Seorang wanita memperagakan bahasa isyarat (Sumber Gambar: Pexels/ Kevin Malik)

Melodi Bisu Jasa Bahasa Tunarungu

13 March 2024   |   21:00 WIB
Image
Enrich Samuel Mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta

Masih terdapat ketidaksetaraan dalam penyediaan sarana dan fasilitas bagi individu dengan disabilitas, terutama dalam hal akses informasi bagi mereka yang memiliki disabilitas sensorik seperti Tuli, Tunanetra, Tunawicara, dan Rungu Wicara.

Namun, munculnya kegiatan sukarelawan dari berbagai komunitas dan organisasi non-pemerintah menunjukkan kesadaran dan perhatian generasi muda terhadap isu inklusivitas. Hal ini juga membuka peluang baru bagi kebutuhan banyak orang.

Baca juga: 6 Rekomendasi Kedai Kopi Ramah Teman Tuli, Ngopi Sekaligus Belajar Bahasa Isyarat

Salah satu anak muda yang tergerak ini adalah Veronica Artha (25) asal kota Bogor, mulanya Tata tidak tertarik menjadi seorang Juru Bahasa Isyarat. Ketika bergabung bersama komunitas KOMPAK (Kumpulan Orang Mau Pelajari Ajaran Kristus) yang berbasis keagamaan pada 2017 dirinya dilatih untuk berinteraksi dengan seluruh jenis kategori kekhusususan disabilitas.

Tata mengikuti pelatihan selama 1-2 bulan, dan akhirnya tertarik saat melihat sang Founder KOMPAK, berinteraksi dengan teman tuli.

“Tahun 2018, founder membuka pendaftaran untuk anggota KOMPAK yang ingin belajar bahasa isyarat, pelatihan ini ditujukan untuk pelayanan menjembatani teman tuli yang juga ingin beribadah, di titik itulah saya mengambil keputusan untuk ikut dalam pelatihan tersebut” tutur Tata.

Menurutnya saat ini tren Juru Bahasa Isyarat meningkat di sebabkan oleh pandemi COVID-19 yang memperlihatkan eksistensi dari para penyandang disabilitas. Walaupun memang kegiatan Juru Bahasa Isyarat untuk menyokong disabilitas sensorik ini sudah ada sejak dulu.

Sudah berkiprah selama kurang lebih 7 tahun dalam melayani teman-teman disabilitas, Tata menjelaskan bahwa terdapat beberapa pelatihan terbuka secara umum dan dapat diakses oleh teman-teman sekalian yang tertarik dengan profesi menjadi Juru Bahasa Isyarat.

“Karena saya bergerak dalam lingkungan gereja, untuk teman beragama Katolik dapat berlatih melalui komunitas KOMPAK yang sudah ada di hampir semua gereja Katolik wilayah Jabodetabek. Sedangkan bagi teman-teman yang lain bisa melihat di Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat yang berskala nasional,” jelas Tata.

Sampai saat ini, Tata masih aktif berprofesi sebagai Juru Bahasa Isyarat di gereja-gereja dalam niat membantu teman-teman disabilitas. Tata juga beberapa kali membantu dalam acara-acara formal suatu lembaga dengan tarif yang masih beragam namun berada di kisaran Rp 500.000 - Rp 700.000.

Namun, dia justru khawatir dengan teman-teman yang tertarik untuk melakoni profesi JBI hanya berdasarkan rasa FOMO. Sebab apabila seperti itu, hanya akan bertahan sebentar saja dalam pekerjaan ini.
Baginya  pekerjaan ini memiliki tantangan yang sulit dan memerlukan keleluasaan hati yang luas.

“Seorang JBI dituntut untuk selalu update dengan bahasa, walaupun di Indonesia sendiri memiliki 2 tipe Bahasa Isyarat, namum penggunannanya sangat berbeda. Seorang JBI harus bisa menyederhanakan kata, memiliki ekspresi yang sesuai dengan kalimat yang diterjemahkan, sebab tidak semua orang tuli berbahasa isyarat,” jelas Tata.

Menurutnya modal menjadi JBI adalah memiliki rasa untuk melayani, mau belajar, mau dibentuk dan memiliki rasa keiklasan yang besar. Hal ini secara kasar juga memberikan gambaran mengenai tantangan menjadi seorang Juru Bahasa Isyarat.

Pengalaman ini juga dirasakan oleh Nanda yang awal mulanya memeiliki teman tuli saat berkuliah pada 2014. Dia kemudian belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi, serta menjadi relawan enterpreter untuk kegiatan kampus maupun luar kampus.

Hal ini dilanjutkan pada 2016 ketika dirinya bergabung di Pusat Studi dan Layanan Disabilitas untuk mendampingi perkuliahan penyandang disabilitas. Sedikit berbeda dengan Tata, Nanda merasa bahwa tren Juru Bahasa Isyarat justru mulai naik sejak disahkannya UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

“Sejak [disahkan] saat itu mulai muncul beberapa acara yang menyediakan akses Bahasa Isyarat dalam kegiatannya dan melibatkan teman-teman tuli,” jelas Nanda.

Untuk pelatihan Bahasa Isyarat sendiri saat ini sudah ada pada beberapa tempat. Untuk Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang digunakan masyakarat Tuli dalam berkomunikasi sehari-hari dapat dipelajari di Pusbisindo (Pusat Bahasa Isyarat Indonesia).

Uniknya Nanda menjelaskan pelatihan ini dilakukan oleh pengejar teman-teman Tuli. Pelatihan ini juga telah ada  di banyak daerah bisa juga melalui platform digital. Sementara untuk sertifikat yang diberikan menurut Nanda baru terkait sertifikat kelulusan belajar Bahasa Isyarat.

“Yang terpenting sebenarnya adalah mendapat rekomendasi dari organisasi Tuli seperti Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) atau masuk dalam lembaga penyedia jasa layanan juru bahasa isyarat karena nanti akan ada tes dan langsung oleh JBI Tuli”, pungkas Nanda.

Untuk imbalan jasa yang ditawarkan oleh Nanda, semuanya di proses oleh penyedia jasa dari PLJ (Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat).


Minat di Kalangan Anak Muda

Eka Milo dosen Ekonomi Institut Ilmu Sosial dan Politik Jakarta, melihat bahwa tren minat anak muda untuk belajar bahasa isyarat memang meningkat. Hal ini terlihat dari pengamatannya secara langsung.

“Ada peningkatan minat anak muda utk belajar bahasa isyarat, karena anak saya sendiri yang seorang lulusan sarjana gizi pun mengambil kursus bahasa isyarat, alasannya ya untuk bisa membantu mereka yang membutuhkan,” kata Eka.

Dosen Ekonomi kampus FISIP ini melihat bahwa perkembangan media massa elektronik yang cukup pesat juga menjadi pilar untuk bidang interpreter. Kebutuhan untuk menyokong para penyandang disabilitas di banyak perusahaan/lembaga jadi peluang menjanjikan didasari oleh kesadaran akan pentingnya bagi kaum khusus untuk memperoleh informasi.

Eka juga mengatakan bahwa peran Juru Bahasa Isyarat penting bagi peningkatan sumber daya manusia yang menjadi indikasi dari negara maju.

“Peran JBI cukup penting, pemahaman dari pemberi dan penerima informasi menjadi sesuatu yang vital, banyak dari kelompok rentan ini yang memiliki ide-ide bagus dan kreatif. Sehingga semua aspek harus bersinergi menciptakan kondisi dan situasi yang tidak ada disinformasi, sehingga menjadi penting untuk kemajuan bangsa baik dalam konteks ekonomi,” jelas Eko.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Bocoran Xiaomi Mix Fold 4, Serba-serbi Spesifikasi hingga Prediksi Bulan Rilis

BERIKUTNYA

Tissa Biani & Kevin Julio Beradu Akting di Serial Keluarga Hitung-hitungan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: