Pentingnya Inovasi Seni & Keterlibatan Masyarakat dalam Menanggapi Gejala Sosial
05 December 2023 |
15:59 WIB
Soal kreatifitas, Indonesia memang sudah tidak diragukan lagi. Di tengah kemajemukan masyarakat yang plural, inovasi-inovsi kesenian pun terus digalakkan oleh para seniman dalam berekspresi sekaligus merespon realitas sosial politik di Tanah Air.
Namun, laiknya sejarah yang bergulir, sudut pandang seni juga mengalami perubahan yang ditentukan oleh entitas tertentu. Seperti supremasi negara, kelompok seni, aktivis sosial, hingga ideologi yang dijadikan landasan pembuatan karya.
Baca juga: Perkuat Ekosistem Seni Pertunjukan, Simposium Internasional ISPAE Dihelat di Yogyakarta
Hal itulah sekiranya yang menjadi topik diskusi bertajuk Bagaimana Posisi Seni di Tengah Gejolak Sosial Politik? di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sesuai judulnya, sarasehan ini mencoba meneroka kait kelindan posisi tawar seni dalam kehidupan bermasyarakat.
Kolektif seni asal Bandung, Studio Pancaroba misalnya, kerap melakukan agitasi dengan memanfaatkan ruang-ruang publik. Mereka biasanya merespon papan penunjuk yang telah rusak, fasilitas umum yang terbengkalai, untuk dicerap masyarakat.
Uniknya, karya-karya mereka seringkali sarat akan humor, berkesan tidak menggurui, dan menyorot ke inti persoalan tanpa tedeng aling-aling. Salah satunya saat mereka merespon pembangunan Teras Cihampelas yang berskhir mangkrak, tapi menghabiskan dana sebesar Rp48,5 miliar.
Beberapa studi lain juga mereka galakkan dengan merespon realitas untuk ditampilkan di ruang publik. Termasuk saat konflik Israel-Palestina sedang memanas, yang menimbulkan ribuan korban jiwa di kedua belah pihak, terutama anak-anak.
"Selama ini, saat seniman merespon ruang publik selalu dianggap vandal. Tetapi ada banyak baliho partai berserakan di jalan, dan mengganggu visual dianggap biasa saja oleh pemerintah," kata anonim perwakilan Studio Pancaroba.
Sementara itu, panelis dari Ruang Isolasi Syarif Maulana mengatakan, determinasi seni untuk seni, dan seni untuk masyarakat juga bisa terus dielaborasi. Menukil pernyataan filsuf Prancis, Jacques Rancière, dia menyatakan bahwa seni dapat memberikan suatu efek permainan bagi masyarakat, tanpa menggurui alias bersifat setara.
Adapun, dalam pandangan tersebut menurutnya, peran seni di masyarakat bukan tentang bagaimana suatu karya dibuat. Melainkan tentang bagaimana suatu karya ditampilkan, dengan cara sedemikian rupa, supaya dapat diinderai dengan cara yang lain.
Dosen Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan itu mengungkap, pola kerja yang dilakukan Studio Pancaroba atau aktivisme lain untuk mendobrak tatanan rezim estetika memang diperlukan. Sebab, hal ini akan menghasilkan dialektika yang membuat kerja seni tidak jumud, khususnya dengan melibatkan masyarakat.
"Seni dan estetika menurut pandangan kritis Ranciere adalah sensibilitas untuk mengganggu tatanan yang sudah mapan. Hal ini sebenarnya bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana, lewat meme misalnya," katanya.
Syarif menambahkan, di tengah era digital, peran media sosial pun banyak memberi dampak positif dalam mengangkat praktik-praktik kerja para seniman di tengah gejala sosial politik. Oleh karena itu, strategi aktivisme tersebut juga perlu dimasifkan agar lebih banyak yang mengapresiasi karya-karya tersebut.
Adapun, hal inilah yang kemudian diamini oleh Studio Pancaroba lewat karya seni yang mereka buat di sebuah lantai taman. Salah satunya saat mereka membuat aksi terkait krisis kemanusiaan Palestina, tanpa melupakan ada banyak juga kasus sama yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
"Kami mencoba metode tersebut, dan mengunggahnya ke internet. Ternyata ada 972 pengguna yang mengunduhnya, dan menyebarkan aksinya sendiri. Arkian, mereka mau mengubah sesuatu atau tidak itu bukan urusan kami. Kami hanya menyebar saja, setelah itu urusan mereka," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Namun, laiknya sejarah yang bergulir, sudut pandang seni juga mengalami perubahan yang ditentukan oleh entitas tertentu. Seperti supremasi negara, kelompok seni, aktivis sosial, hingga ideologi yang dijadikan landasan pembuatan karya.
Baca juga: Perkuat Ekosistem Seni Pertunjukan, Simposium Internasional ISPAE Dihelat di Yogyakarta
Hal itulah sekiranya yang menjadi topik diskusi bertajuk Bagaimana Posisi Seni di Tengah Gejolak Sosial Politik? di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sesuai judulnya, sarasehan ini mencoba meneroka kait kelindan posisi tawar seni dalam kehidupan bermasyarakat.
Kolektif seni asal Bandung, Studio Pancaroba misalnya, kerap melakukan agitasi dengan memanfaatkan ruang-ruang publik. Mereka biasanya merespon papan penunjuk yang telah rusak, fasilitas umum yang terbengkalai, untuk dicerap masyarakat.
Uniknya, karya-karya mereka seringkali sarat akan humor, berkesan tidak menggurui, dan menyorot ke inti persoalan tanpa tedeng aling-aling. Salah satunya saat mereka merespon pembangunan Teras Cihampelas yang berskhir mangkrak, tapi menghabiskan dana sebesar Rp48,5 miliar.
Beberapa studi lain juga mereka galakkan dengan merespon realitas untuk ditampilkan di ruang publik. Termasuk saat konflik Israel-Palestina sedang memanas, yang menimbulkan ribuan korban jiwa di kedua belah pihak, terutama anak-anak.
"Selama ini, saat seniman merespon ruang publik selalu dianggap vandal. Tetapi ada banyak baliho partai berserakan di jalan, dan mengganggu visual dianggap biasa saja oleh pemerintah," kata anonim perwakilan Studio Pancaroba.
Tangkapan Layar karya seni Studio Pancaroba (sumber gambar YouTube DKJ)
Sementara itu, panelis dari Ruang Isolasi Syarif Maulana mengatakan, determinasi seni untuk seni, dan seni untuk masyarakat juga bisa terus dielaborasi. Menukil pernyataan filsuf Prancis, Jacques Rancière, dia menyatakan bahwa seni dapat memberikan suatu efek permainan bagi masyarakat, tanpa menggurui alias bersifat setara.
Adapun, dalam pandangan tersebut menurutnya, peran seni di masyarakat bukan tentang bagaimana suatu karya dibuat. Melainkan tentang bagaimana suatu karya ditampilkan, dengan cara sedemikian rupa, supaya dapat diinderai dengan cara yang lain.
Dosen Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan itu mengungkap, pola kerja yang dilakukan Studio Pancaroba atau aktivisme lain untuk mendobrak tatanan rezim estetika memang diperlukan. Sebab, hal ini akan menghasilkan dialektika yang membuat kerja seni tidak jumud, khususnya dengan melibatkan masyarakat.
"Seni dan estetika menurut pandangan kritis Ranciere adalah sensibilitas untuk mengganggu tatanan yang sudah mapan. Hal ini sebenarnya bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana, lewat meme misalnya," katanya.
Syarif menambahkan, di tengah era digital, peran media sosial pun banyak memberi dampak positif dalam mengangkat praktik-praktik kerja para seniman di tengah gejala sosial politik. Oleh karena itu, strategi aktivisme tersebut juga perlu dimasifkan agar lebih banyak yang mengapresiasi karya-karya tersebut.
Adapun, hal inilah yang kemudian diamini oleh Studio Pancaroba lewat karya seni yang mereka buat di sebuah lantai taman. Salah satunya saat mereka membuat aksi terkait krisis kemanusiaan Palestina, tanpa melupakan ada banyak juga kasus sama yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
"Kami mencoba metode tersebut, dan mengunggahnya ke internet. Ternyata ada 972 pengguna yang mengunduhnya, dan menyebarkan aksinya sendiri. Arkian, mereka mau mengubah sesuatu atau tidak itu bukan urusan kami. Kami hanya menyebar saja, setelah itu urusan mereka," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.