Kiprah Sabar Subadri, Seniman Tunadaksa dengan Segudang Karya
25 September 2024 |
16:33 WIB
Nama Sabar Subadri dalam dunia seni rupa bukanlah kaleng-kaleng. Keterbatasan fisik tidak menghambatnya mengolah ekspresi lewat purwarupa warna di atas kanvas. Bahkan, Sabar juga piawai menulis indah dengan pena meski lahir sebagai penyandang disabilitas.
Lelaki kelahiran 4 Januari 1979 di Salatiga itu sejak kecil sudah gemar mencoret-coret. Sabar kecil sering menjepit kapur dengan jari-jari kaki lalu menggoreskannya di atas lantai. Kegiatan inilah yang oleh orang tuanya dianggap sebagai bakat alami Sabar.
Syahdan, kegiatan melukis yang dijalani Sabar mulai menarik perhatian publik dan jurnalis. Namanya kemudian terdeteksi oleh perwakilan Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA) di Jakarta lewat majalah Ayah Bunda.
Pada 1988 saat umur Sabar menginjak 10 tahun, dia dipinang untuk menjadi anggota AMFPA. Namun, karena saat itu usianya masih kecil, dia hanya dibantu untuk membeli alat-alat melukis dan belajar pada seniman untuk mengasah kepekaannya pada warna dan teknik melukis.
Baca juga: Kiprah Landung Simatupang, Seniman Gaek yang Setia Menekuni Teater
AMFPA merupakan organisasi internasional yang terdiri dari seniman yang melukis menggunakan mulut atau kaki karena keterbatasan fisik. AMFPA didirikan oleh Erich Stegmann pada 1956, seorang pelukis yang melukis dengan mulut setelah kehilangan penggunaan tangannya akibat penyakit polio.
Sebagai anggota asosiasi pelukis difabel, Sabar punya kewajiban untuk mengirimkan sekitar 12 lukisan dalam setahun ke AMFPA. Lukisan itu kemudian diterbitkan dalam berbagai kartu ataupun katalog dan kalender yang didistribusikan ke 40 negara.
"Setiap tiga bulan sekali aku dikasih uang Rp100.000 oleh publisher. Terus tahun '89 juga diminta menyiapkan 10 karya untuk diikutkan di pameran students member di Bentara Budaya Jakarta. Itu pameran pertama AMFPA Indonesia," kenangnya.
Setelah menjadi anggota asosiasi tersebut, Sabar sudah empat kali melakoni pameran di luar negeri, yakni Taiwan pada 1991, Singapura (2012), dan Wina (Austria) pada 2013, dan Barcelona (2017). Dari hasil stelengnya inilah Sabar kemudian membangun Sanggar Saung Kelir, di Jalan Merak, Klaseman, Kota Salatiga pada 2015.
Perkembangan seni lukisnya juga terus mengalir. Bahkan selama tiga dekade terakhir, bungsu dari tiga bersaudara ini banyak mengeksplorasi media lukis mulai dari cat minyak hingga akrilik. Sebagai pelukis dengan keterbatasannya, dia juga sudah menghasilkan lebih dari 500 lukisan yang sebagian besar dikirimkan ke AMFPA.
"Secara statistik, jumlah lukisannya lumayan meningkat per tahunnya. Beberapa waktu terakhir aku bikin yang besar-besar memang, ini bikin agak lama. Namun kalau kecil-kecil bisa cepat. Bahkan sempat mencapai 20 lukisan waktu pandemi Covid-19," katanya.
Sejauh ini sudah ada dua karya epic yang dilukis oleh Sabar. Salah satunya berjudul Majestic Devotion (acrylic on canvas, 80x100 cm, 2024). Secara umum lukisan ini mengimak sebuah kota yang berdiri di bawah tebing menjulang. Salju menyelimuti gigir jurang, dan sosok perempuan berdiri di atasnya.
Menurut Sabar, lukisan-lukisan epic ini merupakan doa bagi buah hatinya untuk berdaya juang dalam merengkuh hidup. Direncanakan, dia akan membuat 10 seri lukisan mengenai anaknya yang, yang digambarkan berjuang untuk menaiki tebing-tebing curam kehidupan tersebut dengan riang gembira.
"Dan karena ini nanti doaku itu dia sampai di puncak itu. Yang penuh cahaya itu. Dan cahaya itu bukan itu cahaya spiritual yang akan menerangi dunia," katanya sembari menunjukkan makna-makna di balik lukisan terbarunya.
Selain berkarya, Sabar juga membina kelompok pelukis lokal Sepora Art, yang beranggotakan sekitar 13 pelukis muda di Salatiga. Mereka biasanya diajak untuk diskusi dan membuat lukisan yang kemudian dipamerkan bersama secara periodik. Pamerannya di Sanggar Saung Kelir, yang didirikan pada 2015.
Di sanggar itu pula, dia juga membangun rumah baca yang kini sudah memiliki ratusan buku bacaan, dan dibuka setiap hari. Sejauh ini, Sabar juga membebaskan mereka untuk bisa membaca dan belajar di sanggar, tetapi buku yang ada tidak boleh dipinjam atau dibawa pulang.
Baca juga: Pameran Solo Perdana Seniman Thailand Korakrit Arunanondchai Siap Hadir di Museum MACAN
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Lelaki kelahiran 4 Januari 1979 di Salatiga itu sejak kecil sudah gemar mencoret-coret. Sabar kecil sering menjepit kapur dengan jari-jari kaki lalu menggoreskannya di atas lantai. Kegiatan inilah yang oleh orang tuanya dianggap sebagai bakat alami Sabar.
Syahdan, kegiatan melukis yang dijalani Sabar mulai menarik perhatian publik dan jurnalis. Namanya kemudian terdeteksi oleh perwakilan Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA) di Jakarta lewat majalah Ayah Bunda.
Pada 1988 saat umur Sabar menginjak 10 tahun, dia dipinang untuk menjadi anggota AMFPA. Namun, karena saat itu usianya masih kecil, dia hanya dibantu untuk membeli alat-alat melukis dan belajar pada seniman untuk mengasah kepekaannya pada warna dan teknik melukis.
Baca juga: Kiprah Landung Simatupang, Seniman Gaek yang Setia Menekuni Teater
AMFPA merupakan organisasi internasional yang terdiri dari seniman yang melukis menggunakan mulut atau kaki karena keterbatasan fisik. AMFPA didirikan oleh Erich Stegmann pada 1956, seorang pelukis yang melukis dengan mulut setelah kehilangan penggunaan tangannya akibat penyakit polio.
Sebagai anggota asosiasi pelukis difabel, Sabar punya kewajiban untuk mengirimkan sekitar 12 lukisan dalam setahun ke AMFPA. Lukisan itu kemudian diterbitkan dalam berbagai kartu ataupun katalog dan kalender yang didistribusikan ke 40 negara.
"Setiap tiga bulan sekali aku dikasih uang Rp100.000 oleh publisher. Terus tahun '89 juga diminta menyiapkan 10 karya untuk diikutkan di pameran students member di Bentara Budaya Jakarta. Itu pameran pertama AMFPA Indonesia," kenangnya.
Setelah menjadi anggota asosiasi tersebut, Sabar sudah empat kali melakoni pameran di luar negeri, yakni Taiwan pada 1991, Singapura (2012), dan Wina (Austria) pada 2013, dan Barcelona (2017). Dari hasil stelengnya inilah Sabar kemudian membangun Sanggar Saung Kelir, di Jalan Merak, Klaseman, Kota Salatiga pada 2015.
Perkembangan seni lukisnya juga terus mengalir. Bahkan selama tiga dekade terakhir, bungsu dari tiga bersaudara ini banyak mengeksplorasi media lukis mulai dari cat minyak hingga akrilik. Sebagai pelukis dengan keterbatasannya, dia juga sudah menghasilkan lebih dari 500 lukisan yang sebagian besar dikirimkan ke AMFPA.
"Secara statistik, jumlah lukisannya lumayan meningkat per tahunnya. Beberapa waktu terakhir aku bikin yang besar-besar memang, ini bikin agak lama. Namun kalau kecil-kecil bisa cepat. Bahkan sempat mencapai 20 lukisan waktu pandemi Covid-19," katanya.
Eksplorasi Baru
Beberapa waktu terakhir, Sabar juga banyak mengeksplorasi tema-tema baru lewat lukisan epic fantasy, meski sesekali juga membuat lukisan pesanan. Pemilihan pola artistik tersebut dilakukan sejak anak pertamanya, Libri Baudaneswara lahir, dari pernikahan dengan Fahrunnisa pada 2016.Sejauh ini sudah ada dua karya epic yang dilukis oleh Sabar. Salah satunya berjudul Majestic Devotion (acrylic on canvas, 80x100 cm, 2024). Secara umum lukisan ini mengimak sebuah kota yang berdiri di bawah tebing menjulang. Salju menyelimuti gigir jurang, dan sosok perempuan berdiri di atasnya.
Menurut Sabar, lukisan-lukisan epic ini merupakan doa bagi buah hatinya untuk berdaya juang dalam merengkuh hidup. Direncanakan, dia akan membuat 10 seri lukisan mengenai anaknya yang, yang digambarkan berjuang untuk menaiki tebing-tebing curam kehidupan tersebut dengan riang gembira.
"Dan karena ini nanti doaku itu dia sampai di puncak itu. Yang penuh cahaya itu. Dan cahaya itu bukan itu cahaya spiritual yang akan menerangi dunia," katanya sembari menunjukkan makna-makna di balik lukisan terbarunya.
Selain berkarya, Sabar juga membina kelompok pelukis lokal Sepora Art, yang beranggotakan sekitar 13 pelukis muda di Salatiga. Mereka biasanya diajak untuk diskusi dan membuat lukisan yang kemudian dipamerkan bersama secara periodik. Pamerannya di Sanggar Saung Kelir, yang didirikan pada 2015.
Di sanggar itu pula, dia juga membangun rumah baca yang kini sudah memiliki ratusan buku bacaan, dan dibuka setiap hari. Sejauh ini, Sabar juga membebaskan mereka untuk bisa membaca dan belajar di sanggar, tetapi buku yang ada tidak boleh dipinjam atau dibawa pulang.
Baca juga: Pameran Solo Perdana Seniman Thailand Korakrit Arunanondchai Siap Hadir di Museum MACAN
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.