Bukan Hanya Karena Bakteri, Yuk Kenali Bahaya di Balik Makanan yang Terkontaminasi
03 February 2024 |
08:31 WIB
Makanan sehat tak menjamin bebas dari kontaminasi zat berbahaya. Artinya, manusia tak hanya perlu memilah jenis makanan yang bergizi, melainkan juga memperhatikan teknik mengolah makanan yang baik. Pengelolaan makanan memang menjadi tantangan lain di samping memastikan asupan makanan sehat.
Teknik mengolah makanan yang baik dapat membantu nutrisi dalam makanan tetap terjaga dari kontaminasi zat yang tidak diinginkan.
Baca juga: Bayam Sebaiknya Dikonsumsi Segera Setelah Matang, Ini Alasannya
Seperti diketahui, kontaminasi yang terjadi pada makanan bisa menyebabkan penyakit. Dalam dunia medis, penyakit akibat pangan dikenal dengan food borne illness. Angka kejadiannya pun tak main-main. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan sekitar 600 juta atau 1 dari 10 orang di dunia menderita penyakit karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Diperkirakan sebanyak US$110 miliar terpangkas karena perkara kontaminasi makanan, utamanya di negara-negara dengan berpenghasilan menengah. Terhitung 420.000 orang meninggal per tahun akibat kontaminasi makanan di seluruh dunia.
Di Indonesia, laporan Asia Pacific Journal of Food Safety and Security menyebutkan sekitar 10-22 juta kasus diare di Indonesia terjadi akibat pangan tercemar terjadi dalam satu tahun. Laporan BPOM RI mencatat sebanyak 5.505 kasus keracunan makanan terjadi pada 2022.
Sekitar 2.788 orang mengalami gejala sakit, dan 5 diantaranya meninggal dunia. Kasus keracunan makanan ini membuat Indonesia menggendong beban ekonomi negara mencapai kurang lebih Rp64,8 hingga Rp226,3 triliun.
Penyakit yang disebabkan oleh makanan ini terjadi karena adanya kontaminasi bakteri, virus, parasit, hingga cemaran kimia dan toksin. Jenis bakteri seperti Salmonella sp, Vibrio cholerae, Escherichia Coli dan lainnya paling banyak ditemukan dalam kasus kontaminasi makanan. Sementara kontaminasi makanan juga bisa disebabkan oleh kontaminasi virus hepatitis A dan E, virus polio, hingga virus gastroenteritis.
Jenis cemaran kimia dan toksin seperti logam berat, nitrat, residu pestisida, dan lainnya juga menjadi perhatian khusus dalam kontaminasi makanan. Data BPOM RI yang memaparkan dugaan penyebab keracunan pangan di Indonesia sebagian besar terjadi karena pengaruh cemaran bakteri patogen.
Setidaknya dari data yang dihimpun BPOM RI pada 2019, sekitar 43,2% keracunan pangan terjadi karena cemaran bakteri patogen. Sementara 11,1% lainnya terjadi karena cemaran kimia dan toksin dan sekitar 33,3% lainnya tidak diketahui penyebabnya.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroentero dan Hepatologi Nella Suhuyanly menjelaskan bahwa penyakit tifoid atau yang biasa dikenal dengan demam tifus merupakan salah satu diantara jenis penyakit yang terjadi akibat kontaminasi makanan.
Keracunan makanan ini juga bisa memicu penyakit hepatitis A, sebab kontaminasi virus hepatitis A dan E juga berisiko mendorong terjadinya keracunan makanan. Menurut Nella, penyakit ini bisa muncul karena faktor-faktor makanan yang tidak diolah dengan baik.
Sementara dalam kasus demam tifus, Nella menyambung bahwa kontaminasi bakteri yang datang dari asupan makanan berkontribusi mendorong penyakit ini. Salah satunya adalah bakteri Salmonella sp yang mendorong gejala seperti demam, mual, muntah, dan diare.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI Yoga Devaera menjelaskan bahwa data Kemenkes RI menyebut keracunan pangan paling banyak terjadi dari masakan rumah tangga dan jasa boga. Lebih lanjut, Yoga menjelaskan jika porsi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan antara jasa boga dan masakan rumah tangga berada pada pun cukup besar.
“Sebanyak 42% keracunan pangan di Indonesia terjadi dari cemaran bakteri, dan sebanyak 28%-nya terjadi di rumah tangga. Padahal rumah salah satu tempat yang seharusnya aman. Artinya ada yang salah dalam pengelolaan pangannya, ” katanya.
Sementara keracunan akibat pangan jajanan, pangan jajanan sekolah, dan pangan kemasan masing-masing berada di bawah 10%. Sekitar 25% lain penyebabnya belum diketahui.
Untuk menjaga nutrisi makanan terjaga dari kontaminasi bakteri, Yoga menjelaskan perlunya melakukan langkah memastikan pangan aman. Selain memastikan kebersihan tangan, diperlukan pula pemisahan pangan mentah dan pangan matang agar satu bahan dengan bahannya tidak saling mengkontaminasi.
Pengelolaan makanan dengan memastikan memasak makanan hingga matang serta menyimpan pangan pada suhu yang tepat juga perlu dilakukan. Yoga mencontohkan, misalnya untuk jenis olahan telur sebaiknya dimasak hingga matang sempurna.
“Di Indonesia sendiri untuk telur kita ada risiko kontaminasi salmonella yang bisa menyebabkan penyakit saluran cerna,” katanya. Sementara penyimpanan makanan pada suhu makanan yang tepat perlu dilakukan untuk mencegah regenerasi bakteri.
“Bakteri bisa berkembang biak dalam waktu cepat, jadi jika pangan tidak disimpan pada suhu yang tepat bisa rawan terkontaminasi," katanya.
Makanan harus berada pada suhu dingin di bawah 5 derajat celcius, sementara untuk makanan yang panas harus terjaga di atas 60 derajat celcius. Biasanya cemaran bakteri juga bisa terjadi karena kesalahan penyimpanan letak pangan di kulkas.
Yoga menyebutkan, sudah seharusnya produk-produk hewani seperti daging dan ikan diletakkan pada bagian paling bawah dari kulkas. Ini dilakukan untuk menghindari risiko cemaran bakteri dari pangan mentah mencemari pangan lain di dalam kulkas.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Teknik mengolah makanan yang baik dapat membantu nutrisi dalam makanan tetap terjaga dari kontaminasi zat yang tidak diinginkan.
Baca juga: Bayam Sebaiknya Dikonsumsi Segera Setelah Matang, Ini Alasannya
Seperti diketahui, kontaminasi yang terjadi pada makanan bisa menyebabkan penyakit. Dalam dunia medis, penyakit akibat pangan dikenal dengan food borne illness. Angka kejadiannya pun tak main-main. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan sekitar 600 juta atau 1 dari 10 orang di dunia menderita penyakit karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Diperkirakan sebanyak US$110 miliar terpangkas karena perkara kontaminasi makanan, utamanya di negara-negara dengan berpenghasilan menengah. Terhitung 420.000 orang meninggal per tahun akibat kontaminasi makanan di seluruh dunia.
Di Indonesia, laporan Asia Pacific Journal of Food Safety and Security menyebutkan sekitar 10-22 juta kasus diare di Indonesia terjadi akibat pangan tercemar terjadi dalam satu tahun. Laporan BPOM RI mencatat sebanyak 5.505 kasus keracunan makanan terjadi pada 2022.
Sekitar 2.788 orang mengalami gejala sakit, dan 5 diantaranya meninggal dunia. Kasus keracunan makanan ini membuat Indonesia menggendong beban ekonomi negara mencapai kurang lebih Rp64,8 hingga Rp226,3 triliun.
Penyakit yang disebabkan oleh makanan ini terjadi karena adanya kontaminasi bakteri, virus, parasit, hingga cemaran kimia dan toksin. Jenis bakteri seperti Salmonella sp, Vibrio cholerae, Escherichia Coli dan lainnya paling banyak ditemukan dalam kasus kontaminasi makanan. Sementara kontaminasi makanan juga bisa disebabkan oleh kontaminasi virus hepatitis A dan E, virus polio, hingga virus gastroenteritis.
Jenis cemaran kimia dan toksin seperti logam berat, nitrat, residu pestisida, dan lainnya juga menjadi perhatian khusus dalam kontaminasi makanan. Data BPOM RI yang memaparkan dugaan penyebab keracunan pangan di Indonesia sebagian besar terjadi karena pengaruh cemaran bakteri patogen.
Setidaknya dari data yang dihimpun BPOM RI pada 2019, sekitar 43,2% keracunan pangan terjadi karena cemaran bakteri patogen. Sementara 11,1% lainnya terjadi karena cemaran kimia dan toksin dan sekitar 33,3% lainnya tidak diketahui penyebabnya.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroentero dan Hepatologi Nella Suhuyanly menjelaskan bahwa penyakit tifoid atau yang biasa dikenal dengan demam tifus merupakan salah satu diantara jenis penyakit yang terjadi akibat kontaminasi makanan.
Keracunan makanan ini juga bisa memicu penyakit hepatitis A, sebab kontaminasi virus hepatitis A dan E juga berisiko mendorong terjadinya keracunan makanan. Menurut Nella, penyakit ini bisa muncul karena faktor-faktor makanan yang tidak diolah dengan baik.
Sementara dalam kasus demam tifus, Nella menyambung bahwa kontaminasi bakteri yang datang dari asupan makanan berkontribusi mendorong penyakit ini. Salah satunya adalah bakteri Salmonella sp yang mendorong gejala seperti demam, mual, muntah, dan diare.
Kasus Kontaminasi Makanan dari Dapur Rumah Tangga
Ilustrasi dapur rumah tangga (Sumber gambar: Alyson McPhee/Unsplash)
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI Yoga Devaera menjelaskan bahwa data Kemenkes RI menyebut keracunan pangan paling banyak terjadi dari masakan rumah tangga dan jasa boga. Lebih lanjut, Yoga menjelaskan jika porsi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan antara jasa boga dan masakan rumah tangga berada pada pun cukup besar.
“Sebanyak 42% keracunan pangan di Indonesia terjadi dari cemaran bakteri, dan sebanyak 28%-nya terjadi di rumah tangga. Padahal rumah salah satu tempat yang seharusnya aman. Artinya ada yang salah dalam pengelolaan pangannya, ” katanya.
Sementara keracunan akibat pangan jajanan, pangan jajanan sekolah, dan pangan kemasan masing-masing berada di bawah 10%. Sekitar 25% lain penyebabnya belum diketahui.
Untuk menjaga nutrisi makanan terjaga dari kontaminasi bakteri, Yoga menjelaskan perlunya melakukan langkah memastikan pangan aman. Selain memastikan kebersihan tangan, diperlukan pula pemisahan pangan mentah dan pangan matang agar satu bahan dengan bahannya tidak saling mengkontaminasi.
Pengelolaan makanan dengan memastikan memasak makanan hingga matang serta menyimpan pangan pada suhu yang tepat juga perlu dilakukan. Yoga mencontohkan, misalnya untuk jenis olahan telur sebaiknya dimasak hingga matang sempurna.
“Di Indonesia sendiri untuk telur kita ada risiko kontaminasi salmonella yang bisa menyebabkan penyakit saluran cerna,” katanya. Sementara penyimpanan makanan pada suhu makanan yang tepat perlu dilakukan untuk mencegah regenerasi bakteri.
“Bakteri bisa berkembang biak dalam waktu cepat, jadi jika pangan tidak disimpan pada suhu yang tepat bisa rawan terkontaminasi," katanya.
Makanan harus berada pada suhu dingin di bawah 5 derajat celcius, sementara untuk makanan yang panas harus terjaga di atas 60 derajat celcius. Biasanya cemaran bakteri juga bisa terjadi karena kesalahan penyimpanan letak pangan di kulkas.
Yoga menyebutkan, sudah seharusnya produk-produk hewani seperti daging dan ikan diletakkan pada bagian paling bawah dari kulkas. Ini dilakukan untuk menghindari risiko cemaran bakteri dari pangan mentah mencemari pangan lain di dalam kulkas.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.