Media Sosial Jadi Ancaman Tersembunyi Kesejahteraan & Karier Anak Perempuan
26 April 2024 |
08:30 WIB
Seperti pisau bermata dua, media sosial juga memiliki dampak buruk terhadap pengguna selain dampak yang positif. Tidak tanggung-tanggung, media tersebut dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan penggunanya – terutama anak perempuan.
Saat ini, anak perempuan menjadi salah satu pihak pengguna media sosial. Mereka kerap membuat video, mengunggah gambar, dan sebagainya. Mereka berusaha untuk menjadi terkenal dengan media sosial.
Baca juga: Mau Buat Akun Media Sosial Khusus Anak? Pahami Dahulu Hal Ini
Untuk itu, tidak jarang berbagai unggahan yang mungkin tidak seharusnya diunggah. Selain itu, mereka juga mendapatkan berbagai macam informasi. Pada akhirnya, kondisi tersebut berpengaruh terhadap banyak hal dalam kehidupan.
Kondisi itu diungkap oleh Organisai Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Dalam laporan berjudul Technology on Her Terms, UNESCO mengungkapkan teknologi digital dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan, pembelajaran, dan pilihan karier anak perempuan.
Teknologi menghadirkan risiko seperti pelanggaran privasi pengguna, gangguan pembelajaran, dan perundungan maya (cyberbullying) selain dapat meningkatkan proses pembelajaran. Laporan tersebut menyoroti cara media sosial memperkuat steorotip gender yang berdampak terhadap kesejahteraan, pembelajaran, dan pilihan karier anak perempuan.
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, mengatakan bahwa kehidupan sosial anak-anak semakin banyak diperbincangkan di media sosial. Namun, seringkali, platform berbasis algoritma memperbesar paparan terhadap norma-norma gender yang negatif.
“Pertimbangan etis harus dipertimbangkan dalam desain platform ini. Media sosial tidak boleh membatasi perempuan dan anak perempuan pada peran yang membatasi aspirasi pendidikan dan karier mereka,” ujarnya.
Laporan itu mengungkapkan, konten berbasis gambar dan algoritma – terutama di media sosial – dapat memaparkan anak perempuan terhadap berbagai materi, yakni mulai dari seksual hingga video yang mengagungkan perilaku tidak sehat atau standar tubuh yang tidak realistis.
Paparan konten tersebut dapat berdampak buruk terhadap harga diri dan citra tubuh anak perempuan. Pada akhirnya, kondisi ini akan berdampak terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan anak perempuan, yang penting bagi keberhasilan akademis .
Dalam laporan itu, UNESCO yang mengutip penelitikan dari Facebook, mencantumkan data bahwa 32 persen gadis remaja merasa buruk terhadap tubuh mereka dan Instagram membuat para gadis merasa lebih buruk lagi. Laporan itu juga memberikan penekanan bahwa media sosial TikTok didesain untuk membuat banyak pengguna ketagihan dengan video pendek dan menarik.
“Model kepuasan instan ini dapat memengaruhi rentang perhatian dan kebiasaan belajar, sehingga membuat konsentrasi berkelanjutan pada tugas-tugas pendidikan dan ekstrakurikuler menjadi lebih menantang,” ujarnya.
Data dalam Technology on Her Terms itu menunjukkan anak perempuan juga lebih banyak mengalami cyberbullying dibandingkan anak laki-laki. Rata-rata, di negara-negara OECD dengan data yang tersedia, 12 persen anak perempuan berusia 15 tahun melaporkan pernah mengalami cyberbullying. Sementara itu, terdapat 8 persen anak laki-laki yang mengalami perundungan maya.
Situasi tersebut kian diperparah dengan peningkatan konten seksual berbasis gambar atau deepfake yang dibuat oleh artificial intelligencedan gambar seksual yang dibuat sendiri serta beredar secara daring dan di ruang kelas.
“Siswa perempuan di beberapa negara yang diwawancarai untuk laporan tersebut mengatakan bahwa mereka dihadapkan dengan gambar atau video yang tidak ingin mereka lihat,” katanya.
Dengan begitu, UNESCO menekankan penting bagi semua pihak untuk berinvestasi di bidang pendidikan – termasuk literasi media dan informasi. Selain itu, laporan itu juga menunjukkan penting bagi negara memiliki regulasi platform digital yang lebih cerdas, sejalan dengan Pedoman Tata Kelola Platform Digital UNESCO, yang diluncurkan pada November tahun lalu.
Laporan itu juga menunjukkan bahwa media sosial memperkuat norma-norma gender negatif yang dihadapi terhadap anak perempuan tentang science, technology, engineering, dan mathematics (STEM). Pada saat ini, sejumlah masyarakat memiliki pandangan bahwa STEM hanya untuk pria.
Menurut data UNESCO, perempuan yang merupakan lulusan ilmu science, technology, engineering, dan mathematics hanya 35 persen di seluruh dunia. Angka ini tidak mengalami perubahan dalam 10 tahun terakhir.
“Laporan tersebut menunjukkan bahwa bias yang terus-menerus menghalangi perempuan untuk mengejar karier di bidang STEM – yang pada akhirnya mengakibatkan kurangnya perempuan dalam angkatan kerja di bidang teknologi,” tegasnya.
Perempuan memegang kurang dari 25 persen pekerjaan di bidang sains, teknik, teknologi informasi dan komunikasi. Mereka hanya mencakup 26 persen karyawan di bidang data dan kecerdasan buatan, 15 persen di bidang teknik, dan 12 persen di bidang komputasi awan di seluruh negara dengan perekonomian terkemuka di dunia.
UNESCO juga mengungkapkan bahwa hanya 17 persen permohonan paten yang diajukan oleh perempuan di seluruh dunia. “Bukti menunjukkan bahwa transformasi digital dipimpin oleh laki-laki,” katanya.
Meskipun 68 persen negara mempunyai kebijakan untuk mendukung pendidikan STEM, organisasi mengungkapkan hanya setengah dari kebijakan tersebut yang secara khusus mendukung anak perempuan dan perempuan.
Dengan begitu, negara harus membuat kebijakan yang dapat mempromosikan teladan, termasuk di media sosial, untuk mendorong pilihan karier di bidang STEM di kalangan perempuan muda.
“Meningkatkan akses anak perempuan terhadap studi STEM adalah kunci untuk memastikan bahwa perempuan berpartisipasi secara setara dalam transformasi digital di masyarakat kita, dan mendukung rancangan teknologi yang benar-benar inklusif,” katanya.
Baca juga: Bermedia Sosial dengan Bijak, Ini Cara Menjaga Kesehatan Mental dari Dampak Negatif Internet
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Saat ini, anak perempuan menjadi salah satu pihak pengguna media sosial. Mereka kerap membuat video, mengunggah gambar, dan sebagainya. Mereka berusaha untuk menjadi terkenal dengan media sosial.
Baca juga: Mau Buat Akun Media Sosial Khusus Anak? Pahami Dahulu Hal Ini
Untuk itu, tidak jarang berbagai unggahan yang mungkin tidak seharusnya diunggah. Selain itu, mereka juga mendapatkan berbagai macam informasi. Pada akhirnya, kondisi tersebut berpengaruh terhadap banyak hal dalam kehidupan.
Kondisi itu diungkap oleh Organisai Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Dalam laporan berjudul Technology on Her Terms, UNESCO mengungkapkan teknologi digital dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan, pembelajaran, dan pilihan karier anak perempuan.
Teknologi menghadirkan risiko seperti pelanggaran privasi pengguna, gangguan pembelajaran, dan perundungan maya (cyberbullying) selain dapat meningkatkan proses pembelajaran. Laporan tersebut menyoroti cara media sosial memperkuat steorotip gender yang berdampak terhadap kesejahteraan, pembelajaran, dan pilihan karier anak perempuan.
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, mengatakan bahwa kehidupan sosial anak-anak semakin banyak diperbincangkan di media sosial. Namun, seringkali, platform berbasis algoritma memperbesar paparan terhadap norma-norma gender yang negatif.
“Pertimbangan etis harus dipertimbangkan dalam desain platform ini. Media sosial tidak boleh membatasi perempuan dan anak perempuan pada peran yang membatasi aspirasi pendidikan dan karier mereka,” ujarnya.
Laporan itu mengungkapkan, konten berbasis gambar dan algoritma – terutama di media sosial – dapat memaparkan anak perempuan terhadap berbagai materi, yakni mulai dari seksual hingga video yang mengagungkan perilaku tidak sehat atau standar tubuh yang tidak realistis.
Paparan konten tersebut dapat berdampak buruk terhadap harga diri dan citra tubuh anak perempuan. Pada akhirnya, kondisi ini akan berdampak terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan anak perempuan, yang penting bagi keberhasilan akademis .
Dalam laporan itu, UNESCO yang mengutip penelitikan dari Facebook, mencantumkan data bahwa 32 persen gadis remaja merasa buruk terhadap tubuh mereka dan Instagram membuat para gadis merasa lebih buruk lagi. Laporan itu juga memberikan penekanan bahwa media sosial TikTok didesain untuk membuat banyak pengguna ketagihan dengan video pendek dan menarik.
“Model kepuasan instan ini dapat memengaruhi rentang perhatian dan kebiasaan belajar, sehingga membuat konsentrasi berkelanjutan pada tugas-tugas pendidikan dan ekstrakurikuler menjadi lebih menantang,” ujarnya.
Data dalam Technology on Her Terms itu menunjukkan anak perempuan juga lebih banyak mengalami cyberbullying dibandingkan anak laki-laki. Rata-rata, di negara-negara OECD dengan data yang tersedia, 12 persen anak perempuan berusia 15 tahun melaporkan pernah mengalami cyberbullying. Sementara itu, terdapat 8 persen anak laki-laki yang mengalami perundungan maya.
Situasi tersebut kian diperparah dengan peningkatan konten seksual berbasis gambar atau deepfake yang dibuat oleh artificial intelligencedan gambar seksual yang dibuat sendiri serta beredar secara daring dan di ruang kelas.
“Siswa perempuan di beberapa negara yang diwawancarai untuk laporan tersebut mengatakan bahwa mereka dihadapkan dengan gambar atau video yang tidak ingin mereka lihat,” katanya.
Dengan begitu, UNESCO menekankan penting bagi semua pihak untuk berinvestasi di bidang pendidikan – termasuk literasi media dan informasi. Selain itu, laporan itu juga menunjukkan penting bagi negara memiliki regulasi platform digital yang lebih cerdas, sejalan dengan Pedoman Tata Kelola Platform Digital UNESCO, yang diluncurkan pada November tahun lalu.
Media Sosial Menghambat Karier Anak Perempuan
Ilustrasi. (sumber foto: Pexels/Pavel Danilyuk)
Menurut data UNESCO, perempuan yang merupakan lulusan ilmu science, technology, engineering, dan mathematics hanya 35 persen di seluruh dunia. Angka ini tidak mengalami perubahan dalam 10 tahun terakhir.
“Laporan tersebut menunjukkan bahwa bias yang terus-menerus menghalangi perempuan untuk mengejar karier di bidang STEM – yang pada akhirnya mengakibatkan kurangnya perempuan dalam angkatan kerja di bidang teknologi,” tegasnya.
Perempuan memegang kurang dari 25 persen pekerjaan di bidang sains, teknik, teknologi informasi dan komunikasi. Mereka hanya mencakup 26 persen karyawan di bidang data dan kecerdasan buatan, 15 persen di bidang teknik, dan 12 persen di bidang komputasi awan di seluruh negara dengan perekonomian terkemuka di dunia.
UNESCO juga mengungkapkan bahwa hanya 17 persen permohonan paten yang diajukan oleh perempuan di seluruh dunia. “Bukti menunjukkan bahwa transformasi digital dipimpin oleh laki-laki,” katanya.
Meskipun 68 persen negara mempunyai kebijakan untuk mendukung pendidikan STEM, organisasi mengungkapkan hanya setengah dari kebijakan tersebut yang secara khusus mendukung anak perempuan dan perempuan.
Dengan begitu, negara harus membuat kebijakan yang dapat mempromosikan teladan, termasuk di media sosial, untuk mendorong pilihan karier di bidang STEM di kalangan perempuan muda.
“Meningkatkan akses anak perempuan terhadap studi STEM adalah kunci untuk memastikan bahwa perempuan berpartisipasi secara setara dalam transformasi digital di masyarakat kita, dan mendukung rancangan teknologi yang benar-benar inklusif,” katanya.
Baca juga: Bermedia Sosial dengan Bijak, Ini Cara Menjaga Kesehatan Mental dari Dampak Negatif Internet
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.