BMKG Sebut El Nino Surut La Nina Datang, Apa Dampaknya di Indonesia?
29 April 2024 |
17:15 WIB
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis informasi bahwa fenomena El Nino berangsur melemah dan menuju Netral. BMKG menjelaskan kapan fenomena ini akan berakhir dan apakah selanjutnya akan digantikan oleh El Nina.
Mengutip dari unggahan BMKG di Instagram, El Nino-Southern Oscillation (ENSO) didefinisikan sebagai fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Istilah El Nino berasal dari Bahasa Spanyol yang artinya anak laki-laki. El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang Pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang Natal.
Kondisi yang muncul berabad-abad lalu ini dinamai oleh para nelayan Peru sebagai El Nino de Navidad yang disamakan dengan nama Kristus yang baru lahir.
Baca juga: 4 Cara Menjaga Kesehatan saat Cuaca Ekstrem
Saat terjadinya El Nino, angin pasat di Samudra Pasifik yang biasa berembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini berkaitan dengan meluasnya pemanasan suhu muka laut dan peningkatan potensi pertumbuhan awan yang berada di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur.
Kolam hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Kondisi El Nino mempengaruhi pola iklim dan menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia, sehingga musim kemarau menjadi lebih panjang dan kekeringan ekstrem di beberapa wilayah.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan El Nino dapat berlangsung hingga April 2024. Fenomena ini mulai terjadi pada Juni 2023 dan mencapai puncaknya ada Desember 2023. Namun, dispastikan El Nino akan segera berakhir dalam waktu dekat.
Menurut BMKG, saat ini terdapat kecenderungan ENSO melemah dan menuju pada kondisi Netral. Anomali Sea Surface Temperature (SST) atau suhu permukaan laut pada dasarian II pada April 2024 di wilayah 3.4 menunjukkan El Nino lemah dengan indeks +0,93.
BMKG menyebutkan terdapat peluang 60 persen berakhirnya episode El Nino, dan kemungkinan digantikan oleh munculnya La Nina pada periode Juni-Agustus. Meski kondisi Netral diperkirakan dapat bertahan setidaknya hingga Juli 2024.
La Nina memiliki dampak bersifat global, seperti peningkatan curah hujan di wilayah Pasifik Barat. Di Indonesia, pada periode Juni-Juli-Agustus, dampak La Nina diprakirakan berupa peningkatan curah hujan mencapai 20-40 persen. Beberapa lokasi bahkan dapat mencapai peningkatan hingga lebih 50 persen.
La Nina telah menyebabkan cuaca ekstrem di Indonesia, yang berdampak pada terjadinya bencana banjir dan longsor. Fenomena La Nina umumnya memberikan efek pendinginan suhu bumi secara global, meski begitu dampaknya dapat berbeda-beda di setiap wilayah di dunia.
Fase Netral: Angin pasat berhembus dari timur ke arah barat melintasi Samudra Pasifik menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat dan disebut dengan Sirkulasi Walker. Selama fase Netral, suhu muka laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dari bagian timur Pasifik.
Fase El Nino: Angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
Baca juga: Cek Rangkaian Cara Merawat Kulit di Tengah Cuaca Ekstrem
Fase La Nina: Hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Bagi Indonesia, hal ini berarti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
Editor: Fajar Sidik
Mengutip dari unggahan BMKG di Instagram, El Nino-Southern Oscillation (ENSO) didefinisikan sebagai fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Istilah El Nino berasal dari Bahasa Spanyol yang artinya anak laki-laki. El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang Pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang Natal.
Kondisi yang muncul berabad-abad lalu ini dinamai oleh para nelayan Peru sebagai El Nino de Navidad yang disamakan dengan nama Kristus yang baru lahir.
Baca juga: 4 Cara Menjaga Kesehatan saat Cuaca Ekstrem
Saat terjadinya El Nino, angin pasat di Samudra Pasifik yang biasa berembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini berkaitan dengan meluasnya pemanasan suhu muka laut dan peningkatan potensi pertumbuhan awan yang berada di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur.
Kolam hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Kondisi El Nino mempengaruhi pola iklim dan menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia, sehingga musim kemarau menjadi lebih panjang dan kekeringan ekstrem di beberapa wilayah.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan El Nino dapat berlangsung hingga April 2024. Fenomena ini mulai terjadi pada Juni 2023 dan mencapai puncaknya ada Desember 2023. Namun, dispastikan El Nino akan segera berakhir dalam waktu dekat.
Menurut BMKG, saat ini terdapat kecenderungan ENSO melemah dan menuju pada kondisi Netral. Anomali Sea Surface Temperature (SST) atau suhu permukaan laut pada dasarian II pada April 2024 di wilayah 3.4 menunjukkan El Nino lemah dengan indeks +0,93.
BMKG menyebutkan terdapat peluang 60 persen berakhirnya episode El Nino, dan kemungkinan digantikan oleh munculnya La Nina pada periode Juni-Agustus. Meski kondisi Netral diperkirakan dapat bertahan setidaknya hingga Juli 2024.
La Nina memiliki dampak bersifat global, seperti peningkatan curah hujan di wilayah Pasifik Barat. Di Indonesia, pada periode Juni-Juli-Agustus, dampak La Nina diprakirakan berupa peningkatan curah hujan mencapai 20-40 persen. Beberapa lokasi bahkan dapat mencapai peningkatan hingga lebih 50 persen.
La Nina telah menyebabkan cuaca ekstrem di Indonesia, yang berdampak pada terjadinya bencana banjir dan longsor. Fenomena La Nina umumnya memberikan efek pendinginan suhu bumi secara global, meski begitu dampaknya dapat berbeda-beda di setiap wilayah di dunia.
Tiga Iklim di Samudera Pasifik
Fase Netral: Angin pasat berhembus dari timur ke arah barat melintasi Samudra Pasifik menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat dan disebut dengan Sirkulasi Walker. Selama fase Netral, suhu muka laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dari bagian timur Pasifik.Fase El Nino: Angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
Baca juga: Cek Rangkaian Cara Merawat Kulit di Tengah Cuaca Ekstrem
Fase La Nina: Hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Bagi Indonesia, hal ini berarti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.