UNESCO Sebut Intimidasi & Kekerasan Terhadap Jurnalis Lingkungan Kian Masif
06 May 2024 |
07:26 WIB
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengeluarkan laporan baru yang menunjukkan bahwa kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang melaporkan lingkungan hidup dan iklim mengalami peningkatan.
Dalam laporan berjudul Press and Planet in Danger, setidaknya ada 749 jurnalis atau media berita yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup telah mendapatkan serangan dalam 15 tahun terakhir, dan disinformasi daring telah meningkat secara dramatis pada periode ini.
Baca juga: Sinopsis Civil War: Kisah Jurnalis di Tengah Perang Saudara, Bakal Tayang di Indonesia?
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, mengungkapkan bahwa tanpa informasi ilmiah yang dapat diandalkan mengenai krisis lingkungan yang sedang terjadi, setiap orang tidak akan pernah bisa mengatasinya.
“Namun para jurnalis yang kita andalkan untuk menyelidiki masalah ini dan memastikan informasi dapat diakses menghadapi risiko tinggi yang tidak dapat diterima di seluruh dunia, dan disinformasi terkait perubahan iklim adalah hal yang sangat buruk dan merajalela di media sosial,” ujarnya dalam siaran pers.
Dalam laporan tersebut, analisis UNESCO mengungkapkan setidaknya ada 749 jurnalis dan media berita yang melaporkan isu-isu lingkungan menjadi sasaran pembunuhan, kekerasan fisik, penahanan dan penangkapan, pelecehan daring atau serangan hukum pada periode 2009- 2023.
Kemudian, lebih dari 300 serangan terjadi antara 2019-2023. Jumlah ini tercatat mengalami peningkatan sebesar 42 persen apabila dibandingkan dengan periode 5 tahun sebelumnya, yakni pada 2014-2018.
Laporan itu juga menekankan bahwa permasalahan yang terjadi bersifat global dengan serangan yang terjadi di 89 negara di seluruh kawasan di dunia.
UNESCO juga mencatat bahwa sedikitnya ada pembunuhan terhadap 44 jurnalis yang menyelidiki isu lingkungan dalam 15 tahun terakhir. Dari total pelaku, hanya 5 persen yang mendapatkan hukuman atas tindakannya.
Kemudian, laporan itu juga memperlihatkan bahwa tingkat impunitas terhadap pelaku cukup mencengangkan, yakni hampir 90 persen. Selain itu, serangan fisik juga kerap terjadi dengan 353 insiden.
“Laporan tersebut juga menemukan bahwa serangan meningkat lebih dari dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, meningkat dari 85 pada 2014-2018 menjadi 183 pada 2019-2023,” ujarnya.
Dalam konsultasi yang melibatkan lebih dari 900 jurnalis lingkungan hidup dari 129 negara yang dilakukan oleh UNESCO pada Maret 2024, terdapat 70 persen yang melaporkan mengalami serangan, ancaman, atau tekanan terkait dengan pemberitaan mereka.
Di antara mereka, 2 dari 5 orang mengalami kekerasan fisik. Data juga menunjukkan bahwa jurnalis perempuan melaporkan lebih rentan terhadap pelecehan secara daring jika dibandingkan laki-laki. Kondisi ini mencerminkan tren yang diidentifikasi dalam laporan UNESCO sebelumnya berjudul The Chilling: tren global dalam kekerasan online terhadap jurnalis perempuan.
Baca juga: Pertajam Kompetensi Jurnalis, LPDS Luncurkan Buku Pedoman Standar Uji Kompetensi Wartawan
Selain serangan fisik, sepertiga jurnalis yang disurvei juga mengatakan bahwa mereka telah disensor, dan hampir separuh atau 45 persen mengatakan melakukan sensor diri ketika meliput lingkungan hidup, karena takut diserang, narasumber mereka diekspos, atau karena suatu tindakan yang tidak pantas.
“Kesadaran bahwa cerita mereka bertentangan dengan kepentingan pemangku kepentingan yang bersangkutan,” ujarnya.
Editor: Fajar Sidik
Dalam laporan berjudul Press and Planet in Danger, setidaknya ada 749 jurnalis atau media berita yang melaporkan isu-isu lingkungan hidup telah mendapatkan serangan dalam 15 tahun terakhir, dan disinformasi daring telah meningkat secara dramatis pada periode ini.
Baca juga: Sinopsis Civil War: Kisah Jurnalis di Tengah Perang Saudara, Bakal Tayang di Indonesia?
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, mengungkapkan bahwa tanpa informasi ilmiah yang dapat diandalkan mengenai krisis lingkungan yang sedang terjadi, setiap orang tidak akan pernah bisa mengatasinya.
“Namun para jurnalis yang kita andalkan untuk menyelidiki masalah ini dan memastikan informasi dapat diakses menghadapi risiko tinggi yang tidak dapat diterima di seluruh dunia, dan disinformasi terkait perubahan iklim adalah hal yang sangat buruk dan merajalela di media sosial,” ujarnya dalam siaran pers.
Dalam laporan tersebut, analisis UNESCO mengungkapkan setidaknya ada 749 jurnalis dan media berita yang melaporkan isu-isu lingkungan menjadi sasaran pembunuhan, kekerasan fisik, penahanan dan penangkapan, pelecehan daring atau serangan hukum pada periode 2009- 2023.
Kemudian, lebih dari 300 serangan terjadi antara 2019-2023. Jumlah ini tercatat mengalami peningkatan sebesar 42 persen apabila dibandingkan dengan periode 5 tahun sebelumnya, yakni pada 2014-2018.
Laporan itu juga menekankan bahwa permasalahan yang terjadi bersifat global dengan serangan yang terjadi di 89 negara di seluruh kawasan di dunia.
UNESCO juga mencatat bahwa sedikitnya ada pembunuhan terhadap 44 jurnalis yang menyelidiki isu lingkungan dalam 15 tahun terakhir. Dari total pelaku, hanya 5 persen yang mendapatkan hukuman atas tindakannya.
Kemudian, laporan itu juga memperlihatkan bahwa tingkat impunitas terhadap pelaku cukup mencengangkan, yakni hampir 90 persen. Selain itu, serangan fisik juga kerap terjadi dengan 353 insiden.
“Laporan tersebut juga menemukan bahwa serangan meningkat lebih dari dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, meningkat dari 85 pada 2014-2018 menjadi 183 pada 2019-2023,” ujarnya.
Dalam konsultasi yang melibatkan lebih dari 900 jurnalis lingkungan hidup dari 129 negara yang dilakukan oleh UNESCO pada Maret 2024, terdapat 70 persen yang melaporkan mengalami serangan, ancaman, atau tekanan terkait dengan pemberitaan mereka.
Di antara mereka, 2 dari 5 orang mengalami kekerasan fisik. Data juga menunjukkan bahwa jurnalis perempuan melaporkan lebih rentan terhadap pelecehan secara daring jika dibandingkan laki-laki. Kondisi ini mencerminkan tren yang diidentifikasi dalam laporan UNESCO sebelumnya berjudul The Chilling: tren global dalam kekerasan online terhadap jurnalis perempuan.
Baca juga: Pertajam Kompetensi Jurnalis, LPDS Luncurkan Buku Pedoman Standar Uji Kompetensi Wartawan
Selain serangan fisik, sepertiga jurnalis yang disurvei juga mengatakan bahwa mereka telah disensor, dan hampir separuh atau 45 persen mengatakan melakukan sensor diri ketika meliput lingkungan hidup, karena takut diserang, narasumber mereka diekspos, atau karena suatu tindakan yang tidak pantas.
“Kesadaran bahwa cerita mereka bertentangan dengan kepentingan pemangku kepentingan yang bersangkutan,” ujarnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.