.
 

Seniman Rani Jambak. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Seniman Rani Jambak. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Karya instalasi ini pertama kali dibuat oleh Rani saat dia mengikuti residensi virtual yang diadakan oleh British Council pada 2022. Lewat karya Kinci Aia ini, dia mencoba menghubungkan sejarah kota Huddersfield yang menurutnya sukses mengembalikan dan menjaga kondisi sungai yang sempat tercemar, dengan sejarah Kinci Aia di Minangkabau. 
 
"Jadi dalam residensi itu saya akhirnya membuat instrumen ini dan kemudian dipresentasikan secara publik. Saya mengharapkan kehadiran Kinci Air di dalam pameran ini sebagai refleksi kita kepada apa yang kita lakukan terhadap alam. Artinya ketidakhadiran Kinci Air di masyarakat menjadi tanda bahwa alam kita sedang tidak baik-baik saja," katanya.
 
Instalasi Kinci Aia hanyalah satu dari 75 karya yang hadir di ICAD 2024. Menjadi edisi yang ke-14, ICAD tahun ini dibuka untuk publik selama satu bulan, mulai 10 Oktober hingga 10 November 2024 di hotel Grandkemang, Jakarta Selatan.
 
ICAD merupakan pameran seni dan desain yang menjembatani berbagai disiplin ilmu, dari fesyen, film, perhotelan, teknologi, makanan, minuman, dan masih banyak lagi.
 
Digelar sejak 2009, ICAD bertujuan untuk menjembatani seni dan desain lebih dekat dengan masyarakat luas, dengan menciptakan pengalaman unik dalam melihat karya seni yang merespons ruang hotel. 
 
ICAD 2024 menghadirkan karya-karya dari 74 partisipan yang terbagi menjadi tujuh kategori, yakni Special Appearance Tribute, Special Appearance Region, In Focus, Featured, Special Zone, Collaboration, dan Open Call. Adapun, seluruh karya tersebut ditampilkan dan disebar ke dalam empat zona berbeda.
 
Tidak hanya memamerkan karya-karya terbaik dari para seniman dan desainer, ICAD 2024 juga akan menggelar berbagai program aktivasi setiap harinya selama pameran berlangsung, meliputi Performance Art, Interactive Activity, Workshop, Public Lecture, dan Talks, yang akan diisi oleh sejumlah seniman partisipan dan narasumber lainnya.
 
Baca Juga: Seniman Sogik Primayoga: Bernyali Menapaki Jalan Seni 

Editor: M. Taufikul Basari

SEBELUMNYA

Apa Itu Doom Spending, Fenomena Keuangan yang Menghantui Generasi Muda

BERIKUTNYA

Ada Jakarta Running Festival 12-13 Oktober, Cek Info Lalin Sekitar Sudirman & GBK

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: