Borobudur Writers and Cultural Festival 2023 Rayakan Pemikiran Intelektual Nusantara Edi Sedyawati
15 November 2023 |
08:00 WIB
Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) akan kembali digelar pada 23-27 November 2023 di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur. Tiap tahunnya, BCWF selalu menyajikan tema utama terpilih yang mengajak para hadirin untuk mempelajari kekayaan pemikiran sasta, kesenian, dan religi Nusantara.
Dalam 12 tahun perjalanannya, BWCF selalu mengangkat kajian-kajian serius tentang topik tertentu dalam khazanah kebudayaan Nusantara. BWCF senantiasa mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi sampai filologi. Kehadiran forum ini diharapkan dapat mengangkat kekayaan pemikiran Nusantara, dan dikenali oleh masyarakat luas khususnya generasi muda.
Baca juga: Borobudur Writers and Cultural Festival 2022 Mengupas Tuntas Durga
Tahun ini, BWCF secara khusus mengangkat pemikiran mendiang Edi Sedyawati sebagai fokus utama acara. Edi Sedyawati adalah mantan Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1993-1998), sekaligus sosok intelektual yang memiliki banyak dimensi pemikiran.
Dia adalah arkeolog mumpuni, seorang pengamat tari juga penari yang luas pengetahuannya akan karya tari baik tradisi maupun modern, serta seorang birokrat kebudayaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam kebijakan-kebijakannya. Pada zaman Ibu Edi, seni dan kebudayaan seolah menjadi roh, bagian dari jiwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Spektrum pemikiran Edi Sedyawati sebagai tema utama BWCF berangkat dari hasil disertasinya berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Dalam kepercayaan umat Hindu, Ganesha adalah dewa pengetahuan, sekaligus dewa perwira yang pandai mengatasi musuh, halangan, dan rintangan.
Dalam disertasinya, Ibu Edi meneliti sebanyak 169 arca Ganesha. Salah satu kesimpulannya adalah arca Ganesha dari periode Singosari memiliki ciri-ciri tersendiri yang solid, yaitu antara lain tangan kanan belakang Ganesha memegang kapak, tangan kiri belakang menggenggam tasbih, kedua tangan (baik kanan-kiri) depan memegang mangkuk tengkorak, kaki tambunnya menginjak tengkorak (asana tengkorak), mengenakan anting-anting tengkorak dan mengenakan pita di belakang kepala. Unsur aksesoris tengkorak yang menonjol tersebut merupakan kekhasan Ganesha periode Singosari.
Untuk memperdalam tentang diskusi penelitian itu, BWCF akan mengundang pakar-pakar baik dari luar negeri, Jawa dan Bali membicarakan Ganesha yang masih menyimpan misteri. Selain itu, sebuah buku juga akan diluncurkan setebal 1.000 halaman, yang memuat tentang artikel-artikel mengenai Ganesha dan seni pertunjukan yang ditulis para peneliti. Tulisan-tulisan yang termaktub dalam buku berjudul Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Pelestarian Warisan Budaya, dikumpulkan melalui program Call for Paper.
Minat arkeologis Edi Sedyawati tak hanya meneliti Ganesa. Hampir seluruh aspek arkeologi Hindu-Buddha di Jawa, Sumatra dan Bali menjadi perhatiannya. Bu Edi adalah ahli ikonografi dan pakar bahasa Jawa Kuno-Sansekerta, sehingga dia memiliki peralatan akademis yang cukup memadai untuk menganalisa berbagai temuan-temuan arca, prasasti sampai manuskrip-manuskrip kuno.
Diskusi lain yang juga akan digulirkan mengenai paham keagamaan di zaman Majapahit berupa teologi Siwa-Buddha. Ternyata dari dokumen penelitian Ibu Edi, disebutkan belum ada kesatuan pendapat mengenai dokumen sinkretisme Siwa-Buddha di zaman Majapahit. Hal itulah yang membuat tema Siwa-Buddha tetap menjadi masalah terbuka dan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Oleh sebab itu, BWCF juga akan mengundang para pakar baik dari Jawa maupun Bali yang melakukan penelitian terbaru atas tema Siwa-Buddha tersebut.
Sementara di bidang seni, pokok bahasan Bu Edi merentang panjang mulai dari studi sejarah musik, tari dan teater, problem-problem tari kontemporer yang berbasis tradisi, sampai bilingualism teater. Oleh karena itu, sebuah sesi di 4ocumente nanti akan dipersembahkan untuk membahas kontribusi Edi Sedyawati yang besar dalam mengarungi dunia kesenian khususnya tari Indonesia.
Tak luput, ada pula diskusi yang berkaitan tentang diplomasi kebudayaan khususnya isu mengenai pemulangan artefak-artefak Indonesia yang berada di Eropa atau Amerika. Seperti diketahui, ada banyak artefak yang belum dikembalikan seperti arca Bhairawa Singosari di Leiden, juga tengkorak kepala Pithecan Trophus Erectus temuan arkeolog Eugene Dubois yang kini disimpan di Musum Naturel Belanda. Termasuk, prasasti Pucangan dari zaman Erlangga yang kini dikoleksi Museum Kalkuta India, dan Prasasti Minto di Skotlandia. Semua itu akan didiskusikan di BWCF mendatang.
Untuk merayakan pemikirannya, sejumlah acara mulai dari pidato kebudayaan, peluncuran buku, ceramah-ceramah arkeologi dan seni, pemutaran film dokumenter, lecture, bazar buku, serta workshop yang berkaitan dengan dunia arkeologi dan tari yang digeluti oleh Bu Edi, hingga pergelaran seni pertunjukan dan sastra akan dilaksanakan di BCWF 2023.
Acara BWCF akan dibuka dengan pemutaran film terbaru sutradara Nia Dinata berjudul Unearthing Muara Jambi, yang menyajikan subyek situs arkeologi Buddhis terbesar Muara Jambi. Pemutaran film ini akan dihelat pada 23 November 2023 di Gedung Heritage KPPN Malang. Sementara malamnya, akan ada pidato kebudayaan dari Prof. Dr. Arlo Griffiths mengenai Prasasti Minto yang sekarang ada di Skotlandia, yang akan berlangsung di Universitas Negeri Malang.
Selain itu, akan ada juga pertunjukan tari Kecak Teges yang dibawakan oleh I Ketut Rina bersama puluhan warga Desa Teges, Peliatan Ubud, Gianyar, Bali. Sementara pada malam sastra, BWCF akan menyajikan pembacaan sajak oleh Sutardji Calzoum Bachri, penyair legendaris yang kini usianya telah delapan dekade. Sutardji akan didampingi oleh Afrizal Malna, Jose Rizal Manoa, dan penyair Malang bernama Tengsoe Tjahyono.
Adapun, sebagai penutup seluruh rangkaian acara, akan ditampilkan Pidato Kebudayaan penutupan dari Prof. Dr. Cecep Eka Permana, yang akan mambawakan pidato berjudul Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros Sulawesi dan Sangkulirang Kalimantan. Pada malam harinya, disajikan pertunjukan musik oleh kelompok Lordjhu dan Nova Ruth. Kedua komunitas tersebut merupakan band pop eksprimental yang kerap mengeksplorasi unsur-unsur tradisi dalam karya-karyanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dalam 12 tahun perjalanannya, BWCF selalu mengangkat kajian-kajian serius tentang topik tertentu dalam khazanah kebudayaan Nusantara. BWCF senantiasa mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi sampai filologi. Kehadiran forum ini diharapkan dapat mengangkat kekayaan pemikiran Nusantara, dan dikenali oleh masyarakat luas khususnya generasi muda.
Baca juga: Borobudur Writers and Cultural Festival 2022 Mengupas Tuntas Durga
Tahun ini, BWCF secara khusus mengangkat pemikiran mendiang Edi Sedyawati sebagai fokus utama acara. Edi Sedyawati adalah mantan Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1993-1998), sekaligus sosok intelektual yang memiliki banyak dimensi pemikiran.
Dia adalah arkeolog mumpuni, seorang pengamat tari juga penari yang luas pengetahuannya akan karya tari baik tradisi maupun modern, serta seorang birokrat kebudayaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam kebijakan-kebijakannya. Pada zaman Ibu Edi, seni dan kebudayaan seolah menjadi roh, bagian dari jiwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gagasan Pemikiran Edi Sedyawati
Spektrum pemikiran Edi Sedyawati sebagai tema utama BWCF berangkat dari hasil disertasinya berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Dalam kepercayaan umat Hindu, Ganesha adalah dewa pengetahuan, sekaligus dewa perwira yang pandai mengatasi musuh, halangan, dan rintangan. Dalam disertasinya, Ibu Edi meneliti sebanyak 169 arca Ganesha. Salah satu kesimpulannya adalah arca Ganesha dari periode Singosari memiliki ciri-ciri tersendiri yang solid, yaitu antara lain tangan kanan belakang Ganesha memegang kapak, tangan kiri belakang menggenggam tasbih, kedua tangan (baik kanan-kiri) depan memegang mangkuk tengkorak, kaki tambunnya menginjak tengkorak (asana tengkorak), mengenakan anting-anting tengkorak dan mengenakan pita di belakang kepala. Unsur aksesoris tengkorak yang menonjol tersebut merupakan kekhasan Ganesha periode Singosari.
Untuk memperdalam tentang diskusi penelitian itu, BWCF akan mengundang pakar-pakar baik dari luar negeri, Jawa dan Bali membicarakan Ganesha yang masih menyimpan misteri. Selain itu, sebuah buku juga akan diluncurkan setebal 1.000 halaman, yang memuat tentang artikel-artikel mengenai Ganesha dan seni pertunjukan yang ditulis para peneliti. Tulisan-tulisan yang termaktub dalam buku berjudul Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Pelestarian Warisan Budaya, dikumpulkan melalui program Call for Paper.
Minat arkeologis Edi Sedyawati tak hanya meneliti Ganesa. Hampir seluruh aspek arkeologi Hindu-Buddha di Jawa, Sumatra dan Bali menjadi perhatiannya. Bu Edi adalah ahli ikonografi dan pakar bahasa Jawa Kuno-Sansekerta, sehingga dia memiliki peralatan akademis yang cukup memadai untuk menganalisa berbagai temuan-temuan arca, prasasti sampai manuskrip-manuskrip kuno.
Diskusi lain yang juga akan digulirkan mengenai paham keagamaan di zaman Majapahit berupa teologi Siwa-Buddha. Ternyata dari dokumen penelitian Ibu Edi, disebutkan belum ada kesatuan pendapat mengenai dokumen sinkretisme Siwa-Buddha di zaman Majapahit. Hal itulah yang membuat tema Siwa-Buddha tetap menjadi masalah terbuka dan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Oleh sebab itu, BWCF juga akan mengundang para pakar baik dari Jawa maupun Bali yang melakukan penelitian terbaru atas tema Siwa-Buddha tersebut.
Sementara di bidang seni, pokok bahasan Bu Edi merentang panjang mulai dari studi sejarah musik, tari dan teater, problem-problem tari kontemporer yang berbasis tradisi, sampai bilingualism teater. Oleh karena itu, sebuah sesi di 4ocumente nanti akan dipersembahkan untuk membahas kontribusi Edi Sedyawati yang besar dalam mengarungi dunia kesenian khususnya tari Indonesia.
Tak luput, ada pula diskusi yang berkaitan tentang diplomasi kebudayaan khususnya isu mengenai pemulangan artefak-artefak Indonesia yang berada di Eropa atau Amerika. Seperti diketahui, ada banyak artefak yang belum dikembalikan seperti arca Bhairawa Singosari di Leiden, juga tengkorak kepala Pithecan Trophus Erectus temuan arkeolog Eugene Dubois yang kini disimpan di Musum Naturel Belanda. Termasuk, prasasti Pucangan dari zaman Erlangga yang kini dikoleksi Museum Kalkuta India, dan Prasasti Minto di Skotlandia. Semua itu akan didiskusikan di BWCF mendatang.
Rangkaian Acara BWCF 2023
Untuk merayakan pemikirannya, sejumlah acara mulai dari pidato kebudayaan, peluncuran buku, ceramah-ceramah arkeologi dan seni, pemutaran film dokumenter, lecture, bazar buku, serta workshop yang berkaitan dengan dunia arkeologi dan tari yang digeluti oleh Bu Edi, hingga pergelaran seni pertunjukan dan sastra akan dilaksanakan di BCWF 2023.Acara BWCF akan dibuka dengan pemutaran film terbaru sutradara Nia Dinata berjudul Unearthing Muara Jambi, yang menyajikan subyek situs arkeologi Buddhis terbesar Muara Jambi. Pemutaran film ini akan dihelat pada 23 November 2023 di Gedung Heritage KPPN Malang. Sementara malamnya, akan ada pidato kebudayaan dari Prof. Dr. Arlo Griffiths mengenai Prasasti Minto yang sekarang ada di Skotlandia, yang akan berlangsung di Universitas Negeri Malang.
Selain itu, akan ada juga pertunjukan tari Kecak Teges yang dibawakan oleh I Ketut Rina bersama puluhan warga Desa Teges, Peliatan Ubud, Gianyar, Bali. Sementara pada malam sastra, BWCF akan menyajikan pembacaan sajak oleh Sutardji Calzoum Bachri, penyair legendaris yang kini usianya telah delapan dekade. Sutardji akan didampingi oleh Afrizal Malna, Jose Rizal Manoa, dan penyair Malang bernama Tengsoe Tjahyono.
Adapun, sebagai penutup seluruh rangkaian acara, akan ditampilkan Pidato Kebudayaan penutupan dari Prof. Dr. Cecep Eka Permana, yang akan mambawakan pidato berjudul Membaca Ulang Seni Indonesia Purba: Gambar Cadas di Goa-Goa Maros Sulawesi dan Sangkulirang Kalimantan. Pada malam harinya, disajikan pertunjukan musik oleh kelompok Lordjhu dan Nova Ruth. Kedua komunitas tersebut merupakan band pop eksprimental yang kerap mengeksplorasi unsur-unsur tradisi dalam karya-karyanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.