Ilustrasi. (Sumber foto: Pexels/Cottonbro Studio)

Pajak Royalti Penulis dan Pekerja Seni Dipotong, Apa Keuntungannya?

19 March 2023   |   12:10 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Kabar bahagia datang untuk para penulis dan pekerja seni di Indonesia. Kementerian Keuangan baru saja melakukan penyesuaian tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 atas royalti penulis dan pekerja seni dari 15 persen menjadi 6 persen. Kabar ini dikonfirmasi pasca pertemuan Menteri Keuangan dengan sejumlah pekerja seni Tanah Air.

Penulis "Dee" Lestari yang menyampaikan langsung di laman Instagramnya, usai menghadiri undangan dan berdialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Sabtu (18/3/2023).

"Jadi, ketika kabar meluncur dari mulut Ibu Ani, yang lantas diamini oleh Dirjen Pajak, saya terenyak. PPh 23 diturunkan menjadi 6 persen efektif Kamis kemarin," ujar Dee Lestari.

Baca juga: Musisi dan Pencipta Lagu Menolak Ketentuan Baru tentang Royalti

Penulis serinovel fiksi ilmiah Supernova itu mengaku sangat terharu dengan keputusan yang sejak lama diperjuangkan para penulis tersebut. Menurutnya ini perubahan besar yang memengaruhi bukan hanya penulis, melainkan semua pekerja seni yang memiliki pendapatan dari royalti.

"Perubahan ini berpengaruh pada hidup keluarganya, keturunannya, hingga 70 tahun setelah sang kreator wafat. It makes a huge, huge difference," tulisnya. 

Penulis muda Raiy Ichwana gembira menyambut potongan pajak royalti penulis menjadi 6 persen. Menurutnya, penghasilan yang didapat dari royalti porsinya bisa lebih besar. Raiy berpendapat mungkin pengurangan pajak ini mungkin berpengaruh terhadap kesejahteraan penulis besar, tetapi tjdak dengan penulis awal dan menengah.

Penulis buku Jalan Buat Napas ini menerangkan dengan berkurangnya pajak royalti, bagi penulis asal sepertinya, pendapatan dari royalti mungkun cukup diinvestasikan untuk karya berikutnya. "Royalti bisa besar dan alokasi untuk puter uang karya selanjutnya jadi bertambah nilainya," sebutnya.

Kendati demikian, dia harap agar kebijakan ini diimplementasikan secara penuh. "Perasaannya happy, mudah-mudahan diimplementasikan sama penerbit yang dalam berikan royalti dengan kebijakan PPh. Jangan diakali, oke mentang-mentang 6 persen, di penerbit ada potongan lagi, pajaknya gede dari mereka. Semoga jangan seperti itu," tegasnya.

Dia juga menilai pemerintah tidak cukup hanya memberikan potongan royalti. Pasalnya, penulis bukanlah pekerjaan yang tetap. Di banyak negara, justru orang yang berkarya tidak dikenakan pajak dan malah disokong pemerintahnya. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Dee Lestari (@deelestari)


Penulis buku Senggang dan Gama itu juga berharap pemerintah perlu menyiapkan ekosistem untuk para penulis buku atau karya tulis lainnya. Ekosistem yang bisa mewadahi para pekerja kreatif ini entah di bawah naungan Kemenparekraf atau Kemendikbud. 

"Setidaknya kalau belum mau berikan bantuan modal industri disiapkan ekosistemnya," imbuhnya.

Karya sastra penulis Indonesia pun bisa dibantu untuk dijadikan intelektual properti (IP) seperti di negara-negara maju. Karya tulis yang sifatnya sastra didata negara dan menjadi aset kreatif yang bisa dijual ke negara lain dengan bantuan negara. 

"Walaupun katanya masih jauh untuk punya visioner itu di industri kreatif. Mudah-mudahan karya sastra bisa jadi devisa negara dan negara bergantung pada karya penulis yang bisa menambah pendapatan penulis," harap Raiy.


Gambaran Produksi Buku

Beberapa hari lalu, penulis buku Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka Kurniawan sempat membagikan kisaran biaya produksi buku dan royalti yang diterima penulis melalui laman Twitter resminya. Gambaran ini dibagikan menanggapi keputusan pemerintah yang memberi subsidi untuk mobil listrik.

Secara terperinci dia menjelaskan ongkos cetak buku sekitar 20-25 persen harga buku. Paing besar berada di potongan untik toko buku dan distribusi rata-rata 40-45 persen. "Royalti penulis 10%. Katakan sisa 30%, utk bayar editor, desainer, promo, dan kadang… diskon. Itu blm termasuk PPN, 11%," tuturnya.

Mungkin penghasilan penulis terbilang lumahan jikalau buku yang terjual sebanyak 100.000 eksemplar dalam setahun sih, lumayan. Jika harga buku sebesar Rp10.000, maka pendapatan penulis yang didapat dari royalti sebesar Rp1 miliar setahun. 

Kendati demikian, pendapatan tersebut belum dipotong dari pajak royalti dan pajak penghasilan. "Eh, klo penulis krn, gak tetap, kalian pajaknya dihitung 50% dr penghasilan, ya. Namanya "norma"," tulisnya. 

Sementara itu, Raiy menjelaskan dalam proses penerbitan dan distribusi buku, biasanya setelah buku disetujui penerbit, mereka akan mengenakan biaya RSBN atau hak cipta. "Sejauh ini sih gue bayar hak cipta Rp300.000-an. Itu untuk melekat selamanya," jelasnya. 

Raiy sebagai penulis semi independen biasanya menyerahkan jumlah buku dan metode distribusi kepada penerbit. "Karena gue semi indi biasanya ada penerbit dan kurasi. Mana karya yang menarik market.  Karena ada kurasi itu bisa lebih murah. Layout sama biaya distribus Rp800.000 sampai Rp1jutaan, tergantung penerbitnya," tuturnya.

Jika buku yang laku tidak sesuai target di toko offline, sisanya akan dikembalikan ke gudang, penerbit, atau dijual melalui online. "Dengan biaya segitu. Gue ngeluarin Rp2 jutaan satu buku. Kalau cover bikin sendiri ajuin ke penerbit biayanya lebih kurang lagi," tanbahnya.

Oleh karena itu, menguntungkan atau tidaknya penurunan pajak royalti menurut Raiy tergantung pada penjualan dari hasil karya dan apakah bisa menutupi biaya produksi.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda


 

SEBELUMNYA

Sukses di Bioskop, Sri Asih Tayang di Disney+ Hotstar Pekan Depan

BERIKUTNYA

Rayakan St. Patrick’s Day, 5 Seniman Irlandia Pamerkan Karya di Ireland's Eye

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: