Antibiotik (Sumber Foto: Freepik)

Panduan Bijak Menggunakan Antibiotik dari Kemenkes untuk Cegah Resistensi Antimikroba

22 September 2024   |   16:43 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Penggunaan antibiotik yang tidak bijak bisa menyebabkan kondisi di mana bakteri kebal terhadap antibiotik. Fenomena ini disebut resistensi antimikroba (AMR), dampaknya infeksi lebih sulit diobati, sehingga menyebabkan lebih banyak komplikasi dan kematian.

Azhar Jaya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, mengungkapkan data kejadian resistensi antimikroba yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel, yakni rumah sakit yang terlibat dalam penelitian dan pengumpulan data tentang penyakit.

Data AMR di Indonesia secara khusus didapatkan dari data yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan. Data tersebut mencakup dua jenis bakteri yang kebal antibiotik.   

Baca juga: Waspada 6 Bakteri Resisten Antibiotik Penyebab Kematian, Ada di Indonesia!

Diketahui, hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68 persen. Kemudian, di tahun 2023 pada 24 rumah sakit sentinel site sebesar 70,75 persen dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52 persen.

"Angka ini menunjukan, adanya peningkatan resistensi antimikroba pada bakteri jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae, kedua bakteri ini dapat menyebabkan kematian dan menyerang seluruh sistem organ dalam tubuh manusia,” ungkap Azhar, dikutip dari laman resmi Kemenkes RI, Minggu (22/9/2024)

Berdasarkan data WHO Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) yang diperbarui pada 2022 menyebutkan bahwa resistensi antimikroba pada Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia terdeteksi melalui pemeriksaan spesimen darah dan urine pasien yang terinfeksi AMR.
 

Dampak Resistensi Antimikroba (AMR) pada Pasien

Berdasarkan laporan yang diterima Kemenkes, penanganan pasien dengan infeksi resistensi antimikroba membutuhkan upaya yang besar. Sebab, bakteri yang kebal terhadap antibiotik membutuhkan perawatan intensif.

“Merawat pasien dengan infeksi AMR sangat sulit karena beberapa faktor, yang pertama adalah pilihan obat terbatas. Obat yang efektif untuk pasien AMR mungkin tidak tersedia atau mahal dan patogen bisa menjadi resisten terhadap antibiotik yang ada,” jelas Azhar.

Lebih lanjut dia memaparkan, faktor kedua adalah penegakan diagnosis menjadi lambat. Dibutuhkan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan dalam menegakkan diagnosis pasien infeksi lama, di mana untuk pemeriksaan tersebut memerlukan waktu sehingga, memperlambat perawatan yang tepat. Kemudian, dibutuhkan komitmen pimpinan rumah sakit untuk optimalisasi fungsi laboratorium.

"Faktor ketiga terkait dengan efek samping, pengobatan resistensi antimikroba sering kali memerlukan antibiotik dengan efek samping yang berat atau risiko toksisitas," katanya.

Selanjutnya faktor keempat adalah penyebaran infeksi AMR. Infeksi resistensi antimikroba dapat menyebar cepat, terutama di lingkungan rumah sakit sehingga memerlukan langkah-langkah pengendalian infeksi yang ketat.

“Kelima, biaya tinggi. Karena perawatan AMR membutuhkan waktu yang lama (Length of Stay/Los memanjang) sehingga pengobatan AMR menjadi sangat mahal, produktivitas pasien dan keluarga penunggu menurun, serta membebani pasien dan jaminan kesehatan,” lanjut Azhar.

Melihat dampak infeksi resistensi antimikroba (AMR) pada pasien, Kemenkes mengimbau masyarakat untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotik. Upaya ini juga sekaligus bertujuan untuk mencegah terjadinya risiko infeksi AMR. Simak cara menggunakan antibiotik yang bijak.
  1. Gunakan antibiotik hanya ketika diresepkan oleh dokter. Ikuti petunjuk dokter mengenai dosis dan durasi pengobatan.
  2. Jangan menggunakan antibiotik yang dibeli tanpa resep atau sisa obat dari perawatan sebelumnya.
  3. Jika dokter meresepkan antibiotik untuk infeksi yang tampaknya ringan, tanyakan alasan dan manfaatnya, serta alternatif pengobatan yang mungkin tersedia.
  4. Jika memiliki hewan peliharaan, pastikan antibiotik yang diberikan kepada hewan juga digunakan secara bijaksana. Sebab, resistensi dapat terjadi di antara hewan dan manusia.
  5. Untuk menghindari risiko infeksi dan kebutuhan antibiotik, lakukan kebiasaan higienis yang baik seperti mencuci tangan secara teratur. Lakukan vaksinasi yang diperlukan untuk mencegah infeksi yang bisa memerlukan antibiotik jika terjadi.
  6. Diskusikan kekhawatiran dengan tenaga medis tentang penggunaan antibiotik dan manfaat serta risikonya. Pertanyaan ini dapat membantu Anda memahami keputusan perawatan yang diambil.
Strategi Nasional (Stranas) Antimicrobial Resistance 2025-2029 telah mengatur bahwa kampanye penggunaan antibiotik yang bijak tidak hanya ditujukan kepada masyarakat melalui Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), tetapi juga kepada tenaga medis.

“Upayanya melalui peningkatan kompetensi dokter dalam tata laksana penyakit infeksi dan kepatuhan akan standar pelayanan dan panduan praktik klinis untuk dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan,” ujar Azhar.

Pengawasan terhadap pemberian antibiotik perlu dilakukan melalui Rekam Medis Elektronik (RME) yang digunakan oleh tenaga medis, serta kewajiban melaporkan penggunaan antibiotik golongan cadangan (reserve antibiotics) pada pasien beserta alasannya.

“Tenaga kesehatan selain dokter, tidak diperkenankan memberikan resep, kecuali mendapatkan kewenangan tambahan dari Menteri atau peraturan perundang-undangan,” tuturnya. 

Baca juga: Fakta-Fakta tentang Resistensi Antibiotik yang Perlu Kamu Ketahui

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

5 Tempat Nongkrong di Jakarta yang Buka Sampai Tengah Malam

BERIKUTNYA

6 Penampil Paling Ditunggu di Pestapora Day 3, Dari SBY Melukis hingga Dewa 19

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: