Menilik Proses Kreatif di Balik Sinematografi Bawah Air Memukau ala Sineas Rich Rifici
05 June 2024 |
06:57 WIB
Film-film bertema bawah air masih cukup jarang ditemui di Indonesia. Namun, di beberapa negara lain, termasuk di Australia, tema-tema tersebut sebenarnya telah cukup banyak dieksplorasi. Salah satu sineas yang kerap menggarap film bertema laut adalah Rich Rifici.
Rifici adalah sinematografer spesialis bawah laut. Dia dikenal sebagai salah satu Director of Photography (DOP) yang piawai dalam mengambil gambar-gambar dengan sudut yang terasa sulit, tetapi dapat dieksekusi dengan baik.
Membuat film di bawah laut memanglah bukanlah perkara gampang. Namun, Rifici sudah melakukannya di lebih dari 10 judul film. Seluruhnya mampu menyajikan permainan visual yang memukau dan mampu membenamkan penonton dalam dunia fiksi yang dibangun sutradara.
Baca juga: Review Film Blueback, Kisah Ibu & Anak di Tengah Arus Krisis Lingkungan
Salah satu film hasil DOP-nya, Blueback, menjadi film pembuka di Festival Sinema Australia Indonesia 2024. Film yang disutradarai Robert Connolly tersebut juga mengangkat tema yang berkaitan dengan laut.
Rifici mengatakan proses pembuatan film di dalam laut selalu tak mudah, menantang, dan penuh risiko. Bekerja penuh dengan perencanaan saja terkadang tak cukup, keberuntungan juga jadi hal yang penting.
Sebelum memulai proses syuting film bawah laut, Rifici mengatakan observasi dan riset adalah hal utama yang harus dilakukan. Proses observasi bahkan terkadang tak hanya berakhir saat pra-produksi saja, tetapi juga masih dilakukan untuk kewaspadaan saat syuting tengah berlangsung.
“Saat mengambil gambar bawah air, ini tergantung untuk apa tujuannya. Misalnya, untuk tujuan dokumenter edukasi, Anda bisa begitu lama di dalam sana. Terkadang memang harus menunggu lama hanya untuk sesuatu terjadi,” ucap Rifici kepada Hypeabis.id saat ditemui seusai Masterclass: The Art of Cinematic Storytelling yang digelar FSAI di Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Sineas biasanya akan bekerja penuh waktu di bawah laut. Mereka menggunakan sistem yang disebut rebreaters. Sistem ini membuat sineas tidak perlu mengisi ulang tangki oksigen dengan muncul ke permukaan. Sebab, proses naik turun membutuhkan waktu dan tenaga lebih.
Menurut Rifici, proses pengambilan gambar bisa berlangsung selama tujuh hingga delapan jam hanya untuk menunggu sebongkah karang bertelur, atau melahirkan, atau adegan lain yang diperlukan.
Hal tak jauh berbeda juga terjadi ketika syuting di permukaan laut. Misalnya, untuk pengambilan gambar permainan surfing. Dalam hal ini, riset dan momentum menjadi hal yang begitu penting.
Sebab, tidak ada satu orang pun yang bisa memprediksi kapan ombak bagus akan datang. Momentum ini bisa terjadi lima menit sekali atau satu jam sekali, bahkan lebih. Begitu gelombang itu pecah, dan sineas tidak berada dalam tempat yang tepat, maka dia haruslah menunggu momentum itu lagi yang entah kapan.
“Jadi menjaga fokus dan konsentrasi dan memastikan Anda siap ketika hal itu terjadi adalah salah satu hal yang perlu dilakukan,” imbuhnya.
Masterclass: The Art of Cinematic Storytelling merupakan bagian dari program Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI). Nantinya, akan ada masterclass dengan tema dan pembicara lain yang akan digelar selama FSAI berlangsung.
Tahun ini merupakan kali kesembilan FSAI digelar di Indonesia, sekaligus memperingati 75 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Australia. FSAI 2024 digelar dari 31 Mei hingga 23 Juni 2024 di 10 kota, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Padang, Surabaya, Mataram, Makassar, Manado, Samarinda, dan Balikpapan.
Baca juga: Festival Sinema Australia Indonesia 2024, Cek Jadwal Pemutaran & Cara Dapat Tiketnya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Rifici adalah sinematografer spesialis bawah laut. Dia dikenal sebagai salah satu Director of Photography (DOP) yang piawai dalam mengambil gambar-gambar dengan sudut yang terasa sulit, tetapi dapat dieksekusi dengan baik.
Membuat film di bawah laut memanglah bukanlah perkara gampang. Namun, Rifici sudah melakukannya di lebih dari 10 judul film. Seluruhnya mampu menyajikan permainan visual yang memukau dan mampu membenamkan penonton dalam dunia fiksi yang dibangun sutradara.
Baca juga: Review Film Blueback, Kisah Ibu & Anak di Tengah Arus Krisis Lingkungan
Salah satu film hasil DOP-nya, Blueback, menjadi film pembuka di Festival Sinema Australia Indonesia 2024. Film yang disutradarai Robert Connolly tersebut juga mengangkat tema yang berkaitan dengan laut.
Rifici mengatakan proses pembuatan film di dalam laut selalu tak mudah, menantang, dan penuh risiko. Bekerja penuh dengan perencanaan saja terkadang tak cukup, keberuntungan juga jadi hal yang penting.
Sebelum memulai proses syuting film bawah laut, Rifici mengatakan observasi dan riset adalah hal utama yang harus dilakukan. Proses observasi bahkan terkadang tak hanya berakhir saat pra-produksi saja, tetapi juga masih dilakukan untuk kewaspadaan saat syuting tengah berlangsung.
“Saat mengambil gambar bawah air, ini tergantung untuk apa tujuannya. Misalnya, untuk tujuan dokumenter edukasi, Anda bisa begitu lama di dalam sana. Terkadang memang harus menunggu lama hanya untuk sesuatu terjadi,” ucap Rifici kepada Hypeabis.id saat ditemui seusai Masterclass: The Art of Cinematic Storytelling yang digelar FSAI di Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Australian Director of Photography Rick Rifici memberikan paparan saat acara Masterclass: Seni Bercerita Sinematis di Jakarta, Selasa (4/6/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani)
Menurut Rifici, proses pengambilan gambar bisa berlangsung selama tujuh hingga delapan jam hanya untuk menunggu sebongkah karang bertelur, atau melahirkan, atau adegan lain yang diperlukan.
Hal tak jauh berbeda juga terjadi ketika syuting di permukaan laut. Misalnya, untuk pengambilan gambar permainan surfing. Dalam hal ini, riset dan momentum menjadi hal yang begitu penting.
Sebab, tidak ada satu orang pun yang bisa memprediksi kapan ombak bagus akan datang. Momentum ini bisa terjadi lima menit sekali atau satu jam sekali, bahkan lebih. Begitu gelombang itu pecah, dan sineas tidak berada dalam tempat yang tepat, maka dia haruslah menunggu momentum itu lagi yang entah kapan.
“Jadi menjaga fokus dan konsentrasi dan memastikan Anda siap ketika hal itu terjadi adalah salah satu hal yang perlu dilakukan,” imbuhnya.
Masterclass: The Art of Cinematic Storytelling merupakan bagian dari program Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI). Nantinya, akan ada masterclass dengan tema dan pembicara lain yang akan digelar selama FSAI berlangsung.
Tahun ini merupakan kali kesembilan FSAI digelar di Indonesia, sekaligus memperingati 75 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Australia. FSAI 2024 digelar dari 31 Mei hingga 23 Juni 2024 di 10 kota, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Padang, Surabaya, Mataram, Makassar, Manado, Samarinda, dan Balikpapan.
Baca juga: Festival Sinema Australia Indonesia 2024, Cek Jadwal Pemutaran & Cara Dapat Tiketnya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.