Keramba berisi ikan nila di Sungai Lamandau (Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)

Potret Kewirausahaan Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Sungai Lamandau Kalimantan

17 May 2022   |   14:02 WIB
Image
Dika Irawan Asisten Konten Manajer Hypeabis.id

Ratusan ikan nila muncul ke permukaan air, saat Lukman Nur Hakim menebar umpan jenis pelet ke salah satu keramba milik kelompok tani di Sungai Lamandau, Desa Tanjung Tarantang, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Dalam hitungan detik, pelet tersebut langsung ludes dilalap ikan-ikan tersebut. 

“Kalau di sungai ikan-ikan kan gerak-gerak jadi cepat lapar. Saya kasih umpan lagi akan tetap dimakan,” ujarnya saat berbincang-bincang dengan awak media dalam kunjungan Program Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) pada 2018 silam.

Lukman bercerita bahwa ikan-ikan ini dapat tumbuh lebih cepat. Sebab dia menernaknya di sungai bukan di kolam. Menurutnya, beternak ikan di keramba membuat ikan seperti berada di habitat aslinya. 

Mereka akan terus bergerak, dan cepat lapar. Sebaliknya ketika ditaruh di kolam, airnya statis, sehingga membuat ikan malas bergerak.  

Baca juga: Ini 5 Destinasi Ekowisata di Indonesia yang Menarik untuk Dikunjungi


Meski begitu, Lukman tetap harus waspada karena bila tidak ikan-ikan itu dimakan oleh berang-berang. Secara bergilir, para petani bergantian mengawasi ikan-ikan di keramba. Selebihnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengingat ikan di sungai lebih resisten terhadap penyakit.

Di keramba-keramba tersebut, terdapat sekitar ribuan bibit ikan nilai yang disebar sekitar dua pekan lalu. Butuh waktu sekitar 4 bulan untuk memanennya.  Jika sudah besar, ikan-ikan itu dapat dijual dengan harga sekitar Rp30.000 per kilogram saat itu.  Selain ikan nila, di keramba lainnya juga dikembangbiakan ikan-ikan seperti ikan lais, udang, dan ikan gabus.

Lukman tertarik terlibat dalam kegiatan ini karena lebih mudah dan menjanjikan daripada menggarap lahan gambut untuk pertanian. Namun, dia tidak meninggalkan begitu saja mata pencahariannya sebagai petani padi. “Sekarang kan lahan untuk padinya tidak bisa dibakar seperti dahulu. Jadi untuk sementara tidak bisa menanam,” ujarnya.

Dalam mengelola keramba ini, Lukman tidak sendiri, melainkan ada 40 orang yang tergabung dalam Kelompok Tani Ikan Sejati. Mereka mendapat bantuan keramba dari Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin).

Lembaga swadaya masyarakat itu ditunjuk oleh ICCTF bersama United States Agency for International Development (USAID) untuk menjalankan proyek  proyek konservasi ekosistem nipah dan hutan penyangga bagian timur Suaka Margasatawa Sungai Lamandau sebagai kawasan pencadangan hutan kemasyarakatan (HKm).

Di tempat lain, ada keramba milik Kelompok Tani Ikan Sepakat di Desa Tanjungputri. Mereka mengelola beberapa keramba yang berisi ikan toman, udang rawa, ikan baung, ikan papuyu, dan ikan haruan. 

Baca juga: Rekomendasi Desa Wisata di Sumatra Barat yang Wajib Kalian Kunjungi! 

Untuk mendapatkan bibit ikan itu, mereka tidak membeli melainkan mencarinya di sungai.  Sayang, ikan-ikan tersebut mulai sudah dicari karena banyak juga yang memburu.

Ikan toman, misalnya, para peternak ini harus menelusuri sungai hingga ke dalam hutan. Sebab di sungai sekitar tempat mereka tinggal sudah sulit menemui ikan-ikan tersebut.

Kelompok ini berisi para nelayan yang biasa mencari ikan di laut atau sungai. Di sela-sela kesibukannya tersebut, mereka mengembangbiakan ikan-ikan lokal di keramba.

Sementara, istri-istri mereka mengelola pohon-pohon nipah untuk dijadikan penganan untuk buahnya, sedangkan batang-batangnya dikreasikan menjadi sapu. Nipah-nipah tersebut tumbuh liar di sekitar wilayah sungai sehingga tidak terlalu sulit mencarinya. Tugas masyarakat di sini adalah menjaga nipah-nipah itu.

Sekitar 5 kilometer dari keramba tersebut, di desa yang sama Ruslan bersama rekan-rekannya tak kalah sibuk mengurusi lahan gambut untuk persawahan. Bukan hal yang mudah menanam padi di lahan gambut karena ditumbuhi banyak gulma. 

 

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan

(Sumber gambar: Hypeabis/Dika Irawan)


Dahulu sebelum ditanami padi, Ruslan dan rekan-rekannya biasa membakar lahan gambut untuk membasmi gulma. Tetapi sekarang tidak dapat lagi melakukan hal itu karena Pemerintah melarangnya. Selain berperan terciptanya kebakaran hutan, membakar lahan juga dapat menurunkan kualitas tanah dan berkontribusi melepaskan zat karbon. 

Sebagai solusinya, para petani disosialisasikan terkait mengelola lahan tanpa membakar. Melalui cara ini, mereka terlebih dahulu menebas gulma rumput di lahan. Setelah itu disemprot dengan cairan herbisida untuk mengurai gulma. Nantinya ketika terutari, gulma-gulma ini secara tidak langsung menjadi pupuk. Barulah selepas itu padi ditanam. 

Sebelumnya, Ruslan bersama petani lainnya tidak dapat menggarap lahan, karena tak diizinkan membakar lahan. Baru pada 2016, setelah disosialisasikan mengenai pengolahan lahan tanpa bakar dari Yayorin, mereka bisa kembali turun ke ladang. 

Saat itu, lahan seluas delapan hektare menjadi proyek percontohan. Selama kurang lebih tiga bulan mengelola lahan itu tanpa bakar. Hasilnya, mereka pun berhasil memanen padi. Ruslan membuktikan bahwa tidak harus membakar lahan untuk memanen hasil tanian. 

Baca juga: Yuk Intip 10 Destinasi Wisata yang Eksotis di Bulukumba

Hasil yang didapat bisa mencapai tiga ton gabah kering lebih banyak dari pengolahan lahan dengan bakar. Perbedaannya, saat lahan masih dibakar masa panen hanya sekali dalam setahun. Kini, padi dapat dipanen dua kali dalam setahun. 

 “Sebelumnya kami stagnan selama setahun tidak mau menanam karena terbiasa dengan membakar lahan. Seandainya melawan pemerintah [menolak kebijakan pengelolaan lahan tanpa bakar] tak ada gunanya. Kami pun mencoba mengelola lahan tanpa bakar ternyata hasilnya menggembirakan,” tuturnya. 

Ruslan sadar selain merusak tanah gambut kegiatan membakar lahan juga dapat mengganggu kesehatan. Hal itu terbukti, pada beberapa tahun lalu tak sedikit warga yang mengalami gangguan pernapasan.
 

Kawasan penting

Desa Tanjung Putri berada di zona penyangga Suaka Margasatwa Lamandau. Area itu didominasi oleh hutan rawa gambut dengan potensi tinggi sebagai penyimpan karbon. Kedalaman gambutnya mencapai rata-rata 134 cm. 

Sejak 2010 terdeteksi persediaan karbon di atas permukaan tanah sebanyak 70-71 ton/hektare (ha). Kemudian saat dilakukan pengukuran kembali pada Maret 2018 tercatat sekitar 73 ton/ha. Ada penurunan emisi sekitar 2-3 ton/ha atau rata-rata 2,5 ton/ha.  Sedangkan persediaan karbon di bawah permukaan tanah sebesar 841 ton/ha. 

Kawasan hutan rawa gambut yang tersebar di area penyangga bagian timur Suaka Margasatwa Lamandau dengan luas sekitar 23.000 ha ini adalah sisa kawasan hutan bergambut yang masih mempunyai tutupan vegetasi kerapatan tinggi di Kabupaten Kotawaringin Barat. 

Baca juga: Wajib Masuk Daftar Liburan, Ini 5 Sungai Cantik di Dunia

Kawasan ini berperan penting sebagai kawasan penyimpan karbon atau penyerap emisi karbon di Kabupaten Kotawaringin Barat, selain kawasan Taman Nasional Tanjung Puting di wilayah pesisir dan ekosistem lamun di Perairan Senggora-Sepagar di Kabupaten Kotawaringin Barat.

Kawasan dengan tipe hutan rawa sekunder bergambut diselingi ekosistem nipah ini selain rumah bagi satwa dilindungi dan endemik Borneo seperti orangutan, bekantan, juga area penting penunjang kehidupan bagi masyarakat yang berada di desa sekitar.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Pakar Marketing Sebut 3 Faktor Ini yang Membuat Film KKN di Desa Penari Tembus 6 Juta Penonton

BERIKUTNYA

Hore! SNSD Bakal Comeback dengan Formasi Lengkap Agustus Ini

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: