Makin Tercemar, Kolaborasi Jadi Kunci untuk Merevitalisasi Sungai Indonesia
20 August 2024 |
22:55 WIB
Kualitas air sungai di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Terjadinya penurunan kualitas ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti polusi industri, limbah domestik, hingga aktivitas pertanian masyarakat.
Pemerintah dan organisasi swasta sejauh ini telah melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas air sungai di Indonesia. Namun, kurangnya infrastruktur pengolahan limbah, kepatuhan yang masih rendah, hingga pendanaan yang terbatas masih menjadi tantangan revitalisasi.
Dirut Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, apabila kerusakan kualitas air ini dibiarkan, maka akan berdampak pada keanekaragaman hayati. Tak hanya itu, masyarakat juga akan kehilangan sumber mata air yang digunakan oleh manusia untuk kehidupan sehari-hari.
"Masalah utama sungai adalah abainya pemerintah dalam pengelolaan dan pengendalian pencemaran sungai. Di samping itu, pengendalian pencemaran air sungai juga masih belum jelas, sehingga kasus-kasus pencemaran selalu hilang terbawa angin," katanya.
Baca juga: Waduh 40 Persen Sungai di Indonesia Diperkirakan Tercemar, Wilayah Ini Paling Parah
Berdasarkan hasil survei Ecoton pada 2023, lebih dari 90,6 persen masyarakat menyatakan bahwa sungai yang berada di lingkungan mereka tercemar. Kondisi ini ditilik juga dari banyaknya sungai yang tercemar melalui timbulan sampah, perubahan ciri-ciri fisik sungai, dan ikan mati massal.
Ciri-ciri fisik yang ditunjukkan mulai dari perubahan warna, perubahan bau, dan air yang berbusa. Tempat tinggal mayoritas masyarakat, 74,9 persen kurang dari 5 kilometer dari lokasi sungai, sehingga mereka mengetahui betul berubahnya kondisi-kondisi fisik tersebut.
Ironisnya dengan kondisi tersebut, mereka masih memanfaatkan sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Tercatat, dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian 47,6 persen, air minum 13 persen, bahan baku produksi dan industri 6,1 persen, serta 33,3 persen lainnya tidak dimanfaatkan sama sekali.
Prigi menjelaskan, untuk mengurangi dampak tersebut, diperlukan mekanisme pemanfaatan air sungai sebagai baku air agar meminimalisir eksploitasi air tanah yang berlebihan. Upaya ini juga harus diiringi dengan pengelolaan sungai yang baik, dengan cara meminimalisir pencemaran di lingkungan sungai.
Faktor kunci lainnya adalah dengan melibatkan komunitas masyarakat. Sebab, selain sebagai bentuk edukasi, pelibatan masyarakat lokal juga dapat meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab bersama terhadap lingkungan, terutama sungai di sekitar tempat mereka tinggal.
"Sungai Indonesia juga tercemar nitrat, nitrit, phospat yg berasal dari limbah rumah tangga sejak tahun 1980. Namun hingga kini masih minim pengendalian. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara tercepat terjadinya kepunahan ikan air tawar," jelasnya.
Baca juga: Liburan Anti Mainstream, Jelajahi 5 Spot Wisata Sungai Ini Yuk!
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Prima Mayaningtyas, mengatakan, program pemulihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum terus menunjukkan progres yang signifikan. Ini terlihat dari beberapa parameter yang menunjukkan pencemaran limbah industri di sungai tersebut semakin menurun.
Kualitas penurunan tersebut diklaim dapat dilihat dari nilai indeks kualitas air (IKA) yang mencapai 33,43, dari cemar berat langsung menuju ke cemar ringan. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya perbaikan status mutu sungai, yang mana pada 2025, IKA Sungai Citarum ditargetkan mencapai 40,86.
"Pada 2023, IKA kita sudah 50,78. Nah berarti menunjukkan bahwa, sebenarnya ada loncatan gitu yang cukup bagus, dari sisi ultimate goal ini," katanya.
Selama 6 tahun program Citarum Harum berjalan, juga sudah ada perubahan positif pada kondisi Kendati begitu, saat ini masih ada lima program yang belum tercapai dari 12 program yang dicanangkan sejak 2018, untuk membuktikan bahwa penanganan Citarum dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kelima program tersebut adalah penanganan lahan kritis sebesar (48,84 persen), pengolahan sampah (50,98 persen), penataan keramba jaring apung (18,96 persen), pengolahan sumber daya air (50 persen), serta pemanfaatan ruang baru (36,16 persen). "Jadi kalau dari capaian program, itu target-target yang masih jauh di bawah 60 persen, itu saja umumnya," katanya.
Prima menjelaskan, dari hasil evaluasi yang mereka lakukan setidaknya ada dua tantangan dalam revitalisasi DAS Citarum, yakni fungsi koordinasi, dan fungsi komitmen terkait keberlanjutan program yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018, tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum.
"Berkaitan dengan komitmen anggaran saja. Komitmen anggaran kita itu dari rencana aksi [renaksi] yang ada, itu semakin kesini semakin menurun realisasinya. Dari renaksi tahun lalu saat ini hanya tinggal 14 persen," jelasnya.
Baca juga: Mulai Populer di Indonesia, Cek Kiat & Biaya Olahraga Selancar Sungai
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Pemerintah dan organisasi swasta sejauh ini telah melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas air sungai di Indonesia. Namun, kurangnya infrastruktur pengolahan limbah, kepatuhan yang masih rendah, hingga pendanaan yang terbatas masih menjadi tantangan revitalisasi.
Dirut Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, apabila kerusakan kualitas air ini dibiarkan, maka akan berdampak pada keanekaragaman hayati. Tak hanya itu, masyarakat juga akan kehilangan sumber mata air yang digunakan oleh manusia untuk kehidupan sehari-hari.
"Masalah utama sungai adalah abainya pemerintah dalam pengelolaan dan pengendalian pencemaran sungai. Di samping itu, pengendalian pencemaran air sungai juga masih belum jelas, sehingga kasus-kasus pencemaran selalu hilang terbawa angin," katanya.
Baca juga: Waduh 40 Persen Sungai di Indonesia Diperkirakan Tercemar, Wilayah Ini Paling Parah
Berdasarkan hasil survei Ecoton pada 2023, lebih dari 90,6 persen masyarakat menyatakan bahwa sungai yang berada di lingkungan mereka tercemar. Kondisi ini ditilik juga dari banyaknya sungai yang tercemar melalui timbulan sampah, perubahan ciri-ciri fisik sungai, dan ikan mati massal.
Ciri-ciri fisik yang ditunjukkan mulai dari perubahan warna, perubahan bau, dan air yang berbusa. Tempat tinggal mayoritas masyarakat, 74,9 persen kurang dari 5 kilometer dari lokasi sungai, sehingga mereka mengetahui betul berubahnya kondisi-kondisi fisik tersebut.
Ironisnya dengan kondisi tersebut, mereka masih memanfaatkan sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Tercatat, dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian 47,6 persen, air minum 13 persen, bahan baku produksi dan industri 6,1 persen, serta 33,3 persen lainnya tidak dimanfaatkan sama sekali.
Prigi menjelaskan, untuk mengurangi dampak tersebut, diperlukan mekanisme pemanfaatan air sungai sebagai baku air agar meminimalisir eksploitasi air tanah yang berlebihan. Upaya ini juga harus diiringi dengan pengelolaan sungai yang baik, dengan cara meminimalisir pencemaran di lingkungan sungai.
Faktor kunci lainnya adalah dengan melibatkan komunitas masyarakat. Sebab, selain sebagai bentuk edukasi, pelibatan masyarakat lokal juga dapat meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab bersama terhadap lingkungan, terutama sungai di sekitar tempat mereka tinggal.
"Sungai Indonesia juga tercemar nitrat, nitrit, phospat yg berasal dari limbah rumah tangga sejak tahun 1980. Namun hingga kini masih minim pengendalian. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara tercepat terjadinya kepunahan ikan air tawar," jelasnya.
Baca juga: Liburan Anti Mainstream, Jelajahi 5 Spot Wisata Sungai Ini Yuk!
Semakin Membaik
Kapal nelayan terparkir di muara Sungai Jeneberang, Sulawesi Selatan (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Paulus Tandi Bone)
Kualitas penurunan tersebut diklaim dapat dilihat dari nilai indeks kualitas air (IKA) yang mencapai 33,43, dari cemar berat langsung menuju ke cemar ringan. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya perbaikan status mutu sungai, yang mana pada 2025, IKA Sungai Citarum ditargetkan mencapai 40,86.
"Pada 2023, IKA kita sudah 50,78. Nah berarti menunjukkan bahwa, sebenarnya ada loncatan gitu yang cukup bagus, dari sisi ultimate goal ini," katanya.
Selama 6 tahun program Citarum Harum berjalan, juga sudah ada perubahan positif pada kondisi Kendati begitu, saat ini masih ada lima program yang belum tercapai dari 12 program yang dicanangkan sejak 2018, untuk membuktikan bahwa penanganan Citarum dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kelima program tersebut adalah penanganan lahan kritis sebesar (48,84 persen), pengolahan sampah (50,98 persen), penataan keramba jaring apung (18,96 persen), pengolahan sumber daya air (50 persen), serta pemanfaatan ruang baru (36,16 persen). "Jadi kalau dari capaian program, itu target-target yang masih jauh di bawah 60 persen, itu saja umumnya," katanya.
Prima menjelaskan, dari hasil evaluasi yang mereka lakukan setidaknya ada dua tantangan dalam revitalisasi DAS Citarum, yakni fungsi koordinasi, dan fungsi komitmen terkait keberlanjutan program yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018, tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum.
"Berkaitan dengan komitmen anggaran saja. Komitmen anggaran kita itu dari rencana aksi [renaksi] yang ada, itu semakin kesini semakin menurun realisasinya. Dari renaksi tahun lalu saat ini hanya tinggal 14 persen," jelasnya.
Baca juga: Mulai Populer di Indonesia, Cek Kiat & Biaya Olahraga Selancar Sungai
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.