Fenomena "Musim Maba" di Malang, Suhu Udara Menjadi Lebih Dingin, Ini Sebabnya
21 August 2021 |
17:25 WIB
Sepanjang Juli-September setiap tahunnya boleh dikatakan sebagai waktu yang tepat untuk mengunjungi Malang, Jawa Timur. Pasalnya, suhu udara di kota tersebut jauh lebih dingin dari bulan-bulan lainnya. Suhu udara di Bumi Arema, demikian sebutan untuk wilayah Malang Raya bisa turun drastis.
Pada malam hari, suhu udara bahkan bisa menyentuh angka 16-18 derajat celcius atau sama dengan suhu terendah udara yang disemburkan oleh pendingin ruangan (air conditioner/AC).
Bagi warga asli Malang atau yang sudah bermukim di sana lebih dari 20 tahun, fenomena ini memunculkan perasaan rindu akan masa lalu atau nostalgia. Ya, tidak bisa dipungkiri jika pesatnya pembangunan di Malang selama satu dekade terakhir membuat kota tersebut jadi makin panas.
"Setiap Juli-September ini rasanya seperti kembali ke masa lalu, waktu [saya] masih kecil tahun 1980-1990-an. Dulu ya setiap hari [suhu udaranya] seperti ini. Di kota masih suka ada kabut pagi-pagi. Nggarai [membuat] malas, susah bangun pagi, saking ademnya," ungkap Hendra, warga Blimbing, Kota Malang.
Menurunnya suhu udara setiap pertengahan tahun di Malang juga menjadi kesan tersendiri bagi mereka yang sedang atau pernah mengenyam pendidikan di sana. Mereka menyebut fenomena tersebut sebagai "musim maba (mahasiswa baru)".
Seperti diketahui, Kota Malang merupakan salah satu kota pendidikan yang ada di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta berdiri di sana.
Adrian, alumnus Universitas Brawijaya menyebut fenomena suhu dingin pada pertengahan tahun yang terjadi di Malang adalah sambutan selamat datang untuk mahasiswa baru. Menurutnya, fenomena tersebut juga jadi tantangan tersendiri saat masa orientasi mahasiswa baru atau ospek.
"Musim maba itu kaya sambutan selamat datang. Ini lho Malang, adem. Pagi-pagi harus ke kampus waktu ospek, mandi airnya dingin mata berat. Tantangan banget. Tetapi seterusnya kok panas-panas juga ya, kaya di-prank," selorohnya.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut di Malang?
Fenomena suhu udara dingin yang dirasakan di Malang sebenarnya juga dirasakan di beberapa daerah di Jawa Timur walaupun tak sedingin yang dirasakan di Malang. Banyak orang yang mengaitkannya dengan fenomena aphelion atau menjauhnya bumi dari matahari.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi ini disebut fenomena bediding. Hal ini terjadi karena saat ini wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) menuju periode puncak musim kemarau, di mana pada periode ini ditandai oleh pergerakan angin bertiup dominan dari arah Timur yang berasal dari Benua Australia.
BMKG memaparkan jika pada bulan Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering.
Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia (dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia).
Angin monsun Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin.
"Berkurangnya awan dan hujan di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT terlihat cukup signifikan dalam beberapa hari terakhir juga disertai oleh berkurangnya kandungan uap air di atmosfer," demikian tulis BMKG di akun instagramnya.
Secara fisis, lanjut mereka, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.
"Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan dengan saat musim hujan atau peralihan," lanjut penjelasan BMKG.
Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.
Editor: Indyah Sutriningrum
Pada malam hari, suhu udara bahkan bisa menyentuh angka 16-18 derajat celcius atau sama dengan suhu terendah udara yang disemburkan oleh pendingin ruangan (air conditioner/AC).
Bagi warga asli Malang atau yang sudah bermukim di sana lebih dari 20 tahun, fenomena ini memunculkan perasaan rindu akan masa lalu atau nostalgia. Ya, tidak bisa dipungkiri jika pesatnya pembangunan di Malang selama satu dekade terakhir membuat kota tersebut jadi makin panas.
"Setiap Juli-September ini rasanya seperti kembali ke masa lalu, waktu [saya] masih kecil tahun 1980-1990-an. Dulu ya setiap hari [suhu udaranya] seperti ini. Di kota masih suka ada kabut pagi-pagi. Nggarai [membuat] malas, susah bangun pagi, saking ademnya," ungkap Hendra, warga Blimbing, Kota Malang.
Menurunnya suhu udara setiap pertengahan tahun di Malang juga menjadi kesan tersendiri bagi mereka yang sedang atau pernah mengenyam pendidikan di sana. Mereka menyebut fenomena tersebut sebagai "musim maba (mahasiswa baru)".
Seperti diketahui, Kota Malang merupakan salah satu kota pendidikan yang ada di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta berdiri di sana.
Adrian, alumnus Universitas Brawijaya menyebut fenomena suhu dingin pada pertengahan tahun yang terjadi di Malang adalah sambutan selamat datang untuk mahasiswa baru. Menurutnya, fenomena tersebut juga jadi tantangan tersendiri saat masa orientasi mahasiswa baru atau ospek.
"Musim maba itu kaya sambutan selamat datang. Ini lho Malang, adem. Pagi-pagi harus ke kampus waktu ospek, mandi airnya dingin mata berat. Tantangan banget. Tetapi seterusnya kok panas-panas juga ya, kaya di-prank," selorohnya.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut di Malang?
Fenomena suhu udara dingin yang dirasakan di Malang sebenarnya juga dirasakan di beberapa daerah di Jawa Timur walaupun tak sedingin yang dirasakan di Malang. Banyak orang yang mengaitkannya dengan fenomena aphelion atau menjauhnya bumi dari matahari.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi ini disebut fenomena bediding. Hal ini terjadi karena saat ini wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT) menuju periode puncak musim kemarau, di mana pada periode ini ditandai oleh pergerakan angin bertiup dominan dari arah Timur yang berasal dari Benua Australia.
BMKG memaparkan jika pada bulan Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering.
Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia (dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia).
Angin monsun Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin.
"Berkurangnya awan dan hujan di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT terlihat cukup signifikan dalam beberapa hari terakhir juga disertai oleh berkurangnya kandungan uap air di atmosfer," demikian tulis BMKG di akun instagramnya.
Secara fisis, lanjut mereka, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.
"Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan dengan saat musim hujan atau peralihan," lanjut penjelasan BMKG.
Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.