Ilustrasi sungai yang tercemar. (Sumber gambar : Frimufilms/Freepik)

Waduh 40 Persen Sungai di Indonesia Diperkirakan Tercemar, Wilayah Ini Paling Parah

28 March 2024   |   10:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Kebutuhan air bersih untuk minum, masak, mandi, hingga irigasi menjadi krusial. Namun, acap kali sumber air bersih ini tidak terjaga hingga menurunkan kualitas dan ketersediaannya. 

Memang, berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terjadi peningkatan Indeks Kualitas Air di wilayah provinsi dari 41,2 persen pada  2022, menjadi 50 persen pada 2023. Sementara pada tingkat wilayah kabupaten atau kota, Indeks Kualitas Air meningkat dari 44,5 persen pada 2022 menjadi 56 persen pada 2023.

Baca juga: 6 Destinasi Wisata Sungai di Indonesia Ini Wajib Masuk Daftar Liburan Akhir Tahun

Kendati demikian, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro menyebut angka ini belum mencapai target nasional.

Senada, Pengkampanye Polusi dan Urban Berkeadilan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Abdul Ghofar menilai angka Indeks Kualitas Air itu masih relatif rendah. Masih banyak sumber air, terutama dari sungai, yang memiliki kualitas buruk bahkan sebagian diantaranya tercemar berat. 

Mayoritas berada di Pulau Jawa, diantaranya daerah aliran sungai (DAS) Brantas di Jawa Timur, DAS Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemudian, DAS Citarum di Jawa Barat, serta Ciliwung di Jawa Barat dan Jakarta. “Ada sekitar 700.000an aliran sungai atau batang air. Nah, 40 persen diantara itu tercemar kategori berat,” ujarnya.

Kelima sungai ini paling banyak dicemari oleh mikroplastik, potongan plastik yang sangat kecil. Dari riset tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022 yang dilakukan Ecoton, mikroplastik telah teridentifikasi dalam darah, asi dan paru-paru manusia. 

Tim ini melakukan identifikasi di 68 sungai strategis nasional. Hasilnya, 5 provinsi mengalami kontaminasi partikel mikroplastik tertinggi, yakni Jawa Timur dengan 636 partikel/100 liter, Sumatera Utara ditemukan 520 partikel/ 100 liter. Kemudian, Sumatera Barat ditemukan 508 partikel/100 liter, Bangka Belitung 497 partikel/100 liter, dan Sulawesi Tengah 417 partikel/100 liter.

Ghofar menyebut bukan hanya mikroplastik, cemaran sungai juga berasal dari limbah industri seperti tekstil dan domestik. Air sungai yang tercemar tentu berbahaya bagi kesehatan manusia. Faktanya, sejumlah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) turut menjadikan sungai sebagai sumber air untuk disalurkan ke masyarakat. Meskipun korporasi memiliki alat untuk penyaringan air, tetapi pada beberapa kondisi seperti kemarau, air yang sampai ke masyarakat memiliki kualitas buruk karena debit air yang turun dan tercemar.

Selain cemaran, beberapa daerah masih mengalami keterbatasan sumber air bersih, terutama wilayah yang masuk ke dalam ekosistem sabana, gambut, atau ketidaksediaan air tanah seperti calon Ibu Kota Negara (IKN), Nusantara di Kalimantan Timur. Untuk mengatasi itu, pemerintah saat ini membuat cekungan air tanah untuk kebutuhan calon penduduknya nanti. 

Sementara untuk wilayah Indonesia bagian Timur yang terbilang kering, menjadi langganan krisis air bersih, terutama ketika kemarau panjang tiba. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah air bersih secara nasional, Ghofar menyarankan agar pemerintah memberikan perlindungan kepada area konservasi air seperti danau, rawa, dan sungai dari eksploitasi terutama oleh industri perusahaan air minum yang mengambil langsung dari sumbernya.

Kemudian melakukan pemulihan terhadap sumber air yang mengalami kerusakan. Pemerintah perlu melakukan pembersihan material cemaran dengan mengajak masyarakat maupun industri. Kemudian, mencegah pembuangan langsung limbah ke sungai tanpa melalui pemrosesan khusus.

Langkah berikutnya, melakukan penegakan hukum bagi mereka yang terbukti melakukan pencemaran terhadap wilayah sumber air, baik yang dilakukan perusahaan atau masyarakat. “Misalnya deforestasi di wilayah sumber air akan berdampak hilangnya peresapan air. Itu jadinya bencana. Kalau kering juga nggak dapat air untuk diakses,” tambahnya.

Baca juga: 5 Rekomendasi Wisata Alam di Pacitan Jawa Timur, Ada Goa Gong & Sungai Maron

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Pentingnya Asupan Nutrisi Selama Puasa Ramadan, Tip dari Dokter Spesialis Gizi

BERIKUTNYA

Mengenal Komunitas Resan, Penjaga Sumber Air di Gunungkidul

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: