Strategi Unik Dayak Iban Menjaga Tradisi Wastra Tenun
05 August 2024 |
22:00 WIB
Tenun merupakan bagian dari salah satu identitas dan warisan budaya Indonesia. Sejumlah daerah memiliki tradisi untuk membuat wastra dari penggabungan benang secara memanjang dan melintang ini. Sebab, kain tenun kerap digunakan dalam upacara adat dan peminatnya terus meningkat di perkotaan.
Upaya untuk melanjutkan warisan kain Nusantara ini lantas dilakukan masyarakat di sejumlah daerah. Salah satunya Suku Dayak Iban yang berada di bawah rimbunnya pepohonan hutan Kalimantan. Para perempuan dari suku ini berusaha untuk menggabungkan tradisi dan konservasi melalui tenun.
Baca juga: Ternyata Ini Alasan Tenun Jadi Wastra Favorit Selain Batik
Ya, pada masa lalu, tradisi tenun terancam akibat pembangunan yang berlebihan dan perubahan prioritas pada masyarakat Iban. Faktor lain seperti eksploitasi lahan dan hutan akibat pertambangan dan perkebunan, mengakibatkan hilangnya pepohonan dan tanaman kapas yang menjadi sumber pewarna dan benang kapas untuk pembuatan tenun.
Berdasarkan data dari The Center for International Forestry Research dan World Agroforestry, antara 2000 dan 2017, terdapat sekitar 59.962 km2 hilangnya hutan di seluruh Kalimantan. Jumlah ini akan terus bertambah dari tahun ke tahun, berdasarkan penelitian yang diterbitkan pada 2022.
Para ilmuwan mengembangkan model matematika untuk menghitung deforestasi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat potensi hutan seluas 74.419 kilometer persegi atau setara dengan 10 juta lapangan sepak bola hilang antara 2018 dan 2032
Melihat situasi ini, pada 2018 generasi muda perempuan Iban yang dipimpin Margaretha Mala mencoba menghidupkan kembali praktik tenun dengan memadukan tradisi dan upaya konservasi. Dia mendirikan dua komunitas.
Komunitas pertama yakni Endo Segadok yang menampung para penenun berpengalaman. Kedua, komunitas Generasi Lestari yang mendidik perempuan muda Iban tentang menenun. Total ada 58 perempuan yang terlibat dalam komunitas penenun ini.
Mala dan kedua komunitasnya memahami bahwa meningkatnya peminat tenun berarti akan ada saatnya produk tenun mereka berisiko diproduksi secara massal, sehingga mengurangi nilai budaya dan konservasi. Oleh karena itu, masyarakat setempat menggunakan pewarna alami yang berasal dari hutan, sedangkan benangnya merupakan buatan pabrik karena tidak ada lagi tanaman kapas di sekitar komunitas mereka.
Mereka juga memastikan bahwa setiap tenun dibuat sesuai dengan adat istiadat. Para perempuan Iban menggunakan pola sakral tertentu yang memerlukan ritual sebagai bagian dari budaya mereka.
Para penenun Iban juga menggunakan kata 'mengadopsi' dibandingkan 'membeli' kain tenun. Hal ini menekankan hubungan unik antara penenun dan orang-orang yang memutuskan untuk mengadopsi produk tersebut. Pendekatan ini menumbuhkan rasa keterhubungan dan tanggung jawab, karena orang yang mengadopsinya akan menjadi penjaga budaya Iban pada tahun-tahun mendatang.
Proses tenun yang mempertimbangkan konservasi ini faktanya menghasilkan pendapatan alternatif dan memberdayakan perempuan muda Iban. Uniknya, pendapatan akan dibagi di antara anggota masyarakat untuk memastikan bahwa semua orang mendapat manfaat dari tenun tersebut.
Saat ini, tenun yang diproduksi Mala dan komunitasnya dibanderol dengan hargaRp3 juta dan bisa mencapai Rp10 juta. “Kami berharap upaya dan hasil tenun kami dapat bermanfaat untuk komunitas, baik kami sendiri maupun komunitas lainnya di Indonesia atau di negara lain,” ujar Mala dikutip Hypeabis.id, Senin (5/8/2024).
Selain proses menenun, Mala dan komunitasnya memberikan akses kepada mereka yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang tenun dan tradisi Iban, terutama hubungannya dengan alam. Mereka membuat tur yang dirancang agar masyarakat dapat mempelajari secara komprehensif tentang kain, budaya, lingkungan, dan orang-orang yang menenunnya.
Tur ini juga menjadi pekerjaan penuh waktu masyarakat Iban. Bagi laki-laki Iban, hal ini tidak hanya memberikan mata pencaharian alternatif selain bekerja di perkebunan, tetapi juga meningkatkan taraf hidup mereka.
“Semoga produk budaya yang dihasilkan, terutama batik dan tenun, serta masyarakat yang membuatnya dapat dianggap perlu untuk dijaga keberlanjutannya,” tambah Mala.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Upaya untuk melanjutkan warisan kain Nusantara ini lantas dilakukan masyarakat di sejumlah daerah. Salah satunya Suku Dayak Iban yang berada di bawah rimbunnya pepohonan hutan Kalimantan. Para perempuan dari suku ini berusaha untuk menggabungkan tradisi dan konservasi melalui tenun.
Baca juga: Ternyata Ini Alasan Tenun Jadi Wastra Favorit Selain Batik
Ya, pada masa lalu, tradisi tenun terancam akibat pembangunan yang berlebihan dan perubahan prioritas pada masyarakat Iban. Faktor lain seperti eksploitasi lahan dan hutan akibat pertambangan dan perkebunan, mengakibatkan hilangnya pepohonan dan tanaman kapas yang menjadi sumber pewarna dan benang kapas untuk pembuatan tenun.
Berdasarkan data dari The Center for International Forestry Research dan World Agroforestry, antara 2000 dan 2017, terdapat sekitar 59.962 km2 hilangnya hutan di seluruh Kalimantan. Jumlah ini akan terus bertambah dari tahun ke tahun, berdasarkan penelitian yang diterbitkan pada 2022.
Para ilmuwan mengembangkan model matematika untuk menghitung deforestasi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat potensi hutan seluas 74.419 kilometer persegi atau setara dengan 10 juta lapangan sepak bola hilang antara 2018 dan 2032
Melihat situasi ini, pada 2018 generasi muda perempuan Iban yang dipimpin Margaretha Mala mencoba menghidupkan kembali praktik tenun dengan memadukan tradisi dan upaya konservasi. Dia mendirikan dua komunitas.
Komunitas Endo Segadok. (Sumber foto: Contentro)
Mala dan kedua komunitasnya memahami bahwa meningkatnya peminat tenun berarti akan ada saatnya produk tenun mereka berisiko diproduksi secara massal, sehingga mengurangi nilai budaya dan konservasi. Oleh karena itu, masyarakat setempat menggunakan pewarna alami yang berasal dari hutan, sedangkan benangnya merupakan buatan pabrik karena tidak ada lagi tanaman kapas di sekitar komunitas mereka.
Mereka juga memastikan bahwa setiap tenun dibuat sesuai dengan adat istiadat. Para perempuan Iban menggunakan pola sakral tertentu yang memerlukan ritual sebagai bagian dari budaya mereka.
Para penenun Iban juga menggunakan kata 'mengadopsi' dibandingkan 'membeli' kain tenun. Hal ini menekankan hubungan unik antara penenun dan orang-orang yang memutuskan untuk mengadopsi produk tersebut. Pendekatan ini menumbuhkan rasa keterhubungan dan tanggung jawab, karena orang yang mengadopsinya akan menjadi penjaga budaya Iban pada tahun-tahun mendatang.
Generasi muda belajar menenun. (Sumber foto: Contentro)
Saat ini, tenun yang diproduksi Mala dan komunitasnya dibanderol dengan hargaRp3 juta dan bisa mencapai Rp10 juta. “Kami berharap upaya dan hasil tenun kami dapat bermanfaat untuk komunitas, baik kami sendiri maupun komunitas lainnya di Indonesia atau di negara lain,” ujar Mala dikutip Hypeabis.id, Senin (5/8/2024).
Selain proses menenun, Mala dan komunitasnya memberikan akses kepada mereka yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang tenun dan tradisi Iban, terutama hubungannya dengan alam. Mereka membuat tur yang dirancang agar masyarakat dapat mempelajari secara komprehensif tentang kain, budaya, lingkungan, dan orang-orang yang menenunnya.
Tur ini juga menjadi pekerjaan penuh waktu masyarakat Iban. Bagi laki-laki Iban, hal ini tidak hanya memberikan mata pencaharian alternatif selain bekerja di perkebunan, tetapi juga meningkatkan taraf hidup mereka.
“Semoga produk budaya yang dihasilkan, terutama batik dan tenun, serta masyarakat yang membuatnya dapat dianggap perlu untuk dijaga keberlanjutannya,” tambah Mala.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.