Tapak Tilas Karya Patung Gregorius Sidharta di Art Agenda Jakarta
27 February 2024 |
17:11 WIB
Bagi sebagian masyarakat, patung merupakan karya seni yang hadir di ruang publik sebagai penanda kawasan tertentu. Bahkan, alih-alih mengingat nama jalan, patung-patung dari karya seniman lokal kerap menjadi ikon beberapa kota besar di Indonesia.
Warga Ibu kota misalnya, bisa melabang ke daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan menemukan karya monumen Tonggak Samudra. Bisa juga pergi ke Tugu Proklamasi, di daerah Jakarta Pusat dan melihat Monumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta.
Sejumlah monumen di muka merupakan karya Gregorius Sidharta, yang saat ini karyanya yang lain dipacak di Art Agenda, Jakarta. Mengambil tajuk Unearthed, pameran ini menghadirkan 15 patung berbagai ukuran, karya mendiang pembaharu seni rupa Indonesia itu.
Baca juga: Jadi Maskot Museum, Simak Asal-Usul Patung Gajah & Sejarah Pendirian Museum Nasional
Seperti lewat patung Pembangunan Hari Depan (the base patinated bronze, 149x64x44 cm, 2004). Edisi karya yang monumennya juga terdapat di Gresik, Jawa Timur itu pun, turut ditampilkan dalam ekshibisi ini agar publik bisa melihat dan mengapresiasinya secara lebih dekat.
Wanda, atau sifat keseluruhan dari karya ini menimba dua sosok yang saling menyatukan tangan di atas kepala. Lewat pendekatan abstrak figuratif, Sidharta seolah sedang memvisualkan gagasan universal mengenai bentuk kehidupan yang harmonis sekaligus spiritual.
Tampak, kedua figur berdiri dalam soliditas, membentuk komposisi secara asimetris. Kendati begitu, sang seniman juga memberi ruang kosong di antara kedua torso dan pinggang, ibarat garis yin dan yang, laiknya dua kekuatan yang berhubungan sekaligus berseberangan.
Tema serupa juga terlihat dalam karya Sang Buddha (the base bronze on a stone base 56x45x15 cm, 2003). Tampak ledang, atau latar depan, patung ini menggambarkan wujud Buddha dalam posisi bersila di atas kura-kura dengan berbagai simbol-simbol spiritual dalam kepercayaan tertentu.
Namun, tidak melulu menampilkan puspa rupa patung spiritual seperti lewat Yesus (2004), pameran ini juga menghadirkan karya-karya yang menceritakan kehidupan sehari-hari. Terepresentasi dalam karya berjudul Kuda (1987), Penjual Bunga (1986), Berpelukan (1999), atau Ayah dan Anak (2001).
Empat karya terakhir, secara umum menampilkan corak pengkaryaan Sidharta saat masih menekuni bentuk-bentuk nilai estetika realis. Kendati blabar atau konturnya menggunakan pendekatan yang berbeda, dari kasar hingga halus, tapi semuanya seolah memvisualkan hubungan manusia dengan liyan, yang hangat dan riang.
Ada juga karya lain, meski dalam kisaran tahun yang sama, tapi merefleksikan tegangan estetik antara yang tradisional-modern hingga primitif-deformatif. Seperti terejawantah dalam karya Ksatria dan Pedang (2005), Tapir (2005), Jagoan (1982), dan Ayam Jantan (1991).
Seniman Pelopor
Ursula Tabitha, bagian dari tim galeri Art Agenda mengatakan bahwa belasan karya yang dihadirkan memang merepresentasikan corak pengkaryaan Sidharta dari masa ke masa. Terutama dalam mengekspresikan bentuk-bentuk dasar, nilai-nilai estetika, dan geometri konstruktif sang seniman yang tidak terbatas.
Menurut Bitha, panggilan akrab Tabitha, lewat pameran ini sang seniman terampil menggambarkan sifat dan perilaku untuk menghasilkan karakter yang khas. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam ekspresi yang malar, atau berkesinambungan, baik dalam karya-karyanya yang berdimensi kecil maupun besar.
"Sosok Sidharta merupakan figur penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Dia salah satu pelopor dari Asosiasi Pematung Indonesia (API) yang namanya, mungkin jarang diketahui anak-anak muda saat ini,"katanya.
Kolektor gaek Oei Hong Djien mengatakan, Gregorius Sidharta selama hidupnya tak pernah meninggalkan dunia akademi bahkan setelah purna bakti. Oleh karena itu, karya-karyanya merupakan manifestasi dari perkembangan pikiran, pandangan, dan perasaan dari situasi zaman yang dialami pada eranya.
Menurut OHD, Sidharta adalah sosok yang berani melawan arus untuk menciptakan sesuatu yang baru, lebih daripada pematung di zamannya. Selain itu, dia juga menjadi teman seangkatan Edhi Sunarso di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang karya-karya monumentalnya banyak menghiasi sudut kota-kota besar di Indonesia.
"Edhi Sunarso ini sering mendapat tugas membuat monumen patung publik lewat karya-karya heroik, yang cukup berbeda dengan Sidharta. Keistimewaan dari G. Sidharta adalah, dia lahir dari keluarga Katolik yang taat, sehingga sangat menghayati karya-karyanya tentang Salib dan Kristus," katanya.
Sementara itu, Gregorius Bima Bathara, anak dari mendiang G. Sidharta menuturkan ayahnya adalah seorang yang tekun dalam mengeksplorasi bentuk. Misalnya, terfleksi lewat karya trimatra yang awalnya dibuat dalam ukuran kecil hingga besar, dengan tetap memperhatikan proporsi, skala, dan orientasi keseimbangan.
Di mata sang anak, Sidharta merupakan sosok ayah yang membebaskan anaknya untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai. Kendati begitu, dia tetap memperkenalkan sentuhan seni pada anak-anaknya, seperti bagaimana cara menggambar yang baik, bermain musik, atau kegiatan kesenian lainnya.
Baca juga: 10 Fakta KAWS, Seniman yang Menggeletakkan Patung Raksasa di Candi Prambanan
"Hobi saya itu balapan, dan ayah tidak menyalahkan itu, tapi membebaskan dengan tanggung jawab pribadi. Beliau lebih banyak mengajarkan sebuah sistem, di mana seseorang bisa membangun apa yang dicita-citakan, dan berupa untuk merebutnya" kata Bathara.
Editor: Fajar Sidik
Warga Ibu kota misalnya, bisa melabang ke daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan menemukan karya monumen Tonggak Samudra. Bisa juga pergi ke Tugu Proklamasi, di daerah Jakarta Pusat dan melihat Monumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta.
Sejumlah monumen di muka merupakan karya Gregorius Sidharta, yang saat ini karyanya yang lain dipacak di Art Agenda, Jakarta. Mengambil tajuk Unearthed, pameran ini menghadirkan 15 patung berbagai ukuran, karya mendiang pembaharu seni rupa Indonesia itu.
Baca juga: Jadi Maskot Museum, Simak Asal-Usul Patung Gajah & Sejarah Pendirian Museum Nasional
Seperti lewat patung Pembangunan Hari Depan (the base patinated bronze, 149x64x44 cm, 2004). Edisi karya yang monumennya juga terdapat di Gresik, Jawa Timur itu pun, turut ditampilkan dalam ekshibisi ini agar publik bisa melihat dan mengapresiasinya secara lebih dekat.
Wanda, atau sifat keseluruhan dari karya ini menimba dua sosok yang saling menyatukan tangan di atas kepala. Lewat pendekatan abstrak figuratif, Sidharta seolah sedang memvisualkan gagasan universal mengenai bentuk kehidupan yang harmonis sekaligus spiritual.
Tampak, kedua figur berdiri dalam soliditas, membentuk komposisi secara asimetris. Kendati begitu, sang seniman juga memberi ruang kosong di antara kedua torso dan pinggang, ibarat garis yin dan yang, laiknya dua kekuatan yang berhubungan sekaligus berseberangan.
karya berjudul Sang Buddha (sumber gambar dok. Art Agenda)
Namun, tidak melulu menampilkan puspa rupa patung spiritual seperti lewat Yesus (2004), pameran ini juga menghadirkan karya-karya yang menceritakan kehidupan sehari-hari. Terepresentasi dalam karya berjudul Kuda (1987), Penjual Bunga (1986), Berpelukan (1999), atau Ayah dan Anak (2001).
Empat karya terakhir, secara umum menampilkan corak pengkaryaan Sidharta saat masih menekuni bentuk-bentuk nilai estetika realis. Kendati blabar atau konturnya menggunakan pendekatan yang berbeda, dari kasar hingga halus, tapi semuanya seolah memvisualkan hubungan manusia dengan liyan, yang hangat dan riang.
Ada juga karya lain, meski dalam kisaran tahun yang sama, tapi merefleksikan tegangan estetik antara yang tradisional-modern hingga primitif-deformatif. Seperti terejawantah dalam karya Ksatria dan Pedang (2005), Tapir (2005), Jagoan (1982), dan Ayam Jantan (1991).
Seniman Pelopor
Ursula Tabitha, bagian dari tim galeri Art Agenda mengatakan bahwa belasan karya yang dihadirkan memang merepresentasikan corak pengkaryaan Sidharta dari masa ke masa. Terutama dalam mengekspresikan bentuk-bentuk dasar, nilai-nilai estetika, dan geometri konstruktif sang seniman yang tidak terbatas.
Menurut Bitha, panggilan akrab Tabitha, lewat pameran ini sang seniman terampil menggambarkan sifat dan perilaku untuk menghasilkan karakter yang khas. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam ekspresi yang malar, atau berkesinambungan, baik dalam karya-karyanya yang berdimensi kecil maupun besar.
"Sosok Sidharta merupakan figur penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Dia salah satu pelopor dari Asosiasi Pematung Indonesia (API) yang namanya, mungkin jarang diketahui anak-anak muda saat ini,"katanya.
Kolektor gaek Oei Hong Djien mengatakan, Gregorius Sidharta selama hidupnya tak pernah meninggalkan dunia akademi bahkan setelah purna bakti. Oleh karena itu, karya-karyanya merupakan manifestasi dari perkembangan pikiran, pandangan, dan perasaan dari situasi zaman yang dialami pada eranya.
Menurut OHD, Sidharta adalah sosok yang berani melawan arus untuk menciptakan sesuatu yang baru, lebih daripada pematung di zamannya. Selain itu, dia juga menjadi teman seangkatan Edhi Sunarso di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang karya-karya monumentalnya banyak menghiasi sudut kota-kota besar di Indonesia.
"Edhi Sunarso ini sering mendapat tugas membuat monumen patung publik lewat karya-karya heroik, yang cukup berbeda dengan Sidharta. Keistimewaan dari G. Sidharta adalah, dia lahir dari keluarga Katolik yang taat, sehingga sangat menghayati karya-karyanya tentang Salib dan Kristus," katanya.
Sementara itu, Gregorius Bima Bathara, anak dari mendiang G. Sidharta menuturkan ayahnya adalah seorang yang tekun dalam mengeksplorasi bentuk. Misalnya, terfleksi lewat karya trimatra yang awalnya dibuat dalam ukuran kecil hingga besar, dengan tetap memperhatikan proporsi, skala, dan orientasi keseimbangan.
Di mata sang anak, Sidharta merupakan sosok ayah yang membebaskan anaknya untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai. Kendati begitu, dia tetap memperkenalkan sentuhan seni pada anak-anaknya, seperti bagaimana cara menggambar yang baik, bermain musik, atau kegiatan kesenian lainnya.
Baca juga: 10 Fakta KAWS, Seniman yang Menggeletakkan Patung Raksasa di Candi Prambanan
"Hobi saya itu balapan, dan ayah tidak menyalahkan itu, tapi membebaskan dengan tanggung jawab pribadi. Beliau lebih banyak mengajarkan sebuah sistem, di mana seseorang bisa membangun apa yang dicita-citakan, dan berupa untuk merebutnya" kata Bathara.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.