Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Prilly Latuconsina (kedua kanan) bersama dengan Aktor Senior Rano Karno (dari kiri) bersama dengan Aktor Chelsea Islan, Produser Hanung Bramantyo, Penulis Skenario Irfan Ramli, Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Prilly Latuconsina dan Deputi Bidang Ekonomi Digital & Produk Kreatif Muhammad Neil El Himam saat acara Diskusi Panel spesial bertajuk Good Story, Great Actors di Jakarta, Sabtu (30/3/2024). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti )

Fenomena Aktor Anyar Bermodal Follower Jutaan & Isu Sertifikasi Keaktoran, Perlukah?

30 March 2024   |   22:11 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Kemunculan aktor-aktor baru yang dipilih karena punya pengikut yang banyak di media sosial belakangan makin jamak ditemui di perfilman Indonesia. Tidak dikenal rimbanya sebelumnya, orang dengan follower jutaan tersebut bisa langsung bermain film, bahkan mengisi peran-peran krusial.

Kemunculan aktor-aktor berbasis aset digital ini pun jadi fenomena yang menarik. Namun, efek dari fenomena ini rupanya cukup berdampak serius. Tidak lagi sesederhana keperluan marketing, tetapi lebih luas daripada itu. 

Baca juga: Aktor Masih Tergolong Buruh, PARFI dorong UU Ketenagakerjaan Aktor

Produser sekaligus sutradara Hanung Bramantyo mengatakan kehadiran aktor berbasis follower ini terasa cukup meresahkan. Mereka rata-rata masih muda dan secara kualitas pun sangat jauh dari aktor senior.

Namun, kalau bicara fee, mereka itu kerap kali jadi yang tertinggi. Hal ini menciptakan sebuah iklim di dunia keaktoran dan secara umum perfilman tidak sehat. Sebab, tidak hanya merusak harga pasar, tetapi juga ekosistem secara keseluruhan.

 
Produser Hanung Bramantyo saat acara Diskusi Panel spesial bertajuk Good Story, Great Actors di Jakarta, Sabtu (30/3/2024). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti )
“Ampun ini aktor-aktor muda. Enggak tahu muncul dari mana, tetapi gara-gara follower banyak terus bisa bikin produser bilang ‘pakai ini saja ya’. Padahal, untuk sekadar dubbing saja, itu mereka kadang harus diajarin dahulu,” ungkap Hanung di Pita Sequis Center, Jakarta, Sabtu (30/3/2024).

Namun, kemunculan mereka kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang seksi bagi produser. Meski belum bisa apa-apa dalam dunia film, mereka kerap didapuk jadi peran utama atau peran penting demi harapan bisa menggaet penonton.

Hanung mengatakan kalau aktor berbasis follower ini jadi pemeran utama, bujet mereka kerap kali sangat tinggi mengalahkan aktor-aktor senior lain. Bujet tinggi tersebut sering kali mengorbankan hal lain, seperti biaya syuting, demi bisa mendatangkan aktor baru berbasis follower jutaan tersebut.

“Bujet 10 persen sampai 20 persen itu bisa diambil oleh aktor muda ini, tetapi kerjanya entah seperti apa. Padahal, alokasi bujet produksi ini penting sekali karena berurusan dengan banyak hal,” imbuhnya.

Dia berharap, PARFI 56 sebagai organisasi aktor bisa hadir dan merespons hal tersebut. Di luar itu, Hanung berharap para pelaku film, termasuk produser dan investor, bisa lebih melihat sinema sebagai sebuah produk kesenian yang utuh.

Film tidak hanya bicara soal aktornya siapa, tetapi lebih besar dari itu. Baginya, film adalah produk kolektif yang masing-masing divisi punya peran yang sama pentingnya.

“Produser-produser please-lah, yang punya duit ini, original story dan the great actor itu kuncinya. Bukan aktor dengan follower banyak,” tegasnya.


Perlukah Sertifikasi Keaktoran?

 
Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Marcella Zalianty memberikan sambutan saat acara Hari Film Nasional 2024 di Jakarta, Sabtu (30/3/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti )

Kemunculan aktor-aktor tanpa latar belakang kesenian, hanya berbasis follower semata, membuat isu sertifikasi keaktoran menguat lagi. Sertifikasi dinilai bisa memunculkan suatu standar baru agar hal-hal tersebut bisa tersaring lebih awal.

Sertifikasi juga punya peranan penting untuk meningkatkan kualitas dan daya saing. Tenaga terserifikasi juga akan lebih diakui dibanding mereka yang tidak memiliki sertifikasi keahlian. Namun, hingga hari ini perlu atau tidaknya hal tersebut memang masih menimbulkan pro dan kontra.

Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI 56) Marcella Zalianty mengatakan sertifikasi keaktoran memang masih menjadi pro dan kontra saat ini. Tentu isu ini perlu pembahasan lebih lanjut untuk menemui jalan tengah.

Namun, sikap PARFI 56 masih sama, yakni mendukung adanya sertifikasi keaktoran. Sejauh ini diskusi-diskusi terus dilakukan, termasuk dengan Kemenaker dan Kemenparekraf.

Marcella mengatakan sertifikasi jadi hal penting agar orang-orang yang terlibat di dunia film, dalam hal ini aktor, benar-benar diakui memiliki keahlian. Hal ini juga bisa mencegah berbagai produk instan terjadi.

Misalnya, yang terjadi belakangan ini terkait aktor dengan aset digital besar, yakni punya follower jutaan yang bisa langsung melenggang masuk ke dunia film.

Beberapa dari mereka bahkan bisa masuk ke peran utama dan punya fee yang paling besar. Padahal, dia belum punya proses yang panjang di dunia film.

Hal tersebut membuat beberapa aktor yang telah meniti karier lebih lama bahkan senior, mendapatkan peran yang lebih sedikit. Sesuatu yang dianggapnya kurang sehat sebagai sebuah sistem.

“Kami ingin ada cerita yang lebih kaya untuk memberikan ruang kepada aktor-aktor senior untuk lebih tampil, bahkan menjadi peran utama,” terangnya.

Marcella berharap isu-isu ini juga bisa menjadi salah satu hal penting yang dibahas ketika nantinya upaya revisi UU Nomor 33/2009 tentang Perfilman bisa dilakukan.

Harapannya upaya menghadirkan industri yang sehat bisa segera tercapai. Termasuk, kiprah aktor sebagai pekerja seni yang hingga hari ini masih dianggap belum mendapatkan perlindungan yang semestinya, bahkan statusnya belum dianggap sebagai profesi profesional.


Follower vs Jumlah penonton

 
Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Prilly Latuconsina  JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti )
Aktris yang belakangan lebih sering menjadi produser, Prilly Latuconsina, mengatakan kalau aktor dengan follower jutaan sebenarnya tak punya korelasi yang sejalan dengan jumlah penonton.

“Aku kebetulan jadi Chief Marketing Officer di PH Sinemaku dan aku tahu persis followers tidak berpengaruh apa-apa pada film. Itu hanya bonus. Iya tahu followers bisa membuat sebuah marketing menyebar lebih luas, tetapi kalau kontennya sendiri enggak bagus tidak akan berpengaruh pada tiket bioskop,” ucap Prilly.

Konten tetap jadi sesuatu yang penting. Cerita dan eksekusinya sebenarnya adalah nilai jual utama sebuah film. Sebab, dengan sendirinya film nanti akan dibicarakan dan penonton akan datang ke bioskop.

Dalam hal ini, marketing adalah pendorong tambahan agar film tersebut bisa bertemu dengan penontonnya. Ujungnya tetap penonton mesti membicarakan film dan membuatnya jadi populer secara organik. 

Baca juga: Hanung Bramantyo Ungkap Formula Jam Syuting Sehat & Bujet Produksi

“Kalau hari pertama ditonton orang dan film itu enggak diomongin, tetap enggak akan dapat penonton yang banyak. Artinya, tidak butuh follower jutaan untuk membuat film berkualitas, justru cerita, great actor, dan strategi marketing yang tepat yang penting,” imbuhnya. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Hari Backup Sedunia 31 Maret, Begini Cara-cara Melindungi Data Pribadi 

BERIKUTNYA

Hypeprofil Mira Hoeng: Menghidupkan Mimpi & Berbagi Kebahagiaan lewat Jenama MIWA Pattern

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: