Film Society of The Snow (Sumber gambar: Instagram.com/netflixid)

Review Film Society of the Snow, Kisah Nyata Tragedi Jatuhnya Penerbangan 571 Uruguay

08 January 2024   |   14:08 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Kisah kecelakaan Penerbangan 571 Uruguay yang jatuh di wilayah terpencil di pegunungan Andes diceritakan kembali dengan rajutan sinema yang kuat oleh sutradara JA Bayona. Dalam film ini, Bayona melakukan pendekatan menarik yang memancing diskusi perihal topik humanisme.

Film berjudul Society of the Snow seolah jadi pelengkap, atau juga penunjuk sisi eksplorasi tak tersentuh dari peristiwa kecelakaan yang paling diingat di dunia tersebut. Sebelumnya, kisah ini sudah beberapa kali difilmkan melalui Survive! (1976) dan Alive (1993).

Dalam film ini, Bayona juga terlibat dalam penulisan naskah bersama Nicolas Casariego, Jaime Marques, dan Bernat Vilaplana. Kisahnya masih berpedoman dari buku I Had to Survive yang ditulis oleh Pablo Vierci dan salah satu penyintas asli, Roberto Canessa. 

Baca juga: Review Film 13 Bom di Jakarta

Berdurasi 2 jam 24 menit, kisah film ini dimulai dari sebuah pertandingan rugby yang tampak menunjukkan metafora kehidupan. Bayona mempertontonkan pentingnya peran antar anggota, momentum, dan kejernihan keputusan untuk memenangkan dan mempertahankan kelompok. Sesuatu yang kelak begitu penting untuk dilakukan.

Kisah berlanjut. Pada 1972, tim rugby bernama Old Christian ini melakukan perjalanan ke Chili. Ada 45 penumpang di dalam pesawat bernomor 571 tersebut, termasuk anggota rugby, teman, dan keluarganya. Namun, sebelum tiba di Chili, pesawat ini mengalami kecelakaan di daerah pegunungan Andes.

Beberapa meninggal seketika dan tersisa 29 yang selamat. Sekitar 72 hari kemudian, hanya 16 orang yang bisa bertahan. Para penyintas kecelakaan berusaha untuk keluar dari puing pesawat, tetapi mereka segera menyadari tengah berada di kondisi alam paling berbahaya.

Suhu dingin, badai salju, dan kelaparan menjadi hantu yang muncul setiap menitnya. Awalnya, mereka hanya bisa menanti bantuan akan segera datang. Namun, hari berganti hari dan kondisi tubuh makin tak terkendali.

Bantuan tak kunjung datang. Dari siaran radio, mereka bahkan harus mendengar berita pahit bahwa tim penolong tak lagi melakukan pencarian lantaran tak ditemukan tanda-tanda kehidupan.

Dari sini, berbagai cara untuk bertahan hidup mulai terpaksa dilakukan, termasuk memakan daging rekan yang telah tewas. Aspek kanibalisme tersebut menunjukkan sebuah cerita horor yang mengerikan, tetapi film ini tidak tertarik untuk mengeksploitasinya.
 

Dalam film ini, sang sutradara dengan piawai menunjukkan dinamika yang terjadi dalam masa bertahan hidup tersebut. Dalam kondisi seperti ini, para penyintas seolah bergerak dan membangun ‘masyarakat’ baru, sesuatu yang memang perlu untuk mempertahankan kelompok.

Menariknya, film ini tidak hanya berakhir pada sebuah suguhan cerita survival. Lewat penceritaan yang matang, sang sutradara justru mengubah film survival ini menjadi sebuah karya yang introspektif.

Bayona memasukkan kedalaman psikologis melalui scene filmnya. Dimulai dari perselisihan tentang ide kanibalisme untuk bertahan hidup, ketakutan, harapan, hingga keputusasaan yang dijahit dengan begitu rapi.

Dalam tipe film seperti ini, terkadang sutradara kerap bermain-main dengan tindakan heroik. Ada pahlawan yang seolah diciptakan dan menjadi penyelamat dari segala. Namun, untungnya film ini tidak demikian.

Numa, tokoh utama di film ini bahkan tidak menjadi pusat perhatian dalam waktu lama. Society of the Snow justru memotret kelompok, masyarakat baru yang tercipta dari sebuah bencana.

Di beberapa adegan, selain unsur cerita yang padu, pemilihan sudut pandang kamera juga menjadi sesuatu yang menarik. Film ini kerap mempertontonkan gambar-gambar long shot yang menciptakan dua intensi.

Gambar tersebut kerap kali menjadi sebuah pemandangan pegunungan salju yang sebenarnya sangat indah. Akan tetapi, di sisi lain, dia menciptakan kengerian, karena itu berarti sangat sulit para penyintas ini untuk ditemukan.

Kemudian, gaya handheld yang dipakai saat pesawat dalam kondisi kritis dan akan mengalami kecelakaan juga patut diapresiasi. Kamera bergetar, sudut miring, distorsi ruang, dan beberapa kali close up telah menjebak penonton seolah berada di ruang yang sama sebelum pesawat yang ditumpanginya jatuh.

Saat pesawat terbelah dan penyintas menemukan jenazah rekan-rekannya juga jadi sesuatu yang memilukan. Mereka lantas mengangkat jenazah itu ke satu tempat dan bergerak bersama untuk tetap bertahan hidup.

Film ini menjadi suguhan sensasional yang menarik penonton pada empati. Sepanjang film, penonton akan banyak merasakan pengalaman munculnya harapan dan matinya keinginan dalam satu waktu.

Selain itu, tentu saja, yang menarik dari film ini ialah sisi humanisme yang begitu ditampilkan. Tak ada keajaiban sebenarnya, tak ada heroisme, semua adalah kekuatan manusia yang berkelompok yang memiliki mimpi yang sama untuk hidup. Film ini bisa ditonton di Netflix mulai 4 Januari 2024. 

Baca juga: Rekomendasi Film & Serial Netflix Januari 2024, Ada Rurouni Kenshin & Doctor Slump 
 

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

(G)I-DLE Siap Comeback Lewat Album 2 pada 29 Januari 2024

BERIKUTNYA

5 Fakta Menarik Film Pemukiman Setan, Tayang di Bioskop Januari 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: