Waspadai Hipertensi Agar Tak Alami Gagal Jantung
07 June 2021 |
14:30 WIB
Mengenal ciri hipertensi memang tidak mudah. Menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, diagnosis hipertensi ditegakkan apabila Tekanan Darah Sistolik (TDS) lebih dari 140mmHg dan/atau Tekanan Darah Diastolik (TDD) lebih dari 90 mmHg dalam pengukuran di klinik ataupun di rumah sakit.
Tak hanya di dua fasilitas medis ini, Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia juga menganjurkan pentingnya mengecek tekanan darah di luar klinik, misalnya di rumah. Syaratnya, di rumah pasien harus tersedia Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau Home Blood Pressure Monitoring (HBPM).
Tujuan dari pengecekan di luar fasilitas kesehatan adalah untuk memonitor rata-rata tekanan darah pasien. Profil pengukuran ABPM pun hendaknya diilihat dari pola tidur dan aktivitas pasien. Lantas, apa yang terjadi jika pasien tidak telaten dalam mengecek dan mengelola tekanan darahnya?
Dokter Spesialis Jantung Pembuluh Darah RS Jantung Harapan Kita, Dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K) menyatakan berdasarkan sebuah studi medis, sekitar 26 persen populasi dunia atau sekitar 972 juta orang pada tahun 2000 menderita hipertensi dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat menjadi 29 persen pada 2025.
Di Indonesia, prevalensi hipertensi pada 2018 berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia di atas 18 tahun sebesar 34,1 persen. Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebanyak 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun sebanyak 31,6 persen, umur 45-54 tahun sebanyak 45,3 persen, dan umur 55-64 tahun sebesar 55,2%.
Artinya, meski berada dalam masa pandemi, para pasien tekanan darah harus bisa menjaga stabilitas kesehatan tekanan darah.
“Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak, jantung, ginjal, mata, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah tepi. Salah satunya yang harus diwaspadai adalah terjadinya gagal jantung yang berujung pada kematian,” kata Ario.
Secara terperinci, Ario menerangkan gagal jantung merupakan kondisi kronis yang disebabkan oleh hipertensi. Pasalnya, hipertensi menyebabkan pembuluh darah menyempit dan mengakibatkan beban kerja jantung bertambah berat.
Penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah membuat dinding ruang pompa jantung menebal (left ventricular hypertrophy) dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko gagal jantung. Untuk memompa darah melawan tekanan yang lebih tinggi di pembuluh, jantung harus bekerja lebih keras sehingga terjadi penyempitan arteri membuat darah lebih sulit mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh.
“Dengan demikian, hipertensi membuat kerja jantung menjadi berlebihan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen dan nutrisi, namun kondisi jantung menjadi lebih sulit bekerja sehingga pada akhirnya jatuh ke kondisi gagal jantung,” jelasnya.
Asal tahu saja, prevalensi gejala gagal jantung di negara-negara Asia Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Fakta dan angka menunjukan bahwa gagal jantung merupakan masalah yang terus berkembang di Asia Tenggara akibat pertumbuhan penduduk yang pesat.
Gagal jantung yang sering diistilahkan sebagai silent killer itu juga merupakan masalah kesehatan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Prevalensi gagal jantung di Indonesia mencapai 5 persen dari total populasi. Angka prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan data prevalensi gagal jantung di populasi Eropa dan Amerika yang berkisar antara 1-2 persen.
Rerata usia saat perawatan akibat gagal jantung di Indonesia cenderung lebih muda yaitu 58 tahun, dibandingkan data yang sama di beberapa negara Asia Tengara seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand di atas 60 tahun. Selain itu, jumlah pria penderita gagal jantung 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan perempuan.
Tingkat mortalitas pada pasien dengan gagal jantung yang bergejala masih cukup tinggi, yakni mencapai 25% pada satu tahun, dan 50 persen pada lima tahun pertama paska diagnosis.
Data dari pengalaman klinis di Pusat Jantung Nasional dan beberapa pusat layanan jantung daerah di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat gagal jantung pada pasien yang dirawat di rumah sakit mencapai 6,7 persen dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan estimasi tingkat kematian akibat gagal jantung di rumah sakit di kawasan Asia Pasifik 4,8 persen dan Amerika Serikat 3,0 persen.
Kondisi tersebut masih sangat berpeluang berubah karena dihadapkan dengan tantangan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, Ario menegaskan kepada pasien hipertensi dengan Covid-19 positif rawat inap, pasien harus tetap mengkonsumsi obat anti-hipertensi.
“Jadi tidak perlu mengganti jenis obat anti hipertensi, monitoring aritmia yang sering terjadi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, cek kadar kalium karena rendahnya kadar kalium dalam darah (hypokalemia) sering terjadi pada pasien Covid-19 yang dirawat,” tambahnya.
Selain rutin mengontrol tekanan darah dari rumah, Ario juga menyarankan pasien tetap memanfaatkan beberapa golongan obat tekanan darah yang dapat menjadi pilihan pertama. Syarat penggunaan obat adalah bukan hanya mencapai target tekanan yang diinginkan namun juga mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam waktu 24 jam.
“Pengelolaan tekanan darah 24 jam sangat penting dalam mengurangi risiko kardiovaskular. Sebab, peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik di pagi hari meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular,” tutur Ario.
Editor: M R Purboyo
Tak hanya di dua fasilitas medis ini, Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia juga menganjurkan pentingnya mengecek tekanan darah di luar klinik, misalnya di rumah. Syaratnya, di rumah pasien harus tersedia Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau Home Blood Pressure Monitoring (HBPM).
Tujuan dari pengecekan di luar fasilitas kesehatan adalah untuk memonitor rata-rata tekanan darah pasien. Profil pengukuran ABPM pun hendaknya diilihat dari pola tidur dan aktivitas pasien. Lantas, apa yang terjadi jika pasien tidak telaten dalam mengecek dan mengelola tekanan darahnya?
Dokter Spesialis Jantung Pembuluh Darah RS Jantung Harapan Kita, Dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K) menyatakan berdasarkan sebuah studi medis, sekitar 26 persen populasi dunia atau sekitar 972 juta orang pada tahun 2000 menderita hipertensi dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat menjadi 29 persen pada 2025.
Di Indonesia, prevalensi hipertensi pada 2018 berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia di atas 18 tahun sebesar 34,1 persen. Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebanyak 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun sebanyak 31,6 persen, umur 45-54 tahun sebanyak 45,3 persen, dan umur 55-64 tahun sebesar 55,2%.
Artinya, meski berada dalam masa pandemi, para pasien tekanan darah harus bisa menjaga stabilitas kesehatan tekanan darah.
“Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak, jantung, ginjal, mata, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah tepi. Salah satunya yang harus diwaspadai adalah terjadinya gagal jantung yang berujung pada kematian,” kata Ario.
Secara terperinci, Ario menerangkan gagal jantung merupakan kondisi kronis yang disebabkan oleh hipertensi. Pasalnya, hipertensi menyebabkan pembuluh darah menyempit dan mengakibatkan beban kerja jantung bertambah berat.
Penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah membuat dinding ruang pompa jantung menebal (left ventricular hypertrophy) dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko gagal jantung. Untuk memompa darah melawan tekanan yang lebih tinggi di pembuluh, jantung harus bekerja lebih keras sehingga terjadi penyempitan arteri membuat darah lebih sulit mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh.
“Dengan demikian, hipertensi membuat kerja jantung menjadi berlebihan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen dan nutrisi, namun kondisi jantung menjadi lebih sulit bekerja sehingga pada akhirnya jatuh ke kondisi gagal jantung,” jelasnya.
Asal tahu saja, prevalensi gejala gagal jantung di negara-negara Asia Tenggara lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Fakta dan angka menunjukan bahwa gagal jantung merupakan masalah yang terus berkembang di Asia Tenggara akibat pertumbuhan penduduk yang pesat.
Gagal jantung yang sering diistilahkan sebagai silent killer itu juga merupakan masalah kesehatan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Prevalensi gagal jantung di Indonesia mencapai 5 persen dari total populasi. Angka prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan data prevalensi gagal jantung di populasi Eropa dan Amerika yang berkisar antara 1-2 persen.
Rerata usia saat perawatan akibat gagal jantung di Indonesia cenderung lebih muda yaitu 58 tahun, dibandingkan data yang sama di beberapa negara Asia Tengara seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand di atas 60 tahun. Selain itu, jumlah pria penderita gagal jantung 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan perempuan.
Tingkat mortalitas pada pasien dengan gagal jantung yang bergejala masih cukup tinggi, yakni mencapai 25% pada satu tahun, dan 50 persen pada lima tahun pertama paska diagnosis.
Data dari pengalaman klinis di Pusat Jantung Nasional dan beberapa pusat layanan jantung daerah di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat gagal jantung pada pasien yang dirawat di rumah sakit mencapai 6,7 persen dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan estimasi tingkat kematian akibat gagal jantung di rumah sakit di kawasan Asia Pasifik 4,8 persen dan Amerika Serikat 3,0 persen.
Kondisi tersebut masih sangat berpeluang berubah karena dihadapkan dengan tantangan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, Ario menegaskan kepada pasien hipertensi dengan Covid-19 positif rawat inap, pasien harus tetap mengkonsumsi obat anti-hipertensi.
“Jadi tidak perlu mengganti jenis obat anti hipertensi, monitoring aritmia yang sering terjadi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, cek kadar kalium karena rendahnya kadar kalium dalam darah (hypokalemia) sering terjadi pada pasien Covid-19 yang dirawat,” tambahnya.
Selain rutin mengontrol tekanan darah dari rumah, Ario juga menyarankan pasien tetap memanfaatkan beberapa golongan obat tekanan darah yang dapat menjadi pilihan pertama. Syarat penggunaan obat adalah bukan hanya mencapai target tekanan yang diinginkan namun juga mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam waktu 24 jam.
“Pengelolaan tekanan darah 24 jam sangat penting dalam mengurangi risiko kardiovaskular. Sebab, peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik di pagi hari meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular,” tutur Ario.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.