Reaktivasi & Branding Jadi Kunci Cagar Budaya Makin Disukai Anak Muda
18 December 2023 |
15:00 WIB
Cagar budaya hingga museum merupakan salah satu destinasi yang menjadi andalan, khususnya dalam konteks wisata sejarah. Namun, minat dan antusiasme masyarakat untuk pelesiran ke tempat ini dipandang masih rendah karena kerap dianggap sebagai tempat kuno.
Padahal, sebagai tempat memori kolektif sejarah sebuah bangsa, destinasi tersebut memiliki peranan penting untuk menyingkap tabir masa lalu. Terutama untuk melihat realitas yang terjadi hari ini serta pada masa depan dengan berbagai koleksi di dalamnya.
Namun, karena pengelolaan yang belum maksimal, destinasi ini kerap tidak memiliki daya tarik di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai tindakan yang tepat, salah satunya reaktivasi, agar destinasi tersebut dapat menjadi tujuan utama wisata masyarakat.
Baca juga: 6 Kawasan Cagar Budaya di Sumatra Ini Punya Banyak Keunikan
CEO Lokananta dan Co-Founder M-Bloc Group, Wendi Putranto, mengatakan bahwa peninggalan dari masa lampau memang perlu direaktivasi agar lebih dikenal khalayak. Terutama untuk menjaga nilai historikal dari sebuah objek cagar budaya yang tersebar di berbagai daerah.
Lokananta yang dikenal sebagai lokasi pabrik piringan hitam, memang sempat terbengkalai, hingga akhirnya bisa menjadi salah satu unggulan wisata di Kota Solo. Terutama setelah bangunan yang identik sebagai titik nol musik Indonesia itu rampung direvitalisasi pada Juni 2023.
Menurutnya, pasca perbaikan wajah baru Lokananta, saat ini publik lebih banyak mengetahui kontribusi dari perusahaan rekaman milik negara itu. Khususnya sebagai tujuan utama wisata sejarah yang telah banyak melahirkan penyanyi-penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, hingga Titiek Puspa.
"Dari pertama kali dibuka pada 5 Juni sampai November 2023 udah 125.000. Kalau kunjungan ke galeri atau museum Lokananta itu sudah ada sekitar 15.000 orang. Menurut saya itu sudah suatu achievement," katanya saat ditemui Hypeabis.id usai diskusi Road To Warna Baru Warisan Budaya.
Wendi mengatakan, salah satu kiat agar cagar budaya dapat selalu dikunjungi publik adalah lewat pengemasan dan branding yang baik. Di Lokananta misalnya, value tersebut terepresentasi lewat berbagai koleksi ribuan arsip master rekaman, studio rekam, arena pertunjukan, area kuliner, dan galeri UMKM.
Adapun dari segi program, pihaknya juga terus melakukan reaktivasi agar tempat tersebut bisa semakin populer di masyarakat. Salah satunya dengan menyelenggarakan kembali sayembara Bintang Radio Televisi yang awalnya dihelat pada 1951, untuk dikemas ulang dalam format yang lebih populer.
"Ini bertujuan untuk menemukan bakat-bakat baru di bidang musik. Jadi meneruskan tradisinya Lokananta tapi dalam konteks yang relevan, yang rencananya bakal dihelat pada Februari 2024," terangnya.
Setali tiga uang, sejarawan Christopher Reinhart, mengatakan bahwa upaya untuk kembali mengenalkan narasi masa lampau pada masyarakat, salah satunya dengan menggunakan sejarah sesuai fungsi aslinya. Artinya, publik diajarkan untuk melihat secara jernih apa yang terjadi di masa silam, sehingga mereka bisa kritis melihat masa depan.
Pada tahap awal, pola pendekatan tersebut menurutnya bisa dilakukan dengan cara yang lebih populer. Misalnya dengan mengemas distribusi pengetahuan dari berbagai museum cagar budaya yang ada di Indonesia dengan pendekatan yang lebih kekinian, terutama dari sudut pandang audio visual.
Menurutnya, dalam mengenalkan sejarah dari sudut pandang literasi, sekaligus pelestarian cagar budaya memang diperlukan treatment yang berbeda. Dia mencontohkan misalnya, untuk mengenalkan situs bersejarah pada publik, bisa dilakukan dengan cara yang lebih populis sesuai target market.
"Sedangkan kalau dari sudut pandang literasi bisa dilakukan dengan membuat narasi yang anti mainstream. Misalnya dengan mengungkap fakta-fakta yang selama ini belum pernah diketahui publik. Sejauh ini cara tersebut mangkus untuk gen Z," terangnya.
Baca juga: Babak Baru Pengelolaan Museum dan Cagar Budaya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Padahal, sebagai tempat memori kolektif sejarah sebuah bangsa, destinasi tersebut memiliki peranan penting untuk menyingkap tabir masa lalu. Terutama untuk melihat realitas yang terjadi hari ini serta pada masa depan dengan berbagai koleksi di dalamnya.
Namun, karena pengelolaan yang belum maksimal, destinasi ini kerap tidak memiliki daya tarik di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai tindakan yang tepat, salah satunya reaktivasi, agar destinasi tersebut dapat menjadi tujuan utama wisata masyarakat.
Baca juga: 6 Kawasan Cagar Budaya di Sumatra Ini Punya Banyak Keunikan
CEO Lokananta dan Co-Founder M-Bloc Group, Wendi Putranto, mengatakan bahwa peninggalan dari masa lampau memang perlu direaktivasi agar lebih dikenal khalayak. Terutama untuk menjaga nilai historikal dari sebuah objek cagar budaya yang tersebar di berbagai daerah.
Lokananta yang dikenal sebagai lokasi pabrik piringan hitam, memang sempat terbengkalai, hingga akhirnya bisa menjadi salah satu unggulan wisata di Kota Solo. Terutama setelah bangunan yang identik sebagai titik nol musik Indonesia itu rampung direvitalisasi pada Juni 2023.
Menurutnya, pasca perbaikan wajah baru Lokananta, saat ini publik lebih banyak mengetahui kontribusi dari perusahaan rekaman milik negara itu. Khususnya sebagai tujuan utama wisata sejarah yang telah banyak melahirkan penyanyi-penyanyi legendaris seperti Gesang, Waldjinah, hingga Titiek Puspa.
"Dari pertama kali dibuka pada 5 Juni sampai November 2023 udah 125.000. Kalau kunjungan ke galeri atau museum Lokananta itu sudah ada sekitar 15.000 orang. Menurut saya itu sudah suatu achievement," katanya saat ditemui Hypeabis.id usai diskusi Road To Warna Baru Warisan Budaya.
Wendi mengatakan, salah satu kiat agar cagar budaya dapat selalu dikunjungi publik adalah lewat pengemasan dan branding yang baik. Di Lokananta misalnya, value tersebut terepresentasi lewat berbagai koleksi ribuan arsip master rekaman, studio rekam, arena pertunjukan, area kuliner, dan galeri UMKM.
Adapun dari segi program, pihaknya juga terus melakukan reaktivasi agar tempat tersebut bisa semakin populer di masyarakat. Salah satunya dengan menyelenggarakan kembali sayembara Bintang Radio Televisi yang awalnya dihelat pada 1951, untuk dikemas ulang dalam format yang lebih populer.
"Ini bertujuan untuk menemukan bakat-bakat baru di bidang musik. Jadi meneruskan tradisinya Lokananta tapi dalam konteks yang relevan, yang rencananya bakal dihelat pada Februari 2024," terangnya.
Setali tiga uang, sejarawan Christopher Reinhart, mengatakan bahwa upaya untuk kembali mengenalkan narasi masa lampau pada masyarakat, salah satunya dengan menggunakan sejarah sesuai fungsi aslinya. Artinya, publik diajarkan untuk melihat secara jernih apa yang terjadi di masa silam, sehingga mereka bisa kritis melihat masa depan.
Pada tahap awal, pola pendekatan tersebut menurutnya bisa dilakukan dengan cara yang lebih populer. Misalnya dengan mengemas distribusi pengetahuan dari berbagai museum cagar budaya yang ada di Indonesia dengan pendekatan yang lebih kekinian, terutama dari sudut pandang audio visual.
Menurutnya, dalam mengenalkan sejarah dari sudut pandang literasi, sekaligus pelestarian cagar budaya memang diperlukan treatment yang berbeda. Dia mencontohkan misalnya, untuk mengenalkan situs bersejarah pada publik, bisa dilakukan dengan cara yang lebih populis sesuai target market.
"Sedangkan kalau dari sudut pandang literasi bisa dilakukan dengan membuat narasi yang anti mainstream. Misalnya dengan mengungkap fakta-fakta yang selama ini belum pernah diketahui publik. Sejauh ini cara tersebut mangkus untuk gen Z," terangnya.
Baca juga: Babak Baru Pengelolaan Museum dan Cagar Budaya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.