Gabungkan Seni & Sains, Heri Dono Buka Art Moments Jakarta 2024 dengan Performance Art
10 August 2024 |
08:22 WIB
2
Likes
Like
Likes
Ada yang berbeda dengan pembukaan Art Moments Jakarta (AMJ) tahun ini. Sebab, selain menampilkan karya-karya termutakhir, bursa seni rupa tahunan yang berlangsung pada 9-11 Agustus 2024 di Grand Ballroom, Sheraton Grand Jakarta Gandaria City dan Gandaria City Hall, itu juga menampilkan pertunjukan spesial.
Seniman nyentrik asal Yogyakarta, Heri Dono mengawali momen pengguntingan pita AMJ dengan melakukan performance art pada Jumat (9/8/24). Berlatar gending gamelan, hiruk pikuk penonton, dan kilat lampu proyektor, dia tampil trengginas laiknya dalang yang mengkidungkan suluk-suluk kontemporer.
Baca juga: ArtMoments Jakarta 2024 Resmi Dibuka, Hadirkan Karya Seniman Indonesia & Mancanegara
Walakin, alih-alih menembangkan macapat, Heri Dono justru mendeklamasikan maskumambang dengan frasa-frasa unik. Menurut KBBI, makumambang adalah komposisi tembang macapat, yang biasanya dipakai untuk melukiskan kisah sedih atau keprihatinan yang mendalam, [..] yang berakhir dengan bunyi 'i'.
Sepintas, kalimat-kalimat yang dilantunkan terdengar penuh kritik, atau memberi rangsangan pikir pada pengunjung. Lain kali, di tengah gerak-geriknya yang kaku tapi luwes, sang seniman juga sesekali memparodikan laku otoritarian laiknya robot-robot yang otaknya dicuci oleh fasisme.
The Journey of Dinosaurs to Superheroes, adalah judul lakon yang dibawakan seniman kelahiran Jakarta 59 tahun silam itu pada publik. Sambil memegang pelantang suara, dia membolak-balikan diksi, mempermainkan kata, atau meraung seperti hewan purba. Menjadi dalang sekaligus wayang di atas panggung.
"Demokrasi..Democrazy. Kita dalam krisis. Demokrasi [telah] menjadi democrazy. Humanity..Human, human, human.. Human Yeti.. Zaman edan..Serat Kalatidha.. Civilization," tuturnya sembari berlalu-lalang seperti manusia cyborg saat melihat dunia yang serba kalut oleh perang.
Berdurasi sekitar 30 menit, Heri Dono juga berlaku seolah tengah menjadi instalasi manusia berjalan. Tubuhnya dipasangi berbagai perangkat elektronik-mekanikal yang terus bergerak, bercahaya, dan sesekali bersuara. Di atas kepalanya, terayun-ayun kepala manekin bertopeng pinokio. Satir, meski serba terselubung.
Kendati tak ada dramaturgi yang jelas, Heri berhasil membius penonton untuk tidak berpaling pada kerlap-kerlip cahaya. Rapalan-rapalan mantranya yang pendek dan melompat-lompat antar satu diksi ke diksi yang lain, berhasil memiuhkan asosiasi penuh makna yang sarat akan kritik, pertanyaan, dan perenungan mendalam.
Selepas pertunjukan, Heri Dono menuturkan bahwa karya performance tersebut merupakan respon terhadap evolusi DNA manusia seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses perubahan tersebut menurutnya juga memiliki benang merah yang kuat antara keterhubungan 'memori purba' dengan 'alam semesta'.
Heri Dono menjelaskan, seiring dengan perubahan-perubahan tersebut manusia juga dihadapkan pada kenyataan alam yang terus berubah. Sebagian besar menganggap bahwa perubahan-perubahan tersebut disebabkan karena faktor cuaca dan iklim, tapi sebagian yang lain percaya bahwa evolusi tersebut terjadi secara sistematik.
"Seringkali event kebudayaan itu kan sifatnya entertain. Kali ini saya ingin membawakan pesan kemanusian secara lebih esensial. Misalnya, dinosaurus yang selalu dianggap ikon purba, atau seni tradisi yang tidak lebih mulia dari seni rupa modern atau kontemporer. Saya pikir ini perlu ditelaah kembali.Juga termasuk superhero yang kerap membunuh musuhnya dengan kejam, itu kan sama saja seperti penjahat," katanya.
Dari sudut pandang seni rupa, pola pencampuran yang tradisi dan yang modern dalam pertunjukan ini, juga ingin menelaah kembali tingginya sebuah peradaban bukan dari kacamata Barat. Sebab, aufklarung atau abad pencerahan di Eropa menurutnya juga hasil akumulasi peradaban dari Timur, seperti Persia, India, Mesir yang mungkin juga Asia Tenggara.
Berdasarkan premis-premisnya itulah Heri Dono berpendapat bahwa negara-negara bekas kolonialisme perlu untuk kembali tegak berdiri. Karena mereka juga memiliki kebudayaan tinggi yang tidak kalah dengan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, sehingga mengakibatkan mereka rendah diri dan terus minder.
"Kalau kita mempelajari seni modern, saya pikir tidak harus dari renaisans barat, tapi juga bisa dari munculnya Ukiyo-e atau teknik cukil Jepang yang mempengaruhi Vincent van Gogh. Atau karya-karya kubisme Picasso yang dipengaruhi oleh topeng-topeng Afrika," imbuhnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Seniman nyentrik asal Yogyakarta, Heri Dono mengawali momen pengguntingan pita AMJ dengan melakukan performance art pada Jumat (9/8/24). Berlatar gending gamelan, hiruk pikuk penonton, dan kilat lampu proyektor, dia tampil trengginas laiknya dalang yang mengkidungkan suluk-suluk kontemporer.
Baca juga: ArtMoments Jakarta 2024 Resmi Dibuka, Hadirkan Karya Seniman Indonesia & Mancanegara
Walakin, alih-alih menembangkan macapat, Heri Dono justru mendeklamasikan maskumambang dengan frasa-frasa unik. Menurut KBBI, makumambang adalah komposisi tembang macapat, yang biasanya dipakai untuk melukiskan kisah sedih atau keprihatinan yang mendalam, [..] yang berakhir dengan bunyi 'i'.
Sepintas, kalimat-kalimat yang dilantunkan terdengar penuh kritik, atau memberi rangsangan pikir pada pengunjung. Lain kali, di tengah gerak-geriknya yang kaku tapi luwes, sang seniman juga sesekali memparodikan laku otoritarian laiknya robot-robot yang otaknya dicuci oleh fasisme.
The Journey of Dinosaurs to Superheroes, adalah judul lakon yang dibawakan seniman kelahiran Jakarta 59 tahun silam itu pada publik. Sambil memegang pelantang suara, dia membolak-balikan diksi, mempermainkan kata, atau meraung seperti hewan purba. Menjadi dalang sekaligus wayang di atas panggung.
"Demokrasi..Democrazy. Kita dalam krisis. Demokrasi [telah] menjadi democrazy. Humanity..Human, human, human.. Human Yeti.. Zaman edan..Serat Kalatidha.. Civilization," tuturnya sembari berlalu-lalang seperti manusia cyborg saat melihat dunia yang serba kalut oleh perang.
Berdurasi sekitar 30 menit, Heri Dono juga berlaku seolah tengah menjadi instalasi manusia berjalan. Tubuhnya dipasangi berbagai perangkat elektronik-mekanikal yang terus bergerak, bercahaya, dan sesekali bersuara. Di atas kepalanya, terayun-ayun kepala manekin bertopeng pinokio. Satir, meski serba terselubung.
Kendati tak ada dramaturgi yang jelas, Heri berhasil membius penonton untuk tidak berpaling pada kerlap-kerlip cahaya. Rapalan-rapalan mantranya yang pendek dan melompat-lompat antar satu diksi ke diksi yang lain, berhasil memiuhkan asosiasi penuh makna yang sarat akan kritik, pertanyaan, dan perenungan mendalam.
Evolusi & Kritik Kebudayaan
Selepas pertunjukan, Heri Dono menuturkan bahwa karya performance tersebut merupakan respon terhadap evolusi DNA manusia seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses perubahan tersebut menurutnya juga memiliki benang merah yang kuat antara keterhubungan 'memori purba' dengan 'alam semesta'.Heri Dono menjelaskan, seiring dengan perubahan-perubahan tersebut manusia juga dihadapkan pada kenyataan alam yang terus berubah. Sebagian besar menganggap bahwa perubahan-perubahan tersebut disebabkan karena faktor cuaca dan iklim, tapi sebagian yang lain percaya bahwa evolusi tersebut terjadi secara sistematik.
"Seringkali event kebudayaan itu kan sifatnya entertain. Kali ini saya ingin membawakan pesan kemanusian secara lebih esensial. Misalnya, dinosaurus yang selalu dianggap ikon purba, atau seni tradisi yang tidak lebih mulia dari seni rupa modern atau kontemporer. Saya pikir ini perlu ditelaah kembali.Juga termasuk superhero yang kerap membunuh musuhnya dengan kejam, itu kan sama saja seperti penjahat," katanya.
Heri Dono berpose setelah melakukan pertunjukan di pembukaan Art Moments Jakarta 2024 (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Berdasarkan premis-premisnya itulah Heri Dono berpendapat bahwa negara-negara bekas kolonialisme perlu untuk kembali tegak berdiri. Karena mereka juga memiliki kebudayaan tinggi yang tidak kalah dengan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, sehingga mengakibatkan mereka rendah diri dan terus minder.
"Kalau kita mempelajari seni modern, saya pikir tidak harus dari renaisans barat, tapi juga bisa dari munculnya Ukiyo-e atau teknik cukil Jepang yang mempengaruhi Vincent van Gogh. Atau karya-karya kubisme Picasso yang dipengaruhi oleh topeng-topeng Afrika," imbuhnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.